“WOW MORNING IN CORTONA!” seru Tom bertepuk tangan sementara Elva spontan mencengkeram dadanya, saking terkejutnya.
“Apa mengejutkan orang itu salah satu hobimu?!” tanya Elva jengkel.
Ini adalah untuk kesekian kali Tom mengejutkan dirinya dengan muncul secara tiba-tiba di ruang musik. Cowok itu juga sering kali berbuat ulah di kelas. Ada saja tingkahnya untuk mencari perhatian seisi kelas.
“Sorry,” Tom menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sejak kapan kau di sini?” tanya Elva lagi, nada suaranya masih menyimpan kekesalan.
“Sebenarnya sebelum kau datang. Aku ke sini untuk tidur,” Tom nyengir.
Mata Elva menyipit, dia bolos?
“Jadi kau bolos kelasnya Mr. Ko hanya untuk tidur?” kedua mata Elva membelalak tidak percaya.
“Oh come on, kita bisa mendapatkan semua jawaban sejarah di buku atau internet kan, no fuss all right,” Tom beralasan. “Kau sendiri?”
“Ini masih jam istirahat, setelah ini pun aku tidak ada kelas,”
“Bebas? Bukannya kita ada kelas lukis?”
“Aku dibebaskan untuk menyelesaikan lukisanku untuk lomba minggu depan.” Jelas Elva sambil memainkan tuts piano secara acak tak tentu nada yang pada akhirnya memainkan sebuah lagu lagi.
“Kau suka Nobuyuki Tsujii?” tanya Tom.
Cowok itu berjalan naik ke panggung kemudian bersandar di badan piano.
Elva mengangguk. “Dia itu luar biasa, aku suka musiknya,”
“Setuju! Aku pernah melihat konsernya dan benar-benar luar biasa. Tsujii punya sesuatu yang kita tidak punya. Caranya mengekspresikan apa yang dia lihat dengan mata batinnya itu benar-benar tidak ada tandingannya.”
“Kau pernah nonton konsernya?! Nobuyuki?” tanya Elva dengan mata terbelalak.
Kejengkelan yang sudah mulai menguap, kini datang kembali. Konser Nobuyuki merupakan salah satu konser impiannya. Ia sangat tidak rela kalau cowok yang suka sembarangan ini sudah mengalahkannya. Ia bahkan tidak terlihat bisa bermain musik! Beraninya dia.
“Aku nonton konsernya di Tokyo tahun lalu. Tsujii sudah pernah konser di banyak negara loh,” Tom mengangguk-angguk, tidak sadar jika ia justru mengipasi api kejengkelan Elva padanya.
Menyebalkan sekali cowok ini telah mengalahkannya bertemu salah satu idolanya, Elva merengut kesal.
Tanpa banyak bicara Tom mengitari badan piano dan duduk di samping Elva. Yang Elva tahu selanjutnya adalah mata bulat Elva membulat semakin besar—jika itu mungkin—begitu melihat jari-jari panjang Tom yang semula hanya dikira hebat dalam bermain basket mulai memainkan melodi yang sangat dikenal Elva. Tersihir dengan lantunan melodi yang dimainkan Tom, Elva pun mulai mengikuti permainan Tom.
Tidak ada yang berkata-kata, tidak ada yang bersuara, hanya lantunan melodi yang tercipta jauh dari seberang benua, di sebuah pulau kecil Mallorca, Spanyol. Sebuah tempat yang sangat spesial bagi Frédéric Chopin, musisi yang menginspirasi Tsujii dalam menggubah House of the wind.
“Wow,” hanya itu kata yang bisa diucapkan Elva begitu mereka selesai memainkan lagu yang dikarang Nobuyuki.
“Yeah, wow,”
Elva menatap Tom dengan pandangan tidak percaya.
“Kau kenapa?” tanya Tom bingung apalagi setelah Elva meraih tangannya dan memeriksa jari-jarinya satu-persatu.
“Kau benar-benar bisa bermain piano? Kupikir kau hanya bisa bermain basket!” seru Elva.
Tom tergelak begitu mendengar pernyataan cewek di sampingnya. Lucu.
“Sekedar info, aku bisa memainkan banyak alat musik,” katanya bangga.
“Aiyo, still cocky I see,”
“Bukan, aku hanya bicara yang sebenarnya,” Tom mengangkat bahu.
“Apa saja yang kau bisa?” tantang Elva.
“Gitar, drum, turntable, piano, saxophone, flute, aku tertarik dengan cello sekarang,”
“Cello?’”
Tom mengangguk.
“Kenapa cello?’”
“Entah, cool mungkin?”
Elva tertawa. Cowok ini, masa tertarik dengan alat musik tapi tidak tahu alasannya?
“Ah by the way, aku penasaran dengan lagu yang kamu mainkan sebelum Morning in Cortona, waktu itu kau juga memainkan lagu yang sama kan?”
“Waktu itu?”
“Um, saat pertama kita bertemu di sini. Waktu aku mengambil bukuku yang tertinggal,” jelas Tom. “Kau ingat?”
“Ah, Endless Story?’”
“Jadi judulnya Endless Story? “ tanya Tom. “Sepertinya kau sangat menyukai lagu itu,”
Elva mengangguk.
“Dan bukan Chinese,” tebak Tom.
“Yep, lagu Jepang,” Elva mengangguk. “Lagu lama sih,”
“Endless Story tuh seperti lagu sedih ya?”