Ternyata, rencana orang tua Paquita untuk membawa putrinya melanjutkan pengobatannya di Singapura, tidak semudah yang dibayangkan. Paquita tak bisa tenang menghadapi kedua orang yang sedari lahir merawatnya dengan kasih sayang. Setiap mama-papanya menemuinya, Paquita mengamuk seakan-akan membenci keduanya. Ia berani mengusir mama-papanya dengan kasar, serta melontarkan cacian dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan kepada orang tua. Tampaknya Paquita sangat memendam kebencian dan menyalahkan orang tuanya itu. Dari caci-makinya, semua sependapat bahwa Paquita merasa dirinya tak disayang oleh orang tuanya, tak seperti kakak laki-lakinya yang baru saja menikah. Bahkan, kokonya diajak mengungsi beserta istrinya.
Meskipun papanya yang dikenal dengan panggilan Ko A Poey berusaha menjelaskan alasan mereka meninggalkan Paquita dalam keadaan darurat, tetap saja Paquita tak mau menerima. Ia merasa dirinya sengaja dibuang di Indonesia sendirian. Paquita sudah berada di puncak lelah serta putus asa akan nasibnya. Beberapa kali, ia kepergok akan mengakhiri hidup dengan membungkam mukanya dengan bantal. Untuk itu, ruangannya selalu dijaga ketat beberapa perawat dan petugas keamanan.
Arya dan Ronald yang setiap hari bergiliran menjaga gadis yang kini sudah mengalami gangguan kejiwaan di tingkat depresi. Namun sajauh itu, mereka belum bisa menemui Paquita. Arya terlihat lebih sabar dibanding Ronald yang temperamental. Selebihnya, Arya hanya perlu bertanggung jawab atas keteledorannya. Ia akan menunggu hingga Paquita tenang dan mau ditemui mereka. Jangankan Arya dan Ronald yang cuma teman, orang tuanya sendiri tak mau ditemuinya.
Semenjak orang tua Paquita berada di Jakarta, mereka tidak bisa ke mana-mana. Jangankan ke luar, di rumah sakit atau hotel pun mereka merasa mata orang-orang melihat sinis ke arahnya. Padahal mereka sudah menyamar dengan pakaian muslim agar tidak diganggu. Namun, situasi masih belum kondusif. Sewaktu akan memantau keadaan pabrik saja, Ko A Poey merasa dirinya ada yang mengikuti. Ia tak berani keluar kendaraan, dan langsung tancap gas. Hingga akhirnya, tidak merasa nyaman berada di Jakarta, dan mamanya masih trauma, selalu dihantui ketakutan akan serangan segerombolan massa. Mereka memutuskan untuk kembali ke Singapura sampai Jakarta kembali aman. Mereka menitipkan Paquita kepada saudaranya, juga kepada Arya dan Ronald.
“Saudara Arya! Anda diminta Nona Paquita menemuinya,” pinta suster kepada Arya yang sedang duduk berdua di lantai koridor rumah sakit bersama Ronald. Mereka terlihat sedang menikmati kopi hitam di gelas plastik bekas air mineral.
Arya refleks menoleh ke arah Ronald yang berada di sampingnya. Rasa tak enak menyelusup relung hatinya. Apalagi saat menyaksikan sorot mata Ronald begitu membara menatapnya. Untuk meredam baranya, Arya memberi isyarat agar Ronald mengikutinya.
Perlahan Arya mengetuk dan membuka pintu kamar Paquita. Namun, begitu tahu ada seseorang di belakang Arya, Paquita langsung menyuruh Ronald ke luar. Ronald sontak geram, tetapi Arya buru-buru menenangkan. Arya meminta Ronald untuk memahami kondisi jiwa kekasihnya saat itu. Dengan wajah kesal, Ronald melangkah mundur. Kali ini, ia merasa benar-benar harga dirinya dijatuhkan pacar sendiri.
Kini di ruang VIP rumah sakit itu tinggal mereka berdua saja, Arya dan Paquita. Dengan langkah hati-hati Arya yang mengikat rambut gondrongnya memakai karet, mendekati ranjang yang ditiduri Paquita. Tubuhnya agak gemetaran dan detak jantungnya tak beraturan. Namun hal itu segera reda tatkala melihat tatapan Paquita melemah tak segarang sewaktu melihat Ronald tadi. Hingga kakinya berhenti di samping gadis yang terbaring lemah itu, ia tak berani duduk, membuka mulut, apalagi menyentuh. Arya berdiri mematung bagai pengawal menanti titah Sang Ratu.
“Aku mau pulang,” ujar gadis itu.
“Pasti. Tapi kalau sudah dapat izin dari dokter,” jawab Arya. “Kamu harus semangat untuk sembuh kalau mau cepet pulang.”
“Aku nggak betah. Aku mau pulang, ikut kamu!”
“Hah?”