SATU BULAN BERLALU tapi kehebohan demi kehebohan yang disebabkan oleh si kembar William masih belum juga reda, terutama ketika si adik, Tom, yang benar-benar masuk kelas seni.
Yeps, akhirnya Elva pun tahu jika si anak baru adalah kembar identik. Akhirnya juga sadar jika yang ia temui di lapangan basket ataupun di café adalah Tom, bukan John. Karena itulah cowok itu tidak pernah menyapanya, karena memang tidak saling kenal.
Duh.
Elva beberapa kali bertemu dengan Tom di luar kampus, tapi saat itu ia mengira Tom adalah John yang pernah ditemuinya di koridor kampus dan menanyakan ruang admin.
Kembali soal Tom. Bisa dibayangkan kehebohan apalagi yang terjadi ketika Tom muncul di kelas Elva pagi itu. Bahkan banyak yang berkomentar—kebanyakan para cewek—jika memang seharusnya begitu, sang kakak di kelas reguler dan si adik di kelas seni.
Elva? Selain kenyataan ia malu telah berprasangka buruk, dirinya tidak terusik sama sekali. Berbeda dengan teman-temannya yang lain.
Contoh, Noriko.
Dari hasil pengamatannya, sepertinya si adik lebih banyak mendapat perhatian dibanding sang kakak. Ada saja cewek yang memberi Tom hadiah cokelat atau surat cinta! Kadang Elva heran sendiri, sebegitu hebat kah dia? Tentu Tom tergolong cowok berwajah rupawan, si cucakrawa eh, Noriko bahkan bilang kalau di sekolahnya yang dulu, di Amerika—entah di Amerika bagian mana—Tom merupakan mantan kapten tim basket. Bahkan Tom pernah mengantar timnya menjadi juara di kompetisi nasional.
Tapi kenapa Tom malah pindah ke mari? Entah juga.
Nah bicara tentang si cucakrawa, ini juga mengherankan Elva, karena dia tahu banyak tentang si kembar William!
Hmm….
Elva meregangkan jemarinya lalu mulai memainkan sebuah lagu, diikuti lagu yang lain dan yang lain. Untuk beberapa menit berikutnya, segala sesuatu mengenai si kembar William tersingkir dari otaknya.
***
SEMENTARA ITU DI kelas, Tom mengaduk-aduk isi tas, keningnya berkerut dalam. Ada yang hilang. Ke mana bukuku? Tadi seingatku sudah kumasukkan, kenapa tidak ada?
“Muru, kau tahu buku sketsaku?” tanya Tom pada teman sebangkunya, Murugan, sambil memasukkan buku-buku yang berserakan di meja.
“Nope,” jawab Muru tanpa melepaskan pandangannya dari Detective Conan di tangannya.
Tom mengeluh dalam hati, ke mana bukuku?
“Mungkin tertinggal di kelas musik? Kita baru dari sana kan?” kata Muru lagi.
Tom menjentikkan jarinya, right!
“Ah benar,” katanya sambil berlari keluar kelas tanpa menunggu komentar Murugan.
Koridor panjang lumayan ramai, maklum sedang istirahat dan sesuatu yang sering kali dibenci Tom adalah saat seseorang yang tidak dikenalnya menghampiri untuk memberikan kado. Dulu ia menyukai semua perhatian semacam itu tapi semakin lama dia merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Apa yang mereka harapkan dengan tanpa pernah bosan memberinya kado anyway? It’s unlike he’ll date them or such. Mungkin terlihat cool, ketika hampir setiap hari confession di mana-mana, tapi seperti yang ia bilang tadi, aneh dan hampir menakutkan melihat kenyataan bahwa dirinya hampir tidak mengenal siapa-siapa yang memberinya kado.
Tom hanya mengangguk, tersenyum―meski senyum yang dipaksakan ketika menerima yet another tas kertas mungil berwarna biru dengan pita pink pucat dari entah siapa―lalu melanjutkan berlari-lari kecil menuju kelas musik.
Sebuah melodi mengalun lembut begitu dia membuka pintu kelas, Tom mengangkat alis, seseorang sedang bermain piano?
Pelan-pelan Tom menuju meja tempatnya duduk tadi, ah ternyata benar tertinggal di sini! Katanya dalam hati begitu menemukan buku yang dicari di laci meja.
Niatnya untuk segera keluar seketika terlupakan begitu mendengar bait lagu yang dinyanyikan salah satu siswi di atas panggung. Lagu yang cukup sedih. Tom kembali mengangkat alis, bukan lagu berbahasa Inggris? Tanyanya dalam hati ketika mendengar cewek itu menyanyikan bait lagu yang tidak dia mengerti, bukan bahasa Cina juga. Karena penasaran Tom duduk, mendengarkan cewek itu bernyanyi, tanpa sadar tangannya mengambil pensil yang tersimpan di-spine buku, mulai mencorat-coret halaman kosong. Tak butuh waktu lama sebelum sebuah sketsa tergambar di salah satu halamannya hampir bersamaan dengan cewek itu selesai memainkan lagunya, spontan Tom berdiri dan bertepuk-tangan.
“Sorry,” kata Tom sedikit menyesal ketika melihat mata Elva membulat, kentara jika gadis itu terkejut dengan kehadirannya.
Mungkin Elva mengira jika sendirian di ruangan tersebut. Yeah, Elva memang sendirian sebelum Tom menyelinap. He he.
“Aku tidak sengaja, niatnya tadi hanya mengambil bukuku yang tertinggal,” jelasnya sambil mengangkat bukunya. “Lagumu bagus,”
“Thanks,” jawab Elva singkat.
Hening.
Keduanya terdiam, Tom pun tidak tahu harus bicara apa. Walau untuk beberapa mata pelajaran mereka satu kelas, tapi Tom jarang berinteraksi dengan Elva. Bila berurusan dengan gadis itu, Tom yang biasanya tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan mendadak kelu, tongue tied. Mungkin karena Elva memberi vibe don’t-mess-with-me, fuck-off meskipun wajahnya sama sekali bukan tipe bitch-face. Sepanjang ia mengamati, Elva hanya berbicara banyak atau bahkan tertawa ketika bersama Noriko. Sisanya? Gadis itu hanya akan buka mulut ketika ada yang bertanya.
Anehnya lagi, teman-teman sekelas sepertinya enjoy saja. Ketika butuh, mereka tidak sungkan untuk minta bantuan Elva. Jadi intinya, Elva ini tetap enigma.
“Kau tidak masuk kelas?” tanya Elva memecah keheningan.
Tom terlonjak mendengar pertanyaan Elva, seketika ia teringat kalau masih ada kelas yang menunggunya.
“Ah benar, see ya,” pamit Tom sambil berlari keluar kelas musik.
Gah! Bagaimana aku bisa lupa kalau masih ada kelas? Umpat Tom dalam hati sambil berlari menyusuri koridor. Alamat kena omel Mrs. Claire nih, keluhnya.
***
“SEJARAH, SEJARAH…. SEJARAH di mana kau?” Elva menggumamkan kata-kata yang sama dengan suara pelan sambil memperhatikan buku di rak satu per satu. Buku yang dicarinya tidak ada padahal kemarin dia sangat yakin meletakkannya di sini.
Sigh
Aku butuh buku itu.
Baru saja Elva hendak beranjak pergi, seorang cowok datang dan meletakkan buku yang dicarinya.
“Elva?”
“Eh?”
Ternyata John.
“Eh, wow lama tidak bertemu. Apa kabar?” tanya Elva.
“Aku baik, kau?”