Saya “mengejar” Ahok untuk penulisan biografi ini hampir dua tahun. Saat saya berlibur di Belitung pada pertengahan 2012, seorang warga setempat bernama (Alm) Ade Daryanto Tjoa menyarankan agar saya menulis buku ini karena “Pak Ahok di sini bagus lho, coba Ibu tulis deh soal beliau.” Seusai libur, saya browsing tentang siapa Ahok, lalu mengirimkan SMS ke Ahok dan memutuskan datang ke Jalan Borobudur, Menteng waktu beliau kampanye wagub. Saat konferensi pers hanya wartawan yang diizinkan meliput, tetapi saya memaksa minta masuk. Waktu itu 2 satpam dan 1 orang—entah siapa—melakukan perdebatan kilat tentang apakah sebaiknya saya dibiarkan masuk. Akhirnya, saya diberi izin dan setelah badan saya tergencet-gencet, sampailah saya di dalam ruangan yang panas dan sesaknya naujubilah. Ini pengalaman biasa buat wartawan, tetapi karena itu bukan profesi saya, jadi saat itu berasa seru banget.
Di situ saya ketemu Ahok, tetapi cuma sempat bilang, “Pak, saya yang SMS waktu itu, saya pengin buat buku Bapak, kata Bapak ‘iya’.” Ahok cuma bilang “Iya, iya.” Begitu. Ya iyalah, mau berharap Ahok bicara apa? SMS saya pasti yang balas asistennya. Saat itu Ahok baru saja selesai konferensi pers, ada ratusan orang di ruangan dan beliau dikerubuti puluhan orang yang minta foto bareng. Keringat bercucuran di badan semua orang karena ruangan sesak dengan manusia, lantai kotor dan hawa menjadi pengap. Waktunya benar-benar tidak pas untuk berbicara tentang buku. Saya tahu sih, tetapi di sisi lain saya memang tidak berencana untuk menunggu waktu yang pas karena pasti saya hanya punya dua pilihan: Waktu yang tidak pas dan waktu yang sangat tidak pas.
Saya “mengejar” Ahok sejak Juli 2012. “Mengejar”-nya hanya secara virtual, dari depan laptop. Itu pun tidak tiap hari, bahkan tiap minggu pun tidak. Saya berulang kali merasa malas dan bosan karena SMS dan e-mail saya selalu dibalas, tetapi giliran minta wawancara pasti tidak ditindaklanjuti. Belakangan, dari sebuah bacaan saya tahu bahwa di akhir 2012 Ahok pernah ngomong begini ke seseorang, “Orang bisa membuat buku saya tanpa perlu wawancara, lihat saja sebanyak-banyaknya dari YouTube.” Untung saya tahu hal ini belakangan yaitu saat 50% buku telah ditulis, sudah wawancara Ahok dan juga sudah ke Belitung. Kalau dari awal saya sudah tahu, pasti saya mundur sebelum maju. Sekadar catatan, di akhir 2014 saya diberi tahu bahwa sebenarnya ada beberapa wartawan yang menulis buku Ahok, tetapi entah kenapa sampai hari ini buku tersebut belum terbit.
* * *
Suatu hari, lewat seorang sahabat, Pater Martin Bhisu, Bu Kartini Sjahrir mengundang saya ikut makan malam di rumahnya karena Ahok juga datang ke acara itu. Ibu Kartini Sjahrir adalah istri dari Dr. Sjahrir, pendiri Partai Perhimpunan Indonesia Baru. Ini adalah partai pengusung Ahok waktu maju menjadi anggota DPRD Belitung Timur.
Ibu Kartini adalah senior sekaligus sahabat Ahok dan Ibu merekomendasikan saya untuk menulis buku ini hingga dua-tiga kali di depan Ahok dan semua tamu. Jadi, ya ... sepertinya Ahok tak punya pilihan lain selain mengiyakan.
Jadi, kesimpulannya, karya ini bisa terbit karena ada banyak orang yang ikut ambil bagian. Untuk itu, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada ....
Yesus Kristus, yang membuat segalanya menjadi mungkin dan telah memberi saya apa yang tak pernah terlihat oleh mata dan apa yang tak pernah terdengar oleh telinga saya yang begitu terbatas. Keinginan saya yang terbesar adalah melihat banyak figur seperti Ahok menjadi pemimpin di berbagai daerah. Buku ini adalah “5 roti dan 2 ikan” saya untuk-Nya. Semoga Ia berkenan melipatgandakannya.
Keluarga kecil saya ....
Manare Panggabean, untuk dukungan moralnya yang luar biasa. Ia paham bahwa saya bukan hanya sedang menulis sebuah buku, tetapi lagi berusaha ambil bagian, walau sangat kecil, untuk membuat anak kami berdua mengalami Indonesia Baru. Juga untuk Merryll, matahari saya. Buku ini adalah bagian dari tugas saya sebagai ibu yang sedang mencoba berkontribusi untuk membuat Indonesia menjadi rumah yang lebih ramah dan sehat baginya kelak untuk dia tempati. Tahu bahwa buku ini saya tulis karena dia dan untuk dia membuat segenap letih terbayar tuntas.
Bapak Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang sudah mengurusi rakyat sampai segitunya. Untuk waktu wawancara yang sudah disediakan dan kerja kerasnya untuk rakyat, saya haturkan terima kasih banyak. Secara khusus saya hendak mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak merelakan nyawa pada 2015 untuk menjaga harta rakyat, ini adalah salah satu penyemangat saya untuk meneruskan pengetikan saat rasa bosan sedang benar-benar menyerang. Doa saya setiap hari, dan jutaan warga lainnya, adalah melihat Bapak diberi umur panjang serta kesehatan.
Ibu Veronica, Nicholas, Nia, dan Daud, yang merelakan kepala keluarganya dimiliki rakyat. “The strength of a nation derives from the integrity of the home.” —Confucius. Salam hormat.
Ibu Buniarti Ningsih, yang jerih payahnya dalam melahirkan dan mengasuh anak memberi pengaruh signifikan pada gerakan antikorupsi di negeri ini.
Ibu Dr. Kartini Sjahrir, yang telah memperkenalkan dan merekomendasikan saya kepada Pak Ahok.
Pater Martin Bhisu, untuk dukungan moral yang diberikan serta inisiatifnya untuk memperkenalkan saya kepada Bu Kartini Sjahrir, “Terima kasih juga untuk surat rekomendasi ke Pak Ahok, Pater”.
Mas Sakti, Bu Ririn, Pak Maruhal, dan Mas Iqbal, yang telah membantu mengatur jadwal wawancara dan beberapa kali saya recokin.