Kegiatan di perkampungan itu sudah kembali normal setelah beberapa hari dari kepergian nenek Ranti. Meskipun masih dalam keadaan berduka. Ada hal yang tidak kalah pentingnya bagi mereka, yaitu mereka harus tetap menjalani hidup bersama keluarganya, memperjuangkan setiap pundi-pundi uang yang harus mereka dapatkan.
Setelah beberapa pekan dari kematian sang nenek. Ahsya memulai kembali beraktivitas seperti biasa. Menyiapkan sarapan, pergi ke ladang, dan mencari kayu bakar. Aktivitasnya memang seperti biasa, tapi tidak dengan kondisi hati dan sikapnya. Hari demi hari, Ahsya hanya melakukan pekerjaannya tanpa mengeluarkan satu kalimat pun kepada warga sekitar. Senyum pun tidak. Ia hanya pergi – pulang, semua sapaan orang sekitar pun ia hiraukan. Hanya wajah datar dan suasana hati dingin yang sering ia tunjukkan.
Hari demi hari dilewati seorang diri, tanpa ada lagi sosok yang menyemangati, yang menjadi alasan kenapa hidup ini masih harus terus ia jalani. Semuanya terasa hampa, tanpa kepastian, tanpa ada alasan yang jelas untuk apa ia hidup. Dikala hati masih terasa perih dengan sebuah perpisahan, dengan perginya sang penyemangat hati. Ada hal-hal yang masih harus ia lakukan.
Tatkala disaat cucuran keringat membasahi tubuh, air mata pun ikut mengalir deras membasahi pipi. Semuanya bercampur menjadi satu. Memori kenangan pun terbuka satu demi satu.
Mentari pagi yang selalu dinanti, kini sudah berganti peran. Dulu yang dia bawa adalah kehangatan dan secercah harapan untuk masa depan yang lebih indah. Tapi sekarang yang ia bawa hanyalah rasa rindu yang menggebu, menghujam jiwa yang sepi. Mengingatkan tentang sosok yang selalu hadir setiap hari dengan canda tawa dihiasi gigi yang hanya tinggal beberapa.
Bukan hal yang mudah untuk mengurus diri. Tapi apa dikata, semuanya harus terus berjalan, mencari jati diri, menjadikan hidup agar lebih berarti. Tapi pertanyaannya adalah, “untuk siapa sekarang hidupku ini ?” itulah yang sering ada di pikiran Ahsya.
Dalam perjalanannya ke ladang, Ahsya melihat ada dua kereta kuda dengan bak terbuka yang sedang terparkir di ujung perkampungannya dekat dengan ladang warga. Satu kereta kuda berisi berbagai macam barang di atasnya dengan dua orang yang ada disampingnya, dan satu kereta kuda lagi dalam keadaan bak terbuka yang kosong, tidak terdapat apa-apa diatasnya. Kereta kuda itu sudah tidak asing lagi bagi warga, karena dengan itulah setiap tetesan keringat yang sudah dikeluarkan selama beberapa bulan dapat tergantikan dengan beberapa uang dan kebutuhan pangan lainnya.
“Hei Alan. . .” terdengar teriakan dari seorang laki-laki paruh baya memanggil laki-laki tua yang ada di dekat kereta kuda itu. Dia adalah Kepala Dusun, dia berjalan menghampiri laki-laki itu dengan senyum yang berseri. Dan laki-laki itu hanya membalasnya dengan lambaian tangan sambil tersenyum.
“Kapan kau sampai Alan ?” tanya Kepala Dusun.
“Baru tadi malam.” Jawab laki-laki itu dengan posisi tangan bersalaman.
“Apa saja yang kau bawa dari kota ? Seperti biasa kan hasil panen kami bisa kamu bawa ke kota ? he he.” Tanya Kepala Dusun.
“Ada banyak seperti biasa, setiap kebutuhan pokok warga aku sudah siapkan. Dan aku pun sudah siapkan beberapa uang untuk membeli hasil panen warga bulan ini.” Jawab laki-laki tua itu sambil tersenyum.
Laki-laki tua itu bernama Alan, dia adalah salah satu pengusaha di perkampungan Ahsya. Dia adalah orang yang paling sering bepergian ke kota untuk menjual hasil panen warga dengan dibantu 2 orang asistennya, dan dia pun membawakan beberapa keperluan warga mulai dari sandang, pangan, dan papan. Sehingga warga pun tidak perlu repot-repot untuk pergi ke kota yang jaraknya lumayan jauh dari perkampungan. Laki-laki tua itu memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi. Tubuhnya gemuk dengan tinggi sekitar 160 cm dengan perut besarnya yang khas.
Ahsya yang hanya melihat dari kejauhan merasa penasaran dengan aktivitas laki-laki tua itu. Karena sejak dulu yang sering banyak mengobrol dengan laki-laki tua itu hanyalah nenek Ranti, sehingga Ahsya pun tidak tahu banyak tentangnya dan aktivitasnya di kota. Dia pun berinisiatif untuk mendatangi laki-laki tua tersebut.
“Permisi tuan.” Sapa Ahsya menghentikan obrolan sejenak antara laki-laki tua itu dengan Kepala Dusun.
“Iya nak.” Jawab laki-laki tua itu dengan ramah.
“Oh kau Ahsya, cucunya nek Ranti kan ?” Tanya laki-laki tua itu sambil memegang pundak Ahsya.
“Iya tuan.” Jawab Ahsya.
“Sudah besar yah kau sekarang. Badan kau makin berotot saja. Hebat kau.” Laki-laki itu menepuk-nepuk lengan Ahsya sambil tersenyum lebar.
“Iya tuan.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang Ahsya berikan.
“Maaf tuan, saya boleh menanyakan sesuatu?” Tanya Ahsya.
“Boleh, tanya saja.”
“Kapan tuan akan berangkat lagi ke kota ?”
“Mungkin lusa, memangnya kenapa ? kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu ?” tanya laki-laki tua itu.
“Saya ingin pergi ke kota tuan, apakah saya bisa ikut tuan ke kota ?” permintaan Ahsya itu sontak membuat laki-laki tua dan Kepala Dusun terkejut.
“Hahahaha, kau serius nak ? kehidupan di kota bukanlah kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Apa kau yakin ingin pergi ke kota ?” laki-laki itu bertanya sambil menatap mata Ahsya yang tidak main-main dengan permintaannya. Mata yang menunjukan keseriusan. Percakapanpun berhenti sejenak . . .
Helaan nafas terdengar dari laki-laki tua itu, “Huft . . . Baiklah kalau kau bersikeras ingin pergi ke kota. Tapi ingat, aku hanya mengantarkan kau sampai ke kota, sisanya kau bisa urus diri kau sendiri. Aku tidak bisa membantumu lebih jauh dari itu. Paham ?”
“Baik tuan.” Tegas Ahsya.
“Kau yakin Alan membawanya ke kota ? dia masih kecil apalagi dengan kondisi dia tidak tau seberapa keras kehidupan disana ? bahkan dia tidak punya bekal pengetahuan apapun.” Kepala Dusun memastikan lagi keputusan yang diambil oleh laki-laki tua itu.
“Ya.” Hanya itu jawaban dari laki-laki tua itu.
“Yasudah, sekarang kau selesaikan pekerjaan kau di ladang, subuh besok kau tunggu saja di depan gerbang perkampungan. Persiapkan dirimu.” Kata laki-laki tua itu yang mendadak raut wajahnya menjadi serius setelah melihat kesungguhan Ahsya untuk pergi ke kota.
“Baik tuan, terima kasih banyak.” Ahsya pun menundukan sedikit badannya sebagai ucapan terima kasihnya, kemudian pergi meninggalkan laki-laki tua itu untuk bergegas menyelesaikan pekerjaannya di ladang.
“Sebenarnya apa yang kau rencanakan untuk anak itu Alan ? Padahal biasanya kau menolak siapapun yang memintamu untuk mengantar mereka ke kota dan hidup disana.” Sambung Kepala Dusun.