SORE ITU DI SALAH satu studio TV nasional sudah mulai ramai dengan staf yang bekerja mempersiapkan interview eksklusif dengan sang juara lomba lukis.
Elva datang didampingi Mrs. Lee, Noriko dan si kembar William.
“Elva sudah siap?” tanya salah seorang staff.
Elva mengangguk gugup, terima kasih kepada Mrs. Lee yang menyemangati dan menggandeng tangannya saat mereka berdua mengambil tempat yang ditunjuk oleh staff.
“She’s amazing,” komentar John.
“Tentu saja,” jawab Noriko bangga.
Tidak lama kemudian sesi wawancara dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan mulai terlontar. Tom dengan sabar menanti dan berdoa semoga ada pertanyaannya di daftar pertanyaan sang presenter. Do’a Tom dikabulkan Tuhan ketika presenter bertanya alasan Elva melukis senja di Qingdao.
“Qingdao adalah kampung halaman saya, banyak hal yang terjadi di sana. Salah satunya seperti senja di Qingdao. Tapi lebih dari itu, lukisan ini sebenarnya kenang-kenangan untuk teman saya.”
Tom mematung mendengarnya, dia masih mengingatku.
“Teman?”
Elva mengangguk. “Kami tidak berteman lama karena dia mendadak menghilang, mungkin pulang, mungkin pergi lagi ke tempat baru. Tapi kami membuat banyak kenangan dalam waktu yang singkat. Dia satu-satunya orang yang menemani saya ketika Ma harus pergi bekerja dan saya tinggal bersama Nanny.” Jelas Elva sambil tersenyum.
Jadi saat itu Ma bekerja, pantas dia hampir selalu berada di playground, hanya bermain sendirian ditemani kucingnya.
“Dia pasti seseorang yang spesial,” komentar presenter.
Elva tersenyum.
Tom menyeringai gotcha!
“Satu lagi yang menarik perhatian saya. Tanda tanganmu. Itu seharusnya ai, kan? Tapi saya rasa itu ada yang salah, kurang beberapa goresan. Itu memang sengaja dibuat seperti itu atau bagaimana?” presenter itu mengajukan pertanyaan selanjutnya.
Sekali lagi Elva mengangguk. “Benar sekali. Ai-nya kurang dua goresan. Memang sengaja saya buat seperti itu,” jelas Elva kenapa tulisan ai-nya kurang dua goresan.
“Apakah ada alasan khusus kenapa tulisan ai itu memang tidak lengkap?”
“Ada rahasia kecil di balik lahirnya tanda tangan tersebut. Tulisan itu ditulis oleh seorang anak yang sama sekali tidak mengerti bahasa Mandarin, sepuluh tahun yang lalu. Saya bertemu dengannya di playground. Dia muncul entah darimana dan untuk beberapa waktu kami menghabiskan waktu bersama setiap hari. Suatu hari dia tidak muncul begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Dia menghilang sama seperti saat dia muncul. Akhirnya, yang tersisa dari pertemuan kami adalah pesan itu. Tapi sebenarnya ia meninggalkan pesan kalau dia akan kembali, hanya saja saya terlambat menemukannya. Ditambah lagi saya imigrasi ke Taiwan tidak lama setelah dia menghilang. Jadi saya tidak tahu apa benar dia kembali atau tidak. Saya juga tidak tahu dia belajar menulis hanzi darimana. Tapi sepertinya hanzi terlalu sulit baginya karena seperti yang kalian lihat, tulisan itu tidak lengkap. Ada dua goresan yang hilang.”
Oh man, mental face palm.
Tom baru tahu itu, tapi…. Tidak apa-apa kau tidak mengerti Mandarin waktu itu. Sudah bagus bisa menulis hanzi, hiburnya dalam hati.
“Lalu, apa kau pernah bertemu dia lagi?” tanya sang presenter.
“Tidak, kami tidak pernah bertemu lagi. Kami bahkan tidak tahu nama masing-masing. Walaupun kami pernah bertemu di suatu tempat kami tidak akan saling mengenali.”
Mungkin kau benar tapi kau juga salah, bisik Tom dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang lain dari seorang Elva sejak pertama aku melihatmu di tangga darurat sore itu, hanya saja aku tidak mengira dia adalah Tiney, ah… Xiao Lin? Benar, Elva pasti punya nama Cina!
Tom baru saja akan beranjak ketika seseorang menggamit lengannya, cowok itu menoleh, Noriko.
“Makan,” rengek si cucakrawa.
Tom menoleh ke tempat di mana Elva berada beberapa menit yang lalu dan sekarang dia membungkuk memberi hormat ke kamera dan bersiap kembali ke belakang set.
“Eh?” Tom mencoba membebaskan diri dari si pengganggu tapi cucakrawa itu mencengkeram lengannya lebih kuat.
“Makan ….” Rengeknya lagi.
“Baiklah, baiklah, come on,”
Noriko dan Tom meninggalkan studio setelah memberi tahu John kalau mereka akan keluar. Masih ada waktu untuk mencari Elva. Tapi sekarang ia harus menyelesaikan urusan dengan si cucakrawa—dalam hal ini mentraktirnya makan atau ia harus rela mendengarkan rengekannya sampai akhirnya cucakrawa itu mendapatkan apa yang ia inginkan.
Noriko tertawa geli ketika Tom memesan laksa begitu mereka duduk di food-court tidak jauh dari studio.
“Kenapa?” tanya Tom penasaran.
“Kau sama seperti Elva. Kecintaannya pada laksa…. Abnormal.” Katanya.
“Benarkah?”
Noriko mengangguk.
“Oh omong-omong aku menemukannya hari ini,” kata Tom tiba-tiba seraya menyeruput susu kedelai miliknya.
Alis Noriko terangkat. Siapa atau apa yang ditemukan Tom?
“Cewek itu, cewek yang pernah kuceritakan itu,” tambah Tom.
Tanpa penjelasan lebih lanjut Noriko mengerti siapa yang dimaksud, sebagai tambahan, ada sedikit—mungkin banyak—rasa sakit yang terasa.
“Bagaimana kau menemukannya?”
Tom tidak segera menjawab karena makanan mereka datang, setelah menggumamkan terima kasih pada pelayan yang tersenyum kemudian meninggalkan mereka untuk take order pelanggan yang lain, Tom melanjutkan ceritanya.
“Dia menemukan pesanku!” seru Tom, kedua matanya membulat dan berbinar-binar.
Ada kemenangan dan kerinduan di suaranya, matanya bersinar ketika ia membicarakan his silly little crush—setidaknya bagi Noriko. Di zaman sekarang siapa yang masih percaya pertemuan sepuluh tahun yang lalu? Itu maksud Noriko. Tapi, mendengar ucapan Tom barusan, bahwa ia telah menemukan anak dari kenangannya sepuluh tahun yang lalu, Noriko mau tidak mau berpikir lagi, takdir itu benar-benar aneh.
“Lalu?”