AGNISTONE - THE ORIGIN

Ginanjar A.
Chapter #3

Chapter 02 - Burning

Jaka tidak mengira urusannya di dalam toilet berlangsung lebih lama. Harusnya ia punya cukup waktu untuk berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya. Sayangnya ia lupa membawa ponsel. Jadi ia tidak bisa melihat jam berapa sekarang.

Jaka buru-buru keluar dari toilet dan ingin segera berlari. Namun ketika ia membuka pintu toiletnya, pemandangan yang sangat berbeda menyambutnya. Hal ini sangat mengejutkannya. Logikanya memberi isyarat bahwa ada yang salah dengan kedua matanya atau ia sedang bermimpi? Terlebih lagi saat ia melihat sekeliling dan pintu toiletnya sudah menghilang.

Otaknya mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Sementara kakinya, ia ajak berkeliling menembus kabut yang berbaur dengan rimbunnya pepohonan tinggi. Jarak pandang yang terbatas, membuat setiap sudutnya terlihat sama. Atau ia benar-benar tersesat sekarang. Andai saja ada sedikit cahaya matahari masuk. Paling tidak ia bisa tahu ke mana arah matahari terbenam.

Semakin lama udara semakin dingin. Jaket yang Jaka kenakan bahkan tak lagi mampu menahan hawa yang menusuk tulang. Jari jemarinya terasa kaku. Bibirnya pun biru membeku. Ia memerlukan api unggun sekarang.

Walaupun Jaka sudah mengumpulkan banyak ranting kering. Ia tetap memerlukan penyulut api. Haruskah ia memakai cara primitif yang pernah dilihatnya di Youtube? Kemungkinan berhasilnya pun meragukan. Ia sama sekali belum pernah praktik langsung.

Duduk termenung saja tak membuat kemajuan apa-apa. Jaka bergegas nekat membuat api dari ranting-ranting yang ia kumpulkan. Namun saat hendak berjalan ke unggun, ia menendang sebuah benda kecil. Benda persegi yang keras dan mengkilap itu sangat familier. Jaka tahu persis benda tersebut.

“Mirip punya kakek,” gumamnya lirih. Namun ia tahu benda yang di tangannya itu polos dan tidak bermotif sama sekali.

“Baiklah.” Jaka mencium ujung sumbunya. “Ini masih bisa digunakan.”

Jaka segera menyulutkan korek apinya ke unggun ranting yang sudah tertata. Api pun mulai membara dan perlahan memberikan kehangatan bagi tubuhnya.

“Ah, sial! Mimpi kali ini terasa sangat nyata!” Jaka memukul keras wajahnya supaya ia bisa bangun dari mimpinya dan sama sekali itu tidak berhasil.

“Aduh. Kalau gini caranya aku benar-benar ketinggalan bus. Kenapa tidur di toilet segala sih!”

Angin dari arah kanannya tiba-tiba berembus kencang menerpa dirinya. Jaka langsung merinding kedinginan. Sampai api unggun yang ia buat tak mampu mengembalikan kehangatannya.

“Bukan, Nak!” suara seseorang memasuki telinganya. Parau dan tidak enak didengar.

“Si-siapa itu?” Jaka melirik ke arah angin tadi. Ia rasa dari situlah suara tadi berasal.

“Ini bukanlah mimpi,” ucap seseorang yang muncul dari balik kabut.

“Si-siapa ka-kakek?” Jaka mundur ketakutan. Wajah kakek tersebut sangatlah mengerikan. Kakinya juga tidak tampak. Kakek itu terlihat melayang di udara.

“Ehm, ehm. Aku lupa ini.” Kakek itu berdeham dan dalam sekejap suaranya berubah. Wujudnya pun sekarang menjadi lebih manusiawi.

“De-demit!” teriak Jaka yang berlari dan berlindung di balik pohon.

“Hus! Tidak sopan! Aku ini bukan demit!” Suara kakek berpakaian ala-ala pendekar Cina itu berbisik keras dari belakangnya.

Sontak suara tersebut langsung membuat Jaka bertekuk lutut dan memohon.

“Ampun, Mbah. Ampun! Saya cuma numpang istirahat, Mbah. Izinkan saya cari tempat lain ya, Mbah.”

Tubuhnya gemetaran, kulitnya merinding, matanya tak berani melihat sosok kakek misterius itu. Kakinya juga sudah mati rasa dan tak bisa berdiri lagi. Apalagi untuk berlari. Sangat tidak mungkin.

“Tenanglah, Nak Jaka.” Kakek berjenggot putih itu kini berbisik lebih lembut.

“Mbah kok tau nama saya?” tanya Jaka keheranan. Ia masih belum berani mendongak.

Kakek misterius di depannya hanya diam. Ia justru memegang pundak Jaka dan menarik tangan kanan Jaka. Lalu ia meletakkan sebuah kalung permata di atas telapak tangannya. Kalung itu mulai bersinar merah terang saat bersentuhan dengan Jaka.

Sinar merah itu kemudian mengundang cahaya putih yang menyilaukan mata. Perlahan cahaya tersebut menyelimuti sekujur tubuhnya. Ketika cahaya itu memudar, kakek pendekar tadi juga ikut menghilang. Kalung permata itu secara ajaib juga sudah menempel di leher Jaka.

“Aku tau kau punya banyak pertanyaan.” Suara kakek itu kembali terdengar. Kali ini seperti menggema di dalam kepala Jaka tanpa menampakkan wujudnya.

“Mbah?” Jaka mengerjap-ngerjapkan matanya. Kilau cahaya tadi membuat matanya agak terganggu.

Lihat selengkapnya