Helen tersadarkan dari lamunan tentang peristiwa tiga tahun lalu. Peristiwa yang menyisakan trauma mendalam, juga memberinya pelajaran agar terus menjaga Lily setiap saat.
Namun, Helen tetap bersyukur, bahwa tidak terjadi sesuatu yang terburuk pada Lily seperti yang diperkirakan sebelumnya. Setidaknya, tidak semuanya terjadi. Tak dapat dimungkiri, adiknya kesulitan dalam mengenali benda di sekitarnya. Terlebih, benda yang baru dilihatnya. Hal itu pula yang menyebabkan gambar-gambar Lily sekarang ini menjadi terlihat semakin aneh.
“Helen, ayo ... turun! Makanan udah siap,” kata ibunya dari lantai bawah.
Hubungan Helen dan kedua orangtuanya sudah membaik kembali. Hanya saja, Helen selalu dapat merasakan saat ekspresi dan nada suara keduanya akan berubah jika membahas apa yang diderita Lily.
Helen keluar dari kamar Lily yang berserakan, menyusuri koridor lantai dua, menuruni tangga, lalu berkumpul bersama keluarganya di ruang makan untuk sarapan. Dia telah mandi dan memakai seragam dengan rapi.
“Bu, sebentar lagi libur,” ujar Lily sambil kembali meminum segelas susu yang telah disiapkan untuknya.
Helen duduk di sebelah Lily sambil mengambil nasi dan telur dadar yang baru saja diangkat dari penggorengan.
“Lalu?” tanya ibunya sambil merapikan dasi ayah yang hendak berangkat kerja.
“Kukira kita akan berlibur,” sambung Lily.
“Ke pantai. Ayah bilang ke pantai,” Helen mendukung ucapan Lily.
“Sungguh?” Tuan Nadeline berpura-pura tak tahu.
“Jangan mengelak, Yah,” kata Helen.
“Asyik ke pantai!” seru Lily sambil mengayunkan kakinya di kursi.
“Ayah pikirkan lagi.” Tuan Nadeline memeluk istri dan anaknya satu per satu sebelum akhirnya pergi dengan mobil yang disopirinya sendiri.
“Jangan lupa menjemput Lily sepulang sekolah,” kata Nyonya Nadeline seraya menoleh ke arah Helen. Helen mendengar suara dengan intonasi berbeda. Seolah-olah ada penekanan di setiap kata-katanya.
Pasti, Bu, Helen berjanji dalam hati.
Kemudian, Helen melihat Lily yang menyendok makanannya dengan menggunakan garpu. “Lily, itu garpu!” Helen mengambil garpu yang dipegang Lily, lalu menukarkan dengan sendok yang dipegangnya. “Kamu masih saja tak dapat membedakannya, Ly?” Lily tidak menjawab. Dia hanya meneruskan makannya dengan lahap.
Tak lama kemudian, terdengar klakson bus sekolah Helen berbunyi nyaring di depan rumah mereka. Helen mengambil suapan nasi sebesar mungkin lalu menyalami ibunya tanpa menghabiskan sarapan.
Dia lalu mengambil tas sekolah, sebelum berlari menuju bus sekolahnya.
Nyonya Nadeline akan mengantar Lily ke sekolah, sebelum dia berangkat kerja.
****
Helen mengetuk-ngetukkan pulpennya ke meja. Dia masih berada di kelasnya sambil menghitung setiap detik yang berdetak di jam dinding. Dia sudah tak sabar menunggu jam pelajaran yang akan berakhir. Jam dinding kelasnya menunjukkan pukul 13.00. Tapi, bel yang ditunggunya tak kunjung berbunyi.
Dia merasa lelah saat mendengarkan Feni dan Jes membicarakan rencana liburan yang menjadi kegiatan rutin mereka. Hanya saja, saat ini Helen tidak antusias untuk ikut merencanakannya. Dia tahu, dirinya akan menghabiskan hari-harinya di rumah. Terlebih, jika liburan ke pantai bersama keluarganya tidak jadi dilakukan. Kebosanan akan merasuki dirinya. Tapi, entah kenapa dia tak keberatan, asalkan tetap bersama adiknya.
Akhirnya, bel tanda pulang berdering. Menyeruak ke seisi gedung sekolah.
Helen berlari menuju bus sekolah yang telah menunggu di halaman depan. Jes dan Feni tidak ikut bersamanya menaiki bus tersebut. Rumah Feni yang dekat dengan sekolah membuatnya lebih memilih untuk berjalan kaki. Sedangkan Jes, selalu ada sopir pribadi yang siap menunggunya selalu di depan sekolah.
Helen kemudian turun tepat di depan sekolah Lily. Adiknya telah setia menunggunya di tangga serambi gedung sekolah bersama temannya. Selanjutnya, mereka berjalan kaki sejauh beberapa blok menuju rumah.
“Ada murid baru di kelasku, pindahan,” ujar Lily.
“Sungguh? Siapa namanya?”
“Cessie. Tubuhnya kurus, mukanya bulat, merah, seperti tomat, dan rambutnya seperti kain pel,” sahut Lily yang menjawab dengan detail tentang teman baru yang disebutkannya tadi.