Aku tahu benar siapa itu Jeff. Dia mungkin akan aku tempatkan di urutan terakhir nominator pengiring baletku karena aku mengenalnya sebagai musuh Daniel.
“Aku rasa itu hal yang tidak mungkin. Bagaimana kau menjelaskannya nanti pada Daniel?” tegasku. “Kau, kan, tahu Daniel dan Jeff adalah dua orang yang selalu bersaing di lapangan rugbi.”
Kali ini untuk kedua kalinya Karen terlonjak lagi saat mendengar kalimatku. Ekspresinya lebih gila. “Bagaimana mungkin kita melupakan dia?!” lengkingnya lagi.
Aku lebih terkejut dibanding Karen. “Apa maksudmu?”
“Daniel!” lolong Karen antusias. “Seharusnya aku tahu siapa yang akan mengiringi baletmu dari awal. Apa kau lupa Daniel bisa bermain piano? Kenapa kita harus susah-payah mencari pengiringmu kalau kekasihmu sendiri adalah seorang pianis. Yah ... itu pun kalau dia masih bisa memainkannya.”
Raut wajahku menegang dengan sangat cepat. Aku seharusnya sudah memikirkan Daniel dari awal. Bagaimana mungkin dia tidak masuk keranjang nominator?
“Ya. Seingatku dia memang bisa main piano,” sahutku pelan.
Raut wajah Karen langsung dibanjiri kemenangan. Alis matanya dinaik-naikkan seperti kail yang sedang ditarik pemancing.
“Tapi,” aku cepat-cepat menimpali, teringat suatu hal. Karen hanya dapat memandangiku dengan raut wajah bingung. “Daniel terlalu sibuk, Karen. Dan satu hal yang paling penting, dia benci balet! Itu di luar kamusnya. Hanya rugbi yang selalu memenuhi kepalanya. Tidak ada balet, tarian, atau hal-hal bodoh di luar latihan keras rugbinya setiap hari.”
Karen masih bungkam, tampak tak teryakinkan.
“Apa kau berpikir seorang kapten tim rugbi yang terkenal di Te Anau International College mau mengurangi jadwal latihan rugbinya hanya untuk duduk sambil menarikan jemarinya di atas piano dan melihatku melompat-lompat seperti seekor kodok begitu?” aku menatap Karen tajam, berusaha menegaskan kenyataan padanya.
Aku mendesah panjang seolah melepaskan sisa semangatku. “Sudah, lupakan saja. Aku rasa itu ide yang buruk.” Aku memberikan penekanan khusus pada kalimat terakhirku.
Sekarang kekecewaan berbalik merasuki Karen, membuatnya tampak jengkel.
“Ayolah, Viola. Hal itu tidak akan terjadi. Dia orang pertama yang menyatakan cintanya di Te Anau kepadamu. Aku yakin dia tidak akan mengecewakanmu. Dia tahu kau suka balet dan dia tahu kau bercita-cita tampil di Celeste Pons. Aku tidak yakin untuk mewujudkan cita-cita kekasihnya dia akan menolak tawaran itu.”
“Itu hal yang paling tidak masuk akal, Karen. Meneleponku saja sudah sulit baginya, apalagi untuk meladeniku menari balet. Oh … ayolah, Karen. Lupakan ide terburuk itu. Berpikirlah logis. Aku tahu, menari di Celeste Pons sudah tamat bagiku. Memang sebenarnya apa yang aku harapkan? Celeste Pons awal dari cinta sejati?” Aku tertawa kecil, sinis. “Sudah cukup lama aku diracuni pikiran bodoh itu.”
Karen bangkit lagi dari bangkunya. Kaki gemuknya terlihat sedikit oleng saat harus menyangga tubuh beratnya yang bangkit mendadak.
“Ayolah, Viola. Apa yang terjadi denganmu?” Aku tahu dia akan berusaha melancarkan strategi yang telah berhasil dilakukannya tadi. Namun, kali ini dia tidak akan berhasil. “Apa kau lupa sejak pertama kali kita sampai di Selandia Baru hanya Celeste Pons-lah yang kau inginkan? Aku ingat kau pernah bilang, ‘Aku akan mengejar cinta sejatiku. Aku ingin kisah cintaku seperti Mary dan James.’” Karen berusaha meniru cara bicaraku, tapi hasilnya begitu buruk. “Betul, kan? Itu yang kau inginkan.” Karen menarik tanganku, berusaha menyadarkanku.
Tapi aku tahu itu semua hanyalah khayalan yang sudah kedaluwarsa. Bagaimana mungkin aku pernah mengatakan kalimat bodoh itu? Aku bukan anak kecil lagi yang percaya pada cinta sejati. Mary dan James? Kisah cinta mereka sama seperti kisah Romeo dan Juliet. Hanya saja mereka mendapatkan akhir yang bahagia, dan kebahagiaan mereka didapat di Celeste Pons.
Celeste Pons. Sebuah gedung tua megah dengan sejuta pesona, tempat berkumpulnya para balerina di Selandia Baru―seolah kau tidak bisa menganggap dirimu seorang balerina jika kau belum pernah menginjak panggungnya. Tempat bersejarah yang menjadi saksi kisah cinta duo penari balet paling kukagumi―Mary dan James! Apa aku terlalu egois jika aku menginginkan kisah cinta sejati yang berhasil mereka raih? Apa aku salah jika aku menginginkan tampil di tempat paling bergengsi di surgaku ini?
“Sekarang, yang harus kau lakukan hanya menelepon Daniel dan memintanya untuk mengiringi baletmu. Dan semuanya akan beres. Kau mengerti?”
Karen memandang lurus ke arahku seolah memberikan isyarat jika aku tidak segera memberikan jawaban yang memuaskannya, aku akan dipiting hingga tulang punggungku remuk.
“Apa kau yakin aku harus melakukannya?” Pertanyaan retoris. Aku tahu, bagaimanapun aku harus melakukannya.
Karen memberikan anggukan semangat padaku.
Mulutku mencibir. “Baiklah, Madam. Kau selalu menang,” kataku dengan senyum muslihat. “Tapi,” aku berusaha mengingatkannya, “jika kali ini aku gagal, langsung coret nama Daniel dari daftar.”
Karen mengangguk lagi, kali ini lebih bersemangat. Kelihatannya dia puas.
Kuambil gagang telepon yang terdapat di dinding depan dapur. Segera kutekan beberapa keypad hingga menimbulkan bunyi-bunyi yang kusukai. Karen menunggu dengan tegang, sementara aku menanti jawaban dari seberang.
Tidak ada jawaban. Aku hanya disodorkan dengan suara wanita dalam kotak suara.