Pengantar oleh Prof. Komaruddin Hidayat
“Do what you feel in your heart to be right—for you’ll be criticized anyway.—You’ll be damned if you do, and damned if you don’t.”
—Eleanor Roosevelt
Ucapan mantan Ibu Negara Amerika Serikat di atas barangkali cukup relevan untuk memahami Basuki Tjahaya Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok. Di tengah budaya politik Indonesia yang sering sarat eufemisme (kalau tak boleh disebut hipokrisi), kemunculannya sebagai tokoh penting pemerintahan—pemimpin provinsi daerah khusus ibu kota negara—memang menjadi fenomena menarik. Ahok dapat dikatakan minoritas dari berbagai segi. Dia sangat sadar sebagai bagian dari kelompok minoritas dari sisi agama dan etnis, bahkan juga minoritas dari sisi gaya retorika di jajaran pejabat publik—dinilai kasar, tidak santun dan suka marah.
Di tengah status minoritas yang sudah tak menjamin popularitas itulah, Ahok akhirnya memang tampil lugas, apa adanya. Sebenarnya dengan begitu, malah tidak sulit bagi masyarakat untuk menilai, lalu memutuskan akan mendukung atau menolaknya. Meski tak langsung terkait, Ahok diuntungkan oleh, misalnya, fenomena kemunculan wali kota London yang Muslim dan keturunan Pakistan—fenomena yang menurunkan perasaan anti-minoritas, sebagaimana Barack Obama yang berkulit hitam bisa menjadi Presiden Amerika Serikat.
Mengkritik Bukan Berarti Membenci
Secara umum, karakter Ahok yang terkesan arogan akan dipandang sebagai down-side (sisi yang merugikan). Memang, karakter Ahok bisa jadi masalah kalau dikaitkan dengan pilkada DKI, saat mana seharusnya dia mengambil simpati masyarakat luas. Warga Jakarta yang berpendidikan tinggi dan berwawasan global tentu saja hanya sebagian kecil. Yang mayoritas sesungguhnya masih menyimpan isu SARA, hanya saja ditahan tidak muncul ke ruang publik. Saya sendiri menilai, jangan-jangan lawan Ahok sebenarnya adalah dirinya sendiri yang karakternya dianggap kurang pas sebagai tokoh publik. Namun justru di situ letak keunikannya—jika memang dia benar-benar berkarakter jujur dan lugas. Biarlah masyarakat menilainya dengan mudah dan transparan sebagai pertimbangan membuat keputusan, mau pro atau kontra, menolak atau mendukung.
Ahok sepertinya memang seorang pekerja sekaligus petarung—siapa saja dilawan. Bahkan partai politik dan media massa yang sangat berpengaruh dalam membuat opini masyarakat, berani dia lawan. Tentunya ini dapat menjelma bumerang, misalnya orang lantas memandang bahwa Ahok gampang mengkritik, tetapi tidak tahan dikritik; walaupun, sikap Ahok itu juga bisa dipandang sekadar bersikap spontan melayani kritik. Ahok sendiri pernah mengatakan, mati pun siap dalam mengemban tugas dan menghadapi ancaman—jadi yang lebih jauh dari kritik pun siap dia hadapi. Memang betul, banyak orang yang lantas sakit hati oleh Ahok, dan Ahok tetap saja jalan terus sesuai karakternya. Sepintas ini seperti tindakan “bunuh diri”, tetapi di sisi lain juga dapat dipandang sebagai sikap nothing to lose dan keinginan fokus serta tulus bekerja demi rakyat.
Bagaimanapun, Ahok perlu juga memahami dan menunjukkan pemahamannya bahwa orang yang mengkritik bukan berarti tak mendukung atau anti. Never assume that every critic is a hater—tidak semua orang yang mengkritik itu musuh; sebagian justru dengan tulus menunjukkan kebenaran. Masyarakat juga berhak punya harapan dan ekspektasi akan standar moral dari seorang pemimpin.