“Pak, sudah lihat video viral tentang demo kemarin, nggak? Heboh banget, lho!”
Gio menyusul Arya ke ruang dosen dengan napas ngos-ngosan setelah berlari-lari kecil. Ia menyodorkan ponsel kepada dosennya yang baru saja tiba di kantor.
“Sudah! Tentang Jefri Nichol, kan?” jawab Arya dengan enteng. Ia meletakkan tas laptopnya di atas meja, lalu membuka tutup botol air mineral yang sedari tadi dibawanya untuk diteguk.
“Bukan! Ini di videonya Alea. Sudah viral di media sosial lho, Pak! Ini temen Bapak yang kemarin diceritakan sama Mama, kan?” Gio memaksa Arya untuk melihat rekaman video yang diunggah dari akun Tiktok Alea.
Penasaran dengan sikap Gio yang antusias serta menyebutkan temannya, Arya pun merebut ponsel Android dari genggaman Gio. Setelah melihat video itu, Arya tercengang. Rautnya berubah tegang, tetapi tak lama kemudian mulai mengendor karena menahan ketawa.
“Ini videonya Alea?” Arya memastikan.
Gio mengangguk. “Alea ngonten di sekitar Gedung DPR. Dia nggak sengaja rekam penampakan siluman parlemen. Ha-ha!”
Tawa Gio dan Arya meledak bersamaan. Mereka khususnya Arya, tak mengira dalam video itu terekam kelakuan Ronald, anggota Dewan Yang Terhormat dari salah satu fraksi, sedang memberi insruksi kepada massa yang diduga anggota Buzzer, untuk berbaur dengan pendemo dan membuat kekacauan. Tak lupa ia beserta rekan-rekan satu partai membagi-bagikan amplop dan sekotak nasi. Dalam kolom komentar, mereka habis dihujat oleh Netizen yang tidak suka dengan aksi tersebut. Arya dan Gio tampak geli dan puas membaca komentar-komentar penuh kecaman di beberapa postingan yang banyak singgah di beranda-beranda aplikasi media sosial.
Arya tersenyum puas menyaksikan kehancuran Ronald yang sudah di depan mata. Akhirnya, dendam yang selama ini tersimpan, telah usai dibalas oleh hukum alam. Siapa yang menanam, ia yang akan menuai hasilnya.
Kebahagiaan Arya saat itu tak berlangsung lama karena mendapat telepon dari asisten rumah tangganya yang mengabari nyonya rumah sedang kritis. Arya terkejut lalu mengambil tasnya kembali untuk dibawa pulang.sebelumnya, ia menelepon rumah sakit untuk meminta ambulan menjemput ke alamat rumahnya.
Gio yang memperhatikan tingkah lelaki masa lalu mamanya itu dengan penuh tanda tanya. Ia mencoba bertanya, namun Arya tak menjawab. Karena penasaran, Gio mengikuti langkah Arya yang tergesa-gesa menuju tempat parkir mobil.
“Pak! Saya ikut!” teriak Gio.
Arya menahan laju kendaraannya saat melihat Gio berlari ke mobilnya. Tanpa menjawab, ia membukakan pintu depan mobilnya. Gio langsung masuk lalu duduk tanpa berkata apa pun. Sepanjang perjalanan pun, mereka hanya diam. Sekali-sekali Gio memperhatikan lelaki yang sedang memegang setir itu terligat gelisah dan sediit panik. Namun, ia tak berani bertanya.
Sesampai di rumah Arya, Gio baru paham apa yang tengah terjadi. Paquita, istri dosennya, sedang mengalami kritis dengan penyakit kanker rahim yang dideritanya. Ia tak sadarkan diri ditangisi asisten rumah tangganya. Arya segera membopong Paquita ke ambulan yang baru saja tiba.
*
“Ar, aku ingin bertemu Wiwid. A-aku ingin mengatakan sesuatu padanya.”
Beberapa menit setelah siuman, Paquita membuka masker oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya. Sebetulnya Arya sudah berusaha mencegah, namun Paquita memaksa dengan menggunakan bahasa isyarat. Lalu ia berucap lirih memohon agar Arya mengabulkan permintaannya untuk bertemu Wiwid. Sesungguhnya ia selalu dihantui perasaan bersalah terhadap perempuan itu karena telah merebut Arya darinya. Meskipun ia tahu, menunggu Wiwid adalah hal yang mustahil. Arya telah menganggap Wiwid tiada. Tetapi, Paquita tetap menyimpan perasaan buruk terhadap diri sendiri.