“ELVA!”
Oh God, tidak hari ini, keluh Elva dalam hati begitu mendengar jeritan kelelawar dari lantai dua.
Noriko berkacak pinggang begitu mereka berhadapan di koridor. Bagaimana cewek itu bisa dengan cepat berada di hadapannya, Elva tidak tahu dan tidak mau tahu. Sekarang yang paling penting adalah, bagaimana ia bisa menghindari cewek satu itu, walau sepertinya tidak mungkin.
“Kau!” tunjuk Noriko dengan murka.
“Kenapa?” Elva bertanya dengan malas.
“Hari Sabtu lalu kau pergi ke mana?!”
“Kenapa?”
“Kenapa lagi! Kau nonton konsernya Nobuyuki dengan Tom kan?!”
“Iya, terus kenapa? Aku tidak berdua Tom saja kok, sama John juga,” bela Elva.
Bingung, Noriko itu marahnya karena Elva nonton konsernya Nobuyuki atau kenyataan dia nonton dengan Tom? Atau dua-duanya? Alasan terakhir yang paling mungkin.
“Sama John juga?” mata Noriko membulat lucu, kemarahannya seolah menghilang entah ke mana digantikan ekspresi terkejut. “Jadi si kembar suka Nobuyuki juga?”
Elva mengangguk dan melanjutkan perjalanannya ke ruang kelas yang sempat terhenti gara-gara interupsi Noriko. Cewek itu masih merengut kesal ketika mengekor sahabatnya kembali ke kelas. Namun kali ini kekesalannya benar-benar menghilang begitu melihat sesosok tubuh yang sangat dikenalnya berbelok dari koridor kelas bahasa.
“Tom!” jerit Noriko.
Nyaris semua mata yang berada di koridor menoleh, termasuk Elva dan yang punya nama, Tom.
“Apa?” tanyanya begitu mereka mendekat dan Tom melangkah mundur beberapa langkah demi melihat tatapan Noriko yang nyaris mampu membunuh siapapun yang dilihatnya.
“Kau! Beraninya kau nonton Nobuyuki, kemarin!”
“Hey,” Tom mengangkat tangan, menyerah. “Hey, kau kan ada festival musik. Aku sudah beli tiket untukmu juga, I swear.”
Noriko memicingkan mata dan menyilangkan kedua tangan di dada.
“Bener No, tanya Elva deh. Iya kan Va?” Tom minta bantuan Elva.
“Buktinya mana?”
“Tiketnya dipakai John,”
Noriko membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi tanpa ada satu kata pun yang keluar. Ia hanya menggumamkan kata-kata seperti menyebalkan.
Berurusan dengan cucakrawa satu ini memang amat sangat tidak direkomendasikan, mungkin sama seperti berurusan dengan Mr. Jung. Tapi mau bagaimana lagi, Sabtu lalu keadaan yang memaksa. Tolong digarisbawahi, terpaksa.
“Meskipun,” Noriko masih cemberut.
“Ntar deh kalau dia ke sini lagi,” hibur Tom.
“Nunggu lebaran monyet!?” semprot Noriko.
“Lah, aku baru tahu kalau monyet juga berlebaran—“
Noriko melotot.
“Iya, iya sori deh, kamu mikirnya yang positif dong,” kata Tom.
Tanpa pikir panjang Noriko meraih lengan Tom dan menariknya ke arah kantin, meninggalkan Elva yang mematung kebingungan dengan tingkah temannya.
“Ke mana kita?” tanya Tom, ia membiarkan saja dirinya di seret gadis itu.
“Kantin, duh. Kau bilang aku harus berpikir positif kan?” jawab Noriko cuek sebelum dia berteriak dari bahunya. “Elva kita makan dulu ya!”
Mental facepalm
Elva baru ingat, tidak ada hal lain di kepala Noriko selain makanan!
***
“RUANG KELASMU NYAMAN,” komentar John.
Ini pertama kalinya John mengunjungi Elva di kelas. Ia melihat-lihat suasana kelas di mana Elva dan Tom menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar di sini. Ia juga terlihat kagum dengan isi kelas yang cukup berbeda dengan kelas kebanyakan.
“Ini sih lebih seperti studio lukis,” tambah John.
“Ini memang kelas lukis, jadi boleh dibilang memang studio lukis,” Elva menurunkan kanvas dan membuka kabinet, mencari beberapa kuas dan cat.
“Pantas kalau kau suka sampai sore di sini,” John duduk disalah satu meja sementara Elva masih sibuk memilih kuas.
Diam-diam John memperhatikan cewek di sampingnya itu, ketika keningnya berkerut saat melihat kuas-kuas di tangannya. Atau saat dia menggumamkan kata-kata tidak jelas—mungkin tentang hasil lukisan atau semacamnya. Atau betapa serius wajahnya.