Ahed Tamimi

Mizan Publishing
Chapter #3

Pengantar Penerbit

Seorang gadis sekolah Palestina beRusia 16 tahun yang secara mendadak dan brutal dikirim ke penjara militer di Israel merupakan kejutan luar biasa bagiku, dan bagi jutaan orang di seluruh dunia. Belakangan aku menonton klip video singkat—hasil rekaman militer Israel—yang menunjukkan betapa sekelompok tentara Israel gagah perkasa berpakaian tempur lengkap mencengkeram kuat-kuat gadis itu, Ahed Tamimi, memaksanya keluar dari pintu depan rumahnya, menuju kendaraan militer Israel, lalu mendorongnya masuk. Tiga puluh tahun silam, kami melihat polisi rezim apartheid di Afrika selatan menangkap para militan AnC dengan cara seperti itu. namun, militan-militan itu adalah kaum lelaki gagah perkasa, dan mereka sering melawan penangkapan itu dengan kekerasan—sehingga memicu penanganan kasar semacam itu.

Namun, ini adalah seorang gadis muda yang seharusnya pergi ke sekolah keesokan paginya, yaitu rabu. Di meja kamarnya tergeletak sehelai kertas, Pr sekolahnya yang sudah selesai. Alih-alih menyerahkan Pr kepada gurunya setelah sarapan, dan rutinitas-rutinitas beradab lainnya—dia dipaksa meninggalkan ranjang pada tengah malam. sebelum dia benar-benar menyadari apa yang terjadi, sebuah pintu baja terbanting menutup di depannya, mengurungnya dalam sel di sebuah penjara militer suram.

Ketika mengetahui hal ini dari berita di swedia, aku benar-benar terpana. sebagai ayah dari dua orang putri, aku bisa membayangkan kengerian yang dirasakan gadis itu, dibangunkan oleh tentara-tentara asing yang menerobos masuk ke rumahnya pada tengah malam—dan mereka memburu-nya. Aku juga merasa prihatin terhadap ayahnya. Aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan; aku menulis pesan untuk lelaki itu, Bassem Tamimi, di halaman Facebooknya, untuk mengungkapkan simpati dan menawarkan solidaritas dalam kampanye pembebasan Ahed.

Aku tahu bahwa gadis itu menampar seorang tentara Israel, tetapi tindakan itu tidak bisa membenarkan penangkapannya. Aku telah melihat videonya, direkam oleh ibu Ahed empat hari sebelumnya, pada 15 Desember 2017. Video itu memperlihatkan dua tentara bersenjata Israel memasuki apa yang kini kuketahui sebagai kebun keluarga Tamimi, juga Ahed dan nour yang sangat marah dan menyuruh mereka pergi. Tentu saja mereka marah. Baru beberapa menit sebelumnya, seorang tentara Israel menembak sepupu Ahed yang beRusia 15 tahun, Mohammad Tamimi, persis di wajahnya dari jarak dekat dengan peluru baja berlapis karet, membuatnya koma, sebelum dilakukan pembedahan untuk menyelamatkan nyawanya. Dan kini, tentara-tentara yang sama itu memasuki kebun keluarga Tamimi, tanpa alasan jelas.

Klip video itu menunjukkan betapa perselisihan panas dimulai di antara dua tentara dan dua gadis kecil—yang nyaris setinggi bahu kedua lelaki berseragam itu. Tentara-tentara Israel itu menolak pergi. salah seorang tentara mulai melambailambaikan tangannya di depan Ahed dan memukulnya untuk mendorongnya mundur. Ahed bereaksi spontan dan balas menampar, mengenai tentara itu. Apa yang akan dilakukan kedua tentara, seandainya ibu Ahed tidak merekam adegan itu?

Bagaimanapun juga, mereka memang menunjukkan pengendalian diri. Ketika tentara yang satu lagi melanjutkan perdebatan dengan kedua gadis itu, tentara yang menerima tamparan memunggungi kamera dan berubah pasif. Klip video yang menunjukkan Ahed membalas dengan menampar seorang perwakilan Tentara Israel, tanpa langsung dihukum atas tindakannya, menimbulkan luapan kemarahan dalam komunitas Israel. sebagian marah karena tentara itu tidak membalas dengan kekerasan, sebagian bahkan berkata bahwa gadis itu seharusnya ditembak. suara-suara lantang menyerukan pembalasan dendam.

Sama seperti banyak orang lainnya, aku menyadari kebijakan pendudukan Israel dan gencarnya kritik yang dilancarkan terhadap Israel karena pelanggaran hak asasi manusia berulang kali. negara Israel mungkin telah kehilangan sebagian besar kawannya di dunia gara-gara ini. namun, semula kubayangkan penindasan itu belum mencapai taraf menjebloskan gadis sekolah ke penjara, dan untuk pelanggaran sekecil itu. Hari-hari dan minggu-minggu selanjutnya mengajarkan kepadaku betapa naifnya diriku.

Lihat selengkapnya