AKU MENELUSURI jalan kecil di bawah matahari siang yang bersinar terik. Anehnya, sinar matahari itu sedikit pun tak terasa menyengat di kulitku. Padahal jam tangan kecil yang melekat erat di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul satu siang. Tapi memang begitulah keadaan di Te Anau―sebuah kota kecil yang berlokasi di Pulau Selatan tanah Aotearoa atau Selandia Baru. Kota yang tak akan pernah sanggup kutinggalkan karena aku sudah jatuh hati pada alamnya yang melimpahiku dengan segala kenikmatan. Pada pegunungannya yang membentang megah, pada danau cantiknya yang berhamburan, dan terutama pada udara bersihnya yang begitu memanjakan tubuh. Populasinya yang sedikit―di Te Anau hanya terdapat sekitar tiga ribu orang—bisa membuatku menghirup oksigen sebanyak mungkin di gudangnya. Tidak heran negeri ini disebut Negeri Awan Putih Berarak. Menginjakkan kaki di tanah ini saja aku sudah seperti berada di surga. Aku yakin, tidak akan ada surga lain selain di Selandia Baru.
Sekilas aku dapat melihat awan melintas laksana ombak di atas kepalaku. Meneduhkan tubuh kecilku untuk beberapa waktu, hingga akhirnya ia berlalu. Berlalu seperti semangatku yang sempat menggebu-gebu saat terbangun di pagi hari.
Tak pernah terbayangkan dalam benakku akan mendapatkan kabar yang begitu memukul mundur semangatku. Aku tahu sedari awal seharusnya aku tidak boleh terlalu mengharapkannya. Kegagalan yang kudapatkan dari dulu semestinya sudah cukup sebagai pertanda. Aku harus mengakhirinya; aku harus melupakannya.
Kuhela napas panjang. Rasanya mataku begitu berat. Aku tahu tidak lama lagi air mataku akan jatuh, membuatku tampak seperti seorang gadis kecil yang baru kehilangan boneka Barbienya. Dan ini yang paling kubenci dari diriku. Aku terlalu cengeng. Aku selalu menangis walaupun hanya dihadang masalah kecil.
Aku kembali menarik napas panjang sambil mengelus pelipisku perlahan. Air mataku belum boleh keluar sekarang. Tidak di tempat seperti ini. Tapi lagi-lagi aku gagal. Air mataku telah menyeruak keluar lebih cepat dari yang kuinginkan saat kutatap papan itu. Papan yang memajang sebuah poster berdasar warna putih terang dengan latar gambar seekor angsa hitam—yang banyak ditemukan di Danau Rotoroa di Hamilton―sedang berenang di permukaan air yang tenang.
Betapa bodohnya aku. Air mataku bisa-bisanya terjun bebas hanya karena sebuah poster yang telah kubaca lebih dari 15 kali dalam tiga hari ini. Sebuah poster yang bahkan terpasang di dinding kamarku sendiri.
Namun entah kenapa, informasi yang terekam di permukaan kertas persegi itu begitu menarikku untuk kembali membacanya. Seolah cerita menarik sedang menantiku di sana.
Kubungkukkan tubuh. Menumpukan seluruh berat badan pada kedua pahaku dan mulai membaca beberapa kata yang terangkai di sana.
Kontes Balet Queenstown
Pendaftaran berakhir tanggal 10 Mei
Kontes akan dilaksanakan pada 7 Juni di Celeste Pons
“Celeste Pons,” aku mengulang perlahan. Rasanya dua kata itu seperti sebuah belati tajam yang menorehkan luka di hatiku. Tak sanggup lagi kutahan air mataku. Aku membiarkannya mengalir, membasahi wajahku yang telah kusut. Aku ingin melepaskan semua emosiku, tapi sekali lagi otakku melarangnya. Ini bukan tempat yang pantas. Aku harus menghentikannya.
Aku beringsut berusaha membawa tubuhku pergi. Tapi, kakiku seolah mati rasa. Aku tidak dapat beranjak dari tempat itu. Poster itu terus menghantuiku―dan bukan hari ini saja.
Jika aku memikirkannya kembali, mungkin aku adalah orang paling bodoh dalam hal kompetisi. Aku selalu gagal walaupun hanya dalam tahap awal. Dan kegagalanku tampil di Celeste Pons juga bukan untuk yang pertama kalinya.
Tahun lalu aku juga mencobanya. Sebuah kontes balet paling bergengsi di Queenstown―sebuah kota yang berjarak dua jam dari Te Anau. Tidak ada seorang balerina pun yang akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Tidak kecuali aku.
Aku ingat waktu itu satu minggu menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ratu. Aku sudah memegang nomor tampilku―nomor tujuh. Dan aku telah menghabiskan sebagian besar waktu liburan musim panasku untuk berlatih mati-matian. Aku bahkan membuang kesempatan pindah ke Paris—tempat orangtuaku, yang bekerja sebagai diplomat, sekarang menetap.
Saat itu aku terlalu gugup untuk penampilan pertama sehingga aku kembali memutuskan berlatih untuk terakhir kalinya di kamarku. Tepat sebelum kontes dimulai.
Tapi ketika aku melakukan putaran fouettés, kakiku terkilir dan aku harus menerima kenyataan dirawat di rumah sakit selama dua hari. Dan tidak hanya itu. Selama seminggu, aku harus berjalan dengan bantuan sebuah tongkat karena urat di pergelangan kakiku terlalu lelah dan bengkak akibat dipaksa latihan yang tak kenal batas.
Aku ingat saat itu selama seminggu tangisan menjeratku tanpa ampun. Rasanya tak ada perasaan yang lebih sakit daripada menerima kenyataan yang terulang berkali-kali. Saat itu aku berjanji pada diri sendiri, aku akan terus mengejar impianku. Sampai kapan pun, aku harus tampil di Celeste Pons dan aku tidak akan pernah meninggalkan surga ini sebelum impian itu berhasil kutaklukkan.
Akhirnya, aku berhasil beranjak dari lamunanku. Kakiku berhasil membawaku pergi. Kuhapus air mata. Kutelusuri jalan panjang yang membentang di hadapanku seolah tanpa ujung.
Jalan kecil yang membentang di hadapanku tampak sepi. Aku berjalan pelan ditopang dengan tenaga lemah yang masih bertahan di balik tubuhku. Deretan rumah mungil yang semuanya tampak mirip membentang di sisi kanan kiriku.
Rumah-rumah di sini terdiri dari dua tingkat. Pada bagian atasnya terdapat sebuah balkon kecil yang rindang dan menjadi tempat favoritku untuk bersantai di sore hari.
Aku bisa melihat banyak pohon vine maple rindang bertebaran di sepanjang halaman kecil di depan setiap rumah. Pagar setinggi pundak yang berlapiskan sulur membentang di sepanjang halaman, menjadikannya mirip seperti sebuah maze jika dilihat dari langit.
Kuentakkan kaki begitu sampai di balik pagar rumah mungil bernomor tujuh yang menjulang tinggi di depanku. Rumahku tidak berbeda dengan rumah-rumah lain di sepanjang jalan—sebuah rumah dengan halaman kecil penuh bunga yang terpasung dalam pot-pot yang tertata rapi. Di sebelah kiri pekarangan terlihat sebuah pohon amur maple yang masih mungil. Daun-daunnya yang berwarna oranye kini terlihat mulai rontok.
Tepat di seberang rumahku tampak rumah bernomor empat belas yang dibiarkan kosong seminggu belakangan. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda hadirnya penghuni baru yang akan mendiami rumah itu. Karena tak mendapat perawatan, pekarangannya yang dulu dipenuhi bunga mawar telah mengering dan kini tampak tak berbeda dengan padang sabana.
Segera kubuka pagar rumahku yang kini terasa berat seolah ada batu besar menghadang di baliknya. Mungkin sekarang tenagaku telah pergi meninggalkanku. Tubuhku terasa lemas. Sudah cukup lama pagar ini tidak diperbaiki dan seharusnya aku lebih sering memikirkan hal ini sekarang daripada terus melamunkan Celeste Pons.
Dengan langkah gontai kulintasi halaman kecil menuju pintu kayu rumahku—rumah mungil yang telah empat tahun kutinggali. Sebelumnya, aku pernah tinggal di Kanada, tempat kelahiranku, selama empat tahun. Kemudian menetap di Inggris selama lima tahun, di Amerika selama tiga tahun, dan di Mesir setahun. Kehidupan yang aneh bagi seorang gadis pembenci petualangan sepertiku.
Rumahku sangat nyaman, kecil tapi cukup luas bagiku. Ketika masuk, sebuah lorong pendek menyambutku. Di ujung lorong terdapat tangga kayu yang menghubungkan ke lantai dua tempat kamarku berada. Menghadap sisi utara, tepatnya di samping tangga, terdapat ruang dapur yang selalu melambungkan aroma lezat yang sanggup menggoyang lidahku. Sedangkan di sebelah kanan lorong, terdapat ruang tamu kecil tempat kami biasa beristirahat dan menonton televisi dengan sebuah sofa hitam nyaman yang kini sedang dikuasai Karen, sepupuku yang tinggal bersamaku.
Usia Karen sebaya denganku, hampir menginjak 17 tahun. Karen memiliki postur tubuh agak pendek, lebih pendek dariku yang hanya 166 cm. Dari pipi di wajahnya hingga jempol kakinya penuh dengan lemak berlebih. Lehernya hampir tidak terlihat karena tersembunyi di balik lipatan dagunya.
Karen memiliki rambut yang unik; panjang hingga sebahu tapi sangat keriting. Sebagai kapten taekwondo di sekolah, fisiknya cukup tangguh. Banyak temanku yang merasa segan jika harus berhubungan dengannya.
Matanya sekarang sedang terfokus pada layar televisi kecil yang sedang menampilkan acara kegemarannya—kontes memasak. Dia memiliki bakat yang luar biasa dalam bidang itu.
Aku beruntung Karen sedang disibukkan oleh tontonannya. Itu berarti aku tidak perlu membagikan kesedihanku padanya. Aku cukup tahu bahwa sikapnya sedikit berlebihan dari orang biasa.