AGNISTONE - THE ORIGIN

Ginanjar A.
Chapter #2

Chapter 01 - Tourism

“Kita beralih ke berita selanjutnya. Sebuah candi baru yang ditemukan beberapa bulan lalu, kini menjadi viral di media sosial. Sehingga banyak warganet dari berbagai daerah yang penasaran dan berbondong-bondong mengunjungi objek wisata baru ini. Menurut para ilmuwan, candi ini berumur sekitar 1500 tahun, dan sampai sekarang candi baru ini masih dalam penelitian lebih lanjut ....”

Begitulah berita terkini yang tampak di layar ponsel pintarnya. Tanda ikon notifikasi beberapa kali mengintip di bagian tepi atas layar. Dalam satu kali sentuhan, beberapa pesan baru sudah muncul di layar ponselnya. Namun pelajar SMA berumur tujuh belas tahun ini lebih memilih keluar dari kamarnya. Ia segera mengambil botol minuman soda berwarna merah dari dalam kulkas di pojok dapur.

Pelajar SMA bernama lengkap Jaka Pratama ini terkekeh saat soda-soda liar berhasil menggelitiki dinding-dinding tenggorokannya. Ia merasa sangat puas. Minum minuman bersoda di malam hari seperti ini sungguh sangat luar biasa. Kebiasaannya ini menjadi hal wajib sebelum ia tidur.

Jaka kembali bercengkerama dengan ponselnya. Ada hal yang lebih gila daripada sebotol soda. Lawakan receh teman-temannya di grup obrolan berhasil mengocok perutnya yang penuh soda. Kemungkinan terburuknya, jika ia meluncur seperti roket malam ini dan ia tidak bisa tidur.

Senyuman yang jujur itu berubah dalam sekejap. Pigura yang tertelungkup di atas meja belajarnya ia ambil. Potret kenangan indah sepuluh tahun yang lalu bersama orang tuanya tersemat rapi dalam bingkai.

Dua tahun sudah berlalu sejak Jaka pertama kali masuk SMA. Rupanya kata rindu di hatinya sudah kedaluwarsa dan tidak relevan lagi baginya untuk saat ini.

“Jangan bercanda!” bisik Jaka sambil menggenggam erat pigura itu. Bisa saja ia menghancurkan potret kenangan itu sekarang juga. Namun ia masih membutuhkan itu sebagai pelampiasan atas kekesalannya.

“Kalian pikir dua tahun itu sebentar?” Jaka mengomel kesal.

Puas mengomel tidak jelas, Jaka menelungkupkan lagi pigura itu. Ia butuh sesuatu yang bisa meredakan emosinya. Seperti pigura di sebelahnya dengan lanskap yang sangat kontras dari pigura sebelumnya.

Pigura tersebut adalah foto kenangan ia bersama dengan empat sahabatnya. Sebuah foto bernuansa alam pegunungan berlangit biru cerah. Momen terbaik di antara yang terbaik. Momen yang membuat Jaka mampu berteriak sepuasnya, memberi tahu sang gunung dan sang langit bahwa tidak ada yang bisa menahannya. Sampai sang mentari dan para burung terkekeh menertawainya.

Suhu dingin pegunungan waktu itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan dinginnya malam ini. Jaka tidak bisa membayangkan jika ia harus mendaki gunung Jaya Wijaya—yang saljunya sudah mulai bermigrasi ke pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Baginya, salju alami di puncak gunung ataupun kutub selatan jauh lebih menyenangkan. Walaupun Jaka tahu itu sangat tidak bagus bagi tubuh manusia tropis seperti dirinya.

Untuk saat ini, Jaka hanya mampu menikmati salju di dalam imajinasi mimpinya. Bertemu dengan beruang kutub akan sangat menyeramkan. Mungkin ia harus bersembunyi di antara kawanan penguin, berlindung dari pemangsa dan juga suhu dingin yang sangat ekstrem. Bisa juga ia melempar bola salju ke arah teman-temannya. Lalu bersembunyi di balik pohon cemara atau benteng buatan dari tumpukan salju.

Pastinya memancing ikan di danau beku sangatlah menyenangkan. Lalu meluncur di atasnya, menari-nari dan berteriak sepuas-puasnya. Sampai perbuatannya itu memicu datangnya longsoran salju yang bergulung-gulung dan membuatnya terseret sampai ia tenggelam dalam tumpukan salju.

Kemudian saat Jaka terbangun dari mimpinya. Jika benar ia tertimbun salju, mana mungkin tubuhnya sakit seperti jatuh dari ketinggian. Pasti lebih dari itu. Jaka memegangi pinggangnya seraya berdiri mengambil ponselnya. Matanya setengah kabur melihat jam yang tertera pada layar ponsel.

“Mimpi sialan!” Jaka mengumpat. Seharusnya lima belas menit lagi ia sudah sampai di sekolah.

Buru-buru ia mengemasi barang-barang miliknya. Tidak ada banyak barang yang bisa ia bawa. Cukup kamera DSLR model terbaru yang ia bawa dalam tur belajarnya kali ini. Untuk camilan, ia serahkan pada kaum hawa.

Dengan bantuan ojol, Jaka bisa sampai di sekolah tepat waktu. Ia turun dari motor seperti baru saja naik pesawat jet tanpa kaca pelindung. Sampai seorang guru berparas cantik yang berdiri tegap menggeleng-gelengkan kepala melihat wajah berantakannya.

“Jaka Pratama.” Guru yang sering dipanggil Bu Nina itu mengeja nama lengkapnya. “Begadang main game online lagi?”

“Hehe. Enggak kok, Bu. Saya enggak telat kan?”

“Enggak. Ya sudah. Cepat sana masuk.”

Suasana di dalam bus semakin riuh. Teman satu kelasnya langsung mengolok-olok Jaka yang baru saja naik. Namun Jaka tetap merangsek maju, menuju tempat duduk di bagian belakang.

Jaka menemukan ketiga sahabatnya yang sudah dari tadi menunggu. Perhatian utamanya saat ini adalah dua orang cowok jomlo bermuka kesal duduk di belakang Utari. Jaka langsung menertawai mereka, karena telah gagal duduk sebelahan dengan salah satu cewek dari kelasnya.

“Ngapain ketawa, Jak?” Salah satu temannya yang memakai earphone merasa terganggu oleh tawanya.

“Lucu aja liat kalian berdua.” Jaka tertawa lantang dan berseru, “Eh! Emang enggak ada apa ya, yang mau duduk bareng sama mereka?”

“Eh, Jak! Enggak usah ngeledek gitu kali! Duduk, tinggal duduk! Apa susahnya sih? Ya, kan, Lex?”

“Iya, nih. Mentang-mentang duduk sama Utari.” Alex menimpali ucapan Gani.

“Santuy dong, santuy! Sensi amat sih!” ucap Jaka sambil duduk di sebelah Utari.

“Santai kepalamu botak!” Alex menjitak kepalanya dari belakang.

“Aduh!”

 

Selama mata belum terpejam, bus wisata SMA Maja masih riuh penuh dengan obrolan anak-anak remaja. Alat karaoke di dasbor depan pun jadi bahan rebutan bagi biduan dan para penyanyi dadakan. Bu Nina dan seorang pemandu wisata hanya duduk diam membiarkan mereka hari ini. Toh, masih ada hari lain bagi Bu Nina untuk tidak membiarkan anak muridnya santai dan bersenang-senang.

Sudah hampir empat jam perjalanan. Sebentar lagi mereka akan sampai di tujuan. Alam pegunungan berkabut sudah menyambut rombongan SMA Maja. Beberapa kilo meter lagi, mereka masuk ke dalam kawasan candi yang sedang viral di media sosial itu. Tentu saja Jaka tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia langsung mengambil beberapa gambar yang nantinya ia tambahkan ke dalam galeri akun media sosialnya.

Jaka dan Utari duduk di depan. Sementara Gani duduk di belakang mereka dengan wajah menghadap ke jendela. Duduk di sampingnya Alex dengan mata terpejam sedang asyik menikmati musik melewati earphone yang menempel di telinganya.

“Lex.”

“Ha?”

“Kirain enggak denger.” Gani menoleh ke Alex. Cowok berwajah kebulean itu tetap tidak bergerak dan matanya tetap terpejam. “By the way, kamu masih suka dengerin lagu grup band Varagraph itu? Bukannya mereka udah bubar tahun lalu ya?”

“Ha.” Alex menghela napas agak panjang. “Gani, Gani. Asal kau tau aja ya. Mereka itu baru saja tur Asia bulan lalu. Jadi mereka butuh istirahat sambil menyiapkan lagu-lagu singgel berikutnya.”

“O, semacam artis luar gitu ya?”

Lihat selengkapnya