Ahsya

Muhammad Haris Anwari
Chapter #1

Mentari Pagi

Pagi yang sering kali menjadi penantian berharga. Cerita ini berawal dari pagi itu, ketika suara ayam berkokok begitu merdunya, membangunkan setiap insan yang sedang tertidur lelap, setelah mengistirahatkan setiap sendi pada tubuhnya yang kelelahan karena dipaksa untuk bekerja setiap hari dari pagi hingga petang. Begitupun hari ini, semuanya akan berjalan sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Kehidupan yang sangat bersahaja, penuh dengan ketentraman, ketenangan, melebihi tenangnya angin pagi yang behembus setiap hari menyelimuti satu perkampungan kecil di daerah pedalaman yang jaraknya puluhan kilo meter dari kota. Terdapat beberapa rumah yang berjejer dan berhadapan, rumah-rumah panggung sederhana dengan bambu dan kayu sebagai pondasi dan atapnya. Setiap rumah yang dihiasi anyaman bilik yang amat sangat sederhana. Tapi dalam kesederhanaan itulah ketentraman dan kebahagiaan terpancarkan melalui senyuman indah yang terukir di wajah mereka.

Malam yang sunyi telah terlewati, suara jangkrik pun sudah tak terdengar lagi, dan hari sudah menjelang pagi. Fajar pun telah tiba bersamaan dengan keindahan yang ia bawa. Berkat sinar fajar yang meninggi, langit pun sontak memanjakan mata dengan paduan warna yang indah, lukisan yang tiada tandingannya, lukisan yang Tuhan ciptakan dengan keagungan-Nya.

Selain senja, fajar pun sangat dinikmati oleh banyak orang, termasuk warga di perkampungan itu. Ada beberapa warga yang menikmatinya di balik jendela kamar mereka, ada juga yang sambil berjalan menuju ladang yang mereka punya. Karena mayoritas pekerjaan warga di kampung itu adalah sebagai petani, dan sebagiannya lagi sebagai peternak dan tengkulak dari hasil panen warga kampung yang sering di jual ke kota.

Kesibukkan pun mulai terlihat dari setiap balik pintu rumah mereka, para kepala keluarga mulai bersiap-siap untuk menjemput rejeki mereka, para wanita menyibukan diri mempersiapkan makanan untuk anak dan suami tercinta, dan anak-anak senang sekali berdiam diri di jendela kamar mereka dengan tangan melekat di pipi sambil menatap indahnya langit ketika fajar tiba. Memperhatikan setiap goresan warna, dan menikmati sejuknya angin di pagi hari. Termasuk seorang pemuda di salah satu rumah sederhana itu yang bernama Ahsya. Sudah menjadi kebiasaan Ahsya setiap pagi sebelum beraktivitas, dia selalu menyempatkan diri untuk menatap alam, mengajaknya bicara, menceritakan setiap detail kehidupannya, karena dia tahu bahwa alam pun menyukai dirinya.

Air embun rerumputan yang mulai menetes, menjadi akhir dari pemandangan yang sedang dinikmati oleh Ahsya pagi itu. Ahsya adalah salah satu anak remaja berusia kisaran 15 tahun, dia tinggal berdua dengan nenek tua yang berusia 70 tahun di salah satu rumah di perkampungan itu. Kehidupan yang sederhana, yang tidak lepas dari keterbatasan, tidak membuatnya patah semangat dan bermalas-malasan dalam menjalani hidup. Karena ada sosok yang harus dia bahagiakan suatu saat nanti.

“Ahsya . . . kamu sudah bangun kan nak? ayo cepat keluar dari kamarmu, kita sarapan dulu sebelum pergi ke ladang.” Panggilan dari seorang nenek tua yang membuat dia terkejut seketika.

“Sudah dulu yah, nenek sudah memanggilku, aku gamau membuat nenek menunggu terlalu lama, aku juga harus membantu nenek hari ini, seperti biasa, he he . . .” Gumam Ahsya dalam hati berbicara kepada alam layaknya seorang teman yang menyudahi obrolannya pagi itu.

“Iyaa nek sebentar lagi Ahsya keluar.” Teriak Ahsya sambil melipat tikar dan selimut bekas dia tidur.

Kamar Ahsya yang hanya berukuran 2x3 meter dengan tikar sebagai alas tidurnya. Ahsya selalu bersyukur dan tidak pernah merasa sedih dengan kondisi seperti itu, karena kebahagiannya bukan terletak pada harta benda, melainkan ada pada sosok nenek tua yang sudah membesarkannya.

Setelah selesai, Pemuda itu pun langsung keluar kamar menghampiri neneknya sambil membuka kain yang menjadi penutup pintu kamarnya. Dari pintu kamarnya, Ahsya langsung bisa melihat satu sosok nenek tua yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Nenek tua itu sedang sibuk meniup api di tungku yang terbuat dari tumpukan batu dengan kayu yang terbakar didalamnya.

“Ada yang bisa Ahsya bantu nek ?” Tanya Ahsya sambil tersenyum.

“Gak ada nak. Kamu cepet cuci muka, terus langsung cuci tangan. Setelah itu sarapan, habis sarapan kita langsung pergi ke ladang yah.” Jawab nenek tua yang masih menggenggam sebilah bambu yang biasa dia gunakan untuk meniup api di tungku.

“Siap nek . . .” Ahsya menjawab sambil memikirkan betapa hebat neneknya itu, yang sedari dulu hidup sendiri, berjuang sendiri, karena suaminya sudah meninggal sejak 20 tahun yang lalu, yang ketika itu dia pun belum terlahir ke dunia ini.

Ahsya masih melamun sambil melihat neneknya yang terus meniupi tungku api menggunakan bambu yang dipegangnya itu. Yang ada dipikirannya saat itu selain kagum pada kehebatan neneknya itu, dia juga kadang merasa kasihan karena setiap hari nenek tua itu harus menyiapkan makan untuknya dengan berpanas-panasan di depan tungku api, dan kadang wajah serta matanya terkena debu atau bara api.

“Ahsya . . .” Nenek tua yang terus memanggil Ahsya berkali-kali.

“Eh iya nek” Jawab Ahsya sambil terkejut karena masih terjebak dalam pikiran dan lamunannya.

“Sudah cuci mukanya ?” Tanya nenek tua itu sambil menatap kearah Ahsya.

“Belum, he he.” Kata Ahsya sambil tersenyum malu dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Mau kapan ? Nanti kita kesiangan loh.” Tanya nenek tua itu untuk kesekian kalinya dengan posisi mata yang menatap penggorengan dan tangannya yang sibuk memasak tumisan sayur hasil panen kemarin.

“Iya siap nek sekarang, he he.” Jawab Ahsya sambil berjalan cepat menuju kamar mandi.

Setelah selesai, wajah pemuda itu pun sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya, dan dia langsung menghampiri neneknya yang sedang menyimpan nasi serta lauk pauk di atas lantai anyaman bilik rumah neneknya itu. Sarapan pagi itu dipenuhi dengan canda tawa antara nenek tua dan cucu kesayangannya. Cahaya kebahagiaan terpancarkan dari rumah yang sangat sederhana, tawa sang nenek yang selalu menghiasi setiap helaan nafas Ahsya, dengan tawa khas sang nenek, dan juga rongga mulut dengan giginya yang tinggal beberapa.

Nenek tua itu bernama nenek Ranti, dialah yang sudah merawat Ahsya sedari dia masih bayi, meskipun sekarang usianya sudah tidak lagi muda, tapi nenek Ranti itu masih memiliki fisik yang kuat, telinga yang masih bisa mendengar dengan normal, penglihatannya masih awas seperti ia saat muda dulu, dan kaki serta tangannya pun masih memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan aktivitasnya di ladang dan hutan untuk mencari kayu bakar. Umumnya di usia 70 tahun ke atas, orang-orang biasanya selalu membutuhkan tongkat untuk memapah atau sebagai penahan langkah kakinya yang sudah tidak lagi normal seperti dulu, tapi tidak untuk nenek Ranti. Kondisi fisiknya sangat terjaga, dan belum pernah terlihat sedikitpun oleh Ahsya neneknya itu sakit.

Sarapan pagi sudah selesai, Ahsya langsung membereskan semua tempat makan, sembari membantu juga neneknya menyiapkan bekal makan untuk siang nanti di ladang. Matahari sudah mulai menampakan dirinya dengan cahaya yang menyinari seluruh perkampungan. Waktunya untuk mereka berangkat ke ladang.

Pemuda itu pergi menuju ladang sembari memegang cangkul yang dikaitkan di atas pundaknya, dan tangan kirinya memegang gembor untuk menyiram bibit-bibit yang sudah ditanam kemarin.

Ketika di perjalanan, ada banyak sekali orang-orang yang pergi ke ladang mereka masing-masing, karena berkebun dan bercocok tanam sudah menjadi mata pencaharian mereka.

Lihat selengkapnya