Eonine terlepas dari mimpinya. Matanya membelalak dan tangannya memegang leher. Ia pastikan kalau kepalanya masih menempel dengan badannya. Mati dengan kepala terpenggal seperti dalam mimpinya itu sangat konyol.
Keringat mengalir membasahi pelipis. Tangan kanannya mencengkeram baju putihnya. Ia merasakan sendiri betapa kencang jantungnya berdetak. Kedua matanya bekerling waspada, mengamati setiap sudut ruangan berwarna putih. Siapa tahu iblis hitam pemenggal kepala itu muncul tiba-tiba dari dinding maupun langit-langit.
Eonine agaknya mulai berhalusinasi. Lampu penerang di langit-langit seolah berkedip. Ia terguncang oleh rasa takutnya sendiri. Pintu kamarnya yang terbuka sontak membuatnya bergidik sampai ia harus menggigit bibirnya sendiri.
Efay masuk dengan kursi rodanya. Ia mengamati Eonine sejenak dan merasa ada yang aneh dengan gadis kecil berambut panjang nan hitam legam. Dengan sekali perintah dari otaknya, kursi roda andalannya menuntun ke tempat Eonine.
“Eonine? Apa kamu baik-baik saja?”
Eonine terkejut dengan kakaknya yang tiba-tiba tepat berada di depan wajahnya. Ia kemudian tertunduk dengan kedua tangannya mengepal dan sedikit meremas celana putihnya.
“Oke. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Yeah. Aku ke sini hanya ingin memberitahumu kabar baik. Kamu tahu Eonine? Kakiku sekarang sudah bisa digerakkan lho. Bukankah ini sangat mengejutkan?”
Efay memperlihatkan kakinya yang tak bisa bergerak. Ia tahu kalau ini tak mempengaruhi apa yang sedang Eonine pikirkan. Gadis kecil berumur lima tahun lebih muda darinya itu masih ketakutan.
“Apa kau tahu, Eonine? Apa apa yang kakakmu ini miliki sekarang? Aku tak punya apa-apa.” Efay membiarkan kalimat itu mengambang. Ia hanya ingin melihat reaksi adiknya. Lalu ia melanjutkan kalimatnya, “kecuali kamu. Kamu, Eonine.”
Efay lalu mengelus kepala Eonine. Meski memiliki tangan kurus, kasih sayang terhadap Eonine tak akan pernah surut.
Air mata Eonine seketika menggenang di ujung kelopak mata. Lalu dengan suara lantangnya ia berkata, “aku tidak mau lagi! Kita semua sudah tamat. Iblis itu akan memenggal kita semua!”
“Eonine, ada apa denganmu?” kakaknya sangat terkejut dengan adiknya. Eonine sangat berbeda hari ini.
“Kak Efay, kenapa hanya Eonine? Ini tidak adil!”
“Kamu hari ini kenapa sih?”
“Aku ingin pulang.”
“Eonine, aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi, tolong tenanglah.”
“Sebenarnya, untuk apa aku di sini? Untuk apa kita semua di sini?”
Efay hanya dapat terdiam dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Pikiran adiknya saat ini sedang kacau. Efay menduga iblis hitam yang dibicarakan adiknya adalah penyebabnya. Jelas-jelas hal semacam itu tidaklah nyata dan hanya ada di sebuah mimpi buruk.
Efay mungkin tak punya obat untuk menghilangkan iblis hitam dari mimpi buruk. Tetapi, ia memiliki satu hal yang biasanya bisa membuat Eonine nyaman dan tenang.
Efay mendekati adiknya lagi dan mencoba idenya. Ia berbisik lirih “aku tak tahu sampai kapan Desven akan terus berdiri di depan pintu. Apa kalian sedang janjian?”
“Em... I-itu... dia yang mengajakku.” Eonine menunduk malu setelah menyebut nama temannya itu.
“Maaf Kak Efay, aku tiba-tiba masuk tanpa menekan belnya.”
“Ah ini dia. Baru saja kami membicarakanmu. Oke, kalau begitu. Kak Efay pamit dulu. Sampai jumpa lagi Desven. Jaga baik-baik Eonine ya.” Efay melebarkan senyumannya sampai ia meluncur ke luar dengan kursi roda otomatisnya.
“Ba-baik, Kak Efay.” Desven melambaikan tangan dan membalas senyumannya.
Efay berhenti sejenak tak jauh dari pintu kamar Eonine. Harapannya saat ini bukanlah kesembuhan dirinya. Efay justru sangat ingin Eonine bebas dari neraka yang berkamuflase sebagai tempat rehabilitasi. Sampai saat itu tiba, mungkin ia sudah pergi jauh dan tidak bisa melihat adiknya yang terbang bebas.
Desven seumuran Eonine, jadi mereka mudah dekat. Dia berambut pirang tak seperti Eonine. Tapi tidak bermata biru. Iris matanya hitam seperti milik Eonine.
“Yo! Eonine! Eh? Ada apa dengan wajahmu?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Wajahmu merah sekali lho. Apa kau demam?”
“Sudah kubilang! Aku tidak apa-apa!”