Tiga tahun lalu. Saat Helen mengajak Lily yang masih berusia empat tahun ke sebuah taman hiburan.
Acara yang sebenarnya direncanakan oleh Helen dan teman-temannya untuk mengisi liburan, tetapi Lily tetap memaksa untuk ikut. Tuan dan Nyonya Nadeline pun menyetujui karena acara itu bertepatan saat mereka harus pergi ke luar kota.
Helen terpaksa mengajak Lily dan harus menjaganya. Helen tak punya pilihan lain, meskipun dia tahu betul akan sangat merepotkan. Dia harus menjaga adik saat hanya ingin bersenang-senang bersama teman-temannya.
Taman hiburan itu telah dipenuhi pengunjung saat Lilly, Helen, dan kedua temannya: Jes dan Feni, datang. Mereka berdesak-desakan saat mengantre wahana roller coaster.
“Aku malas terus-menerus harus antre. Kalian tahu, kita salah pilih tempat untuk berlibur. Orang-orang berpikiran sama dengan kita untuk mengunjungi taman hiburan ini,” keluh Jes saat akan mengantre roller coaster.
“Andai mereka berpikiran sama denganmu, malas mengantre. Mungkin antrean di wahana ini akan kosong,” kata Helen.
“Kalau wahananya kosong, orang yang malas mengantre akan ikut ngantre ... kan, jadi sama aja bakal ada antrean,” timpal Jes.
“Kalau gitu orang yang malas ngantre bakal tetep ngantre ... kan, enggak ada pilihan lain,” balas Helen.
“Stop, stop. Udah, deh ... lagi pula, mana ada juga orang yang rajin ngantre. Terus, mau ngapain? Daripada berdiri di sini terus, mendingan ikut antre sebelum antreannya tambah panjang,” kata Feni sambil masuk ke salah satu barisan antrean lalu diikuti Helen dan Lily. Begitu pula, Jes yang tak dapat menyembunyikan raut kekesalan di wajahnya
Hampir satu jam lamanya mereka berdiri. Sedikit demi sedikit mereka melangkah mengikuti barisan antrean di depan masing-masing.
“Lily, tinggimu berapa?” tanya Helen yang menyadari sesuatu, saat dia membaca peraturan yang ada di samping pintu masuk wahana. Peraturan wahana yang menetapkan batas tinggi paling rendah, dan Helen tahu, Lily tak cukup tinggi untuk permainan di wahana itu.
“Enggak tahu,” jawab Lily sekenanya.
“Kurasa tinggimu belum cukup untuk naik wahana ini,” kata Helen. Dia langsung dapat melihat kekecewaan di wajah adiknya. “Jes ... kamu, kan, malas ngantre, temani Lily aja ... enggak usah ikut naik wahana ini.”
“Eeeh, seenaknya!” Jes langsung menampik sengit.
“Ya, udah naik wahana yang lain aja,” Feni berusaha menengahi.
“Tapi, nanggung ... udah setengah jalan, ngantre wahana lain pasti lama lagi.” Helen merasa keberatan tetapi tak ada balasan apa pun dari kedua temannya.
“Enggak apa-apa, Kak, aku sendiri aja,” kata Lily sambil langsung menyelinap keluar pagar antrean. Tubuhnya yang kecil dengan mudah melakukannya.
“Eh, Lily ....” Feni berusaha mencegahnya tapi tak sempat, dan langsung menatap tajam ke arah Helen, “Helen!”
“Apa? Lily bilang enggak apa-apa, kan,” kata Helen acuh.
“Ya, udah ... aku aja yang menemani.” Feni mengalah.
“Eh, jangan!” Helen langsung menarik tangan Feni.
“Gini aja ...,” lanjut Helen. “Lily! Tunggu di kursi itu... ya!” Helen menunjuk susunan kursi melingkar yang dinaungi payung di atasnya. “Enggak akan lama kok, kalau kamu mau beli minum, ini uangnya,” sahut Helen sambil memberikan sejumlah uang kepada Lily. Lalu, Lily pun pergi meninggalkan kakak dan dua orang temannya.
“Gimana? Kalian puas, kan? Semua senang,” ujar Helen lega.
“Lebih terasa seperti pengusiran yang sopan,” kata Jes.
“Tetap saja ....” Feni masih khawatir.
“Ayolah, Fen, lagian hal buruk apa yang akan terjadi? Takut diculik? Siapa, sih, yang mau bayar mahal masuk ke taman hiburan cuma buat nyulik anak kecil?” sambut Helen seraya melambai kepada Lily. Adiknya membalasnya dengan semangat. “Lihat! dia baik-baik aja, lagian hitung-hitung belajar mandiri, kan.”
“Alasan klise.” Jes menanggapi singkat.
Lima belas menit pun berlalu. Antrean baru bergerak beberapa langkah. Lily yang telah menghabiskan minumannya lalu membeli balon gas berwarna merah dengan sisa uang yang tadi diberikan Helen.
Antrean terus bergerak hingga akhirnya Helen tak dapat melihat Lily.
Setelah sampai rumah, Lily pasti akan menggambar dirinya sedang naik komidi putar, atau mungkin ... bianglala, atau juga ... balon merah yang baru saja dia beli ..., gumam Helen dalam hati.
***
Sekitar setengah jam kemudian, barulah mereka menyelesaikan wahana roller coaster. Helen merasa puas. Jes merasa mual saat turun dari wahana tersebut dan segera mencari toilet.
Seketika Helen menengadah. Dia merasa tertarik pada warna merah yang kontras di langit biru kala itu. Balon merah melayang ke angkasa! Meninggalkan pemiliknya ..., batin Helen mulai dipenuhi oleh perasaan tidak keruan.
Saat itu, kawasan taman hiburan semakin padat. Namun, Helen masih dapat melihat ke arah tempat duduk adiknya. Dan, alangkah terkejutnya, saat dari kejauhan dia melihat petugas taman hiburan yang sedang menggotong seorang anak kecil.