Jakarta, 2024
“Pokoknya aku nggak setuju Mama nikah lagi. Kita udah cukup bahagia, kok, dengan begini aja.”
Gio langsung menyela saat mamanya sedang menjelaskan apa yang terjadi di ruang ICU tadi sore, antara Wiwid dan Paquita.
“Ini beda konsep, Gi!” Wiwid tak mau kalah, “yang Mama hadapi adalah permintaan orang yang lagi berjuang melawan maut.”
“Nggak gitu juga! Mama jangan mentang-mentang janda, lalu mau aja disuruh kawin sama laki orang. Apa Mama mau disebut Pelakor?”
“Gio! Jaga mulutmu! Mama nggak semurahan itu!” hardik Wiwid sambil memelototkan kedua biji matanya kepada Gio yang berubah ketus.
“Mama harus punya harga diri, harus punya rasa kasihan juga sama istrinya. Empati dikitlah. Jangan karena Pak Arya mantan Mama, mau aja dijodohin. Jangan sampai deh dibilang kegatelan.”
Emosi Wiwid sudah memuncak. Amarahnya yang ditahan-tahan sedari awal berbicara, kini meledak. Ia beradu mulut dengan sengit melawan Gio yang sama-sama tak mau mengalah. Memang kalau ibu dan anak itu sudah berdebat, selalu diakhiri dengan adu mulut. Namun, adegan menegangkan itu tak betah bertahan lama. Biasanya mereka diam-diaman, tak lama kemudian sudah akur lagi seperti tak pernah terjadi apa-apa.
*
Arya termangu saat mendengar penjelasan istrinya saat ditanya tentang pembicaraannya dengan Wiwid hingga perempuan itu pergi tanpa pamit padanya setelah keluar kamar Paquita. Ia tak menyangka sedikit pun iastrinya akan melakukan hal itu. Sungguh ia malu pada Wiwid. Akan ditaruh di mana mukanya seandainya mereka bertemu lagi. Arya tak paham apa yang dikehendaki istrinya dengan melamar perempuan lain untuk menjadi istri suaminya, sementara ia masih berada di dunia ini.
Ya, Arya memang mengakui, dulu Paquita sempat menolak saat ia lamar. Paquita mengira ia akan setia kepada Wiwid, meski sudah lama tak ditemukan bayangannya lagi. Paquita yang saat itu sudah mulai ada perkembangan kesehatan lahir dan batinnya, mencoba bangkit dari keterpurukan yang tak mudah. Itu pun karena Arya yang tak lelah menyemangati. Arya merasa iba terhadap nasib Paquita, sedangkan Paquita merasa harus membalas budi atas kebaikan dan perhatian Arya kepadanya. Ia harus membayarnya dengan menerima pinangannya.
Kini, hanya karena penyakit kronis yang dideritanya, Paquita meminta Arya menikahi Wiwid padahal tak ada yang tahu kapan ajal menjemputnya. Siapa sangka orang terlihat sehat, bisa lebih dulu dipanggil Yang Kuasa. Arya dihadapkan pada situasi memilih buah simalakama. Seandainya ia menerima tawaran Paquita, ia tak tega bila harus menduakan. Belum tentu juga Wiwid mau menerimanya. Sedangkan jika menolak, sudah pasti Paquita akan kecewa. Dan takutnya tek termaafkan hingga tutup usia.
“Aku nggak janji, ya, Sayang. Aku harus mempertimbangkan banyak hal. Bukan tentang Wiwid saja,” sahut Arya berusaha memberi pengertian.
“Enggak, Ar. Kamu harus berjanji padaku. Ingat, aku melakukan ini karena aku sadar dan rela demi mengembalikan dirimu sama dia. Dialah yang lebih berhak atas kamu. Kalian masih saling mencintai,” imbuh Paquita seraya mengelus lengan Arya seakan memberi keyakinan atas ucapannya.
“Yang terpenting saat ini adalah kesehatanmu. Enggak usah pikirin apa-apa lagi. Aku nggak akan ke mana, akan selalu ada di sampingmu, Sayang.”
“Ar, aku bersungguh-sungguh akan mengembalikan kamu sama Wiwid.”
“Memangnya aku barang, yang bisa dibagi-bagi sesukamu?”