Qingdao, musim panas 2011.
“HEY CAN I PLAY WITH YOU?”
Xiao Lin mendongak, menatap anak laki-laki yang muncul dari balik ayunan tidak jauh dari dirinya bermain dengan kucing putih berbulu lebat kesayangannya, Baipi. Gadis kecil itu menatap si anak laki-laki tajam, menimbang dalam hati apa sebaiknya ia pulang atau berteriak minta tolong. Baik Ma maupun Guru Xuan selalu mengingatkan agar tidak berbicara dengan orang asing, sedangkan anak laki-laki tersebut termasuk orang asing kan? Mata bulat Xiao Lin masih menatap anak laki-laki di depannya dengan kening berkerut; anak itu berambut merah, bermata lebar dan berlipat, tidak sipit seperti dirinya. Tetapi matanya berwarna coklat gelap, bukan biru seperti kebanyakan anak berambut merah yang ia tahu. Anak itu berwajah aneh. Oh ya, tadi dia bicara apa?
“Hey, I’m asking you, can I play with you?”anak itu bicara lagi—masih dengan bahasa yang aneh—seraya menunjuk ke arahnya dan Baipi. Xiao Lin secara refleks memeluk Baipi ketika kucing putih tersebut beringsut mendekat. Mungkin takut dengan kehadiran si anak asing.
“Huh? Ni shuo shen me ya (kau bicara apa)?” Xiao Lin memberanikan diri bertanya.
Wajah si anak laki-laki langsung berubah bingung, kerutan muncul di keningnya.
“Um… play, play,” anak laki-laki itu mencoba menjelaskan maksudnya sembari menunjuk dirinya, Xiao Lin dan Baipi, namun belum sempat Xiao Lin menangkap maksudnya, suara Ma terdengar memanggilnya.
“Xiao Lin.”
Xiao Lin bernapas lega ketika melihat Ma berjalan ke arahnya, ia tidak perlu berurusan dengan anak asing.
“Ma!” Xiao Lin bergegas berdiri sambil menggendong Baipi yang nyaris sebesar dirinya, menoleh sekilas ke anak laki-laki yang terlihat kecewa sebelum ia berlari ke arah Ma.
Keesokan harinya, si anak asing kembali ke taman bermain. Keberuntungan bagi si anak asing karena Xiao Lin masih di sana bersama Baipi dan hari masih terlalu siang untuk Ma datang menjemputnya.
Ugh
Semalam Xiao Lin bertanya pada Ma, bolehkah dirinya bermain dengan si anak asing? Ma mengizinkan, namun tetap berpesan untuk berhati-hati dan tidak meninggalkan BoBo, nanny yang menjaganya saat Ma bekerja di galeri. Rumah BoBo hanya beberapa langkah dari taman bermain kompleks. Bahkan dari tempat Xiao Lin berdiri sekarang, gadis kecil itu bisa melihat BoBo sedang membuat kukis dari jendela dapur yang besar. Lagipula tidak hanya Xiao Lin yang bermain, anak-anak kompleks juga bermain di sana usai sekolah.
Singkat cerita, hari ini, Xiao Lin, Baipi, si anak asing—yang dipanggil Hongtuofa oleh Xiao Lin karena rambutnya merah, ginger—dan beberapa tetangga Xiao Lin bermain di taman bermain sampai puas. Mereka baru berhenti ketika Ma datang menjemput Xiao Lin.
Keesokan harinya, Hongtuofa kembali datang untuk bermain bersama Xiao Lin dan teman-teman yang lain. Hingga tanpa disadari, Xiao Lin dan Hongtuofa bermain bersama setiap hari. BoBo pun meyakinkan Ma jika Tommy—nama asli Hongtuofa—bukan anak bermasalah dan Xiao Lin aman bermain dengannya.
Di mata Xiao Lin, Hongtuofa—err…. Tom maksudnya—masih tetap anak asing berambut merah yang berbicara dengan bahasa yang aneh. Mungkin dia cocok jadi temannya Sun Go Kong! Sama-sama berambut merah, bukan hanya saat bicara, kelakuan pun sering aneh. Tapi bermain bersama Tom itu menyenangkan, selain setiap hari membawa banyak mainan dia juga lucu.
Lalu apakah Xiao Lin dan teman-temannya mengerti apa yang dibicarakan Tom? Tidak sama sekali. Pun begitu dengan Tom. Tapi mereka tidak membiarkan kendala bahasa mengganggu keasyikan bermain.
Seperti contohnya, suatu kali Tom menakuti Xiao Lin dengan ulat dan harus rela menjadi bulan-bulanan gadis kecil itu sebelum akhirnya berhasil melarikan diri.
“Aaah Hongtuofa, ni bu you bao la! (Hongtuofa, kau jangan lari)”
“Come on Tiney,” Tom mengejek Xiao Lin dengan memanggilnya kecil, tiny. “Catch me!” teriak Tom sambil tidak berhenti mengitari taman bermain, sesekali bersembunyi di balik seluncuran ataupun melompati monkey bars.
"All right, I surrender!" teriak Tom. Ia menjatuhkan diri di kolam pasir dan telentang di sana dengan napas terengah-engah. Tidak peduli dengan baju dan rambutnya kotor oleh pasir.
Rupanya Xiao Lin pun lelah, karena gadis itu ikut-ikutan merebahkan diri, walaupun tidak di kolam pasir. Beberapa saat kemudian, ketika napas mereka sudah kembali normal, Tom beringsut berdiri, menepuk-nepuk pasir yang melekat di bokong dan bagian belakang kakinya lalu mengulurkan tangan pada Xiao Lin yang masih tiduran di lantai paving.
“I take you home. Looks like your Ma is late again,”
Tanpa banyak bicara Xiao Lin menyambut uluran tangan Tom. Dibantu teman-teman yang lain, Tom dan Xiao Lin memasukkan mainan Tom ke dalam tas, sebelum mereka saling mengucapkan sampai jumpa esok. Keduanya pun bergandengan tangan meninggalkan taman bermain.
“Pa!” Xiao Lin melepaskan genggaman tangan Tom dan berlari menghampiri seorang pria yang berdiri di anak tangga teratas di depan pintu rumah BoBo.
Pria tersebut sibuk bercakap-cakap dengan BoBo dan Ma. Di anak tangga paling bawah, sebuah koper hitam bersandar di pengangan kayu. Mendengar teriakan Xiao Lin, Ba berbalik tepat disaat Xiao Lin nyaris menubruknya. Beliau merengkuh si kecil Lin ke dalam pelukannya sementara Tom memperhatikan pertemuan ayah dan anak tersebut dengan tidak berkedip.
Pa dan Xiao Lin berbicara dengan bahasa yang tidak Tom mengerti, ia hanya memperhatikan bagaimana raut muka Xiao Lin yang ceria berubah berawan ketika Ba menuntunnya menuruni anak tangga. Kerutan di dahi Xiao Lin terlihat semakin jelas dan ia mulai menangis ketika melihat koper hitam di samping tangga. Pa berjongkok di depan Xiao Lin dan dengan sabar mengusap air mata di pipinya yang memerah. Xiao Lin baru tersenyum diantara tetes-tetes air matanya ketika Pa mengatakan Pa ai ni le (Papa sayang kamu).
Kali ini giliran kening Tom yang berkerut, Pa ai ni le, apa maksudnya? Kenapa Xiao Lin tersenyum begitu mendengar kata-kata itu? Tom mencatat dalam hati dan berjanji akan mengatakan hal yang sama jika suatu hari nanti Xiao Lin menangis.
***
“WHAT ARE YOU DOING?” tanya Tom penasaran ketika ia menemukan Xiao Lin sedang sibuk membuat coretan-coretan di selembar kertas kemudian memasukkannya ke dalam botol bekas. “What is that?” Tom menunjuk botol kecil tersebut.
“Gei wo Pa fale yi fengxin ya(aku mengirim pesan ke Papaku).” jawab Xiao Lin sambil tersenyum lebar. Ia menghanyutkan botol tersebut ke selokan dan mengawasinya hingga si botol hilang dari pandangannya.