“Cie … yang bakal punya papa baru!”
Siang itu di bangku taman area kampus, Alea menggoda Gio seraya memainkan sepasang alis yang tergores rapi di atas kelopak matanya, sehingga dahinya ikut bergerak-gerak dengan gemas.
Gio yang duduk dengan menaikkan kakinya ke bangku, hanya tersenyum simpul. Ia sedang asyik menonton rekaman video hasil konten yang dibuat Alea di kampus. Video tentang keseharian mahasiswa yang sedang mempersiapkan ujian akhir. Sesekali ia menertawakan tingkah konyol rekan-rekan mahasiswa dalam rekaman yang belum disunting oleh tim editor itu.
“Gi! Gue serius nanya, Pak Arya beneran bakal jadi papa tiri lo?” Raut wajah Alea kini tidak terlihat sedang bercanda. Ia menatap kedua mata pacarnya dalam-dalam seakan mencari kebenaran.
“Ya, terus kenapa? Ada yang salah? Enggak ada, kan, sebutan papa tiri jahat? Kalau Ibu Tiri, baru bener! Ha-ha!” Giliran Gio yang kini menjawab dengan candaan.
“Nggak gitu, Gi. Gue Cuma penasaran, nanti setelah Tante Wiwid dan Pak Arya menikah, lo mau panggil Pak Arya dengan sebutan apa? Papa, atau Om Arya?”
“Kayaknya gue tetep panggil Bapak, deh. Pak Arya, dosenku ternyata ayah tiriku.”
“Persis judul sinetron di TV tetangga gue!”