KENING NORIKO BERKERUT ketika dia memperhatikan lukisan Tom di pojok ruangan. Tempat yang cukup sakral dan tidak ada yang mau, atau lebih tepatnya mungkin tidak ada yang berani menempati tempatnya walau Tom absen. Sepertinya Tom lupa tidak menyimpan lukisannya di kabinet seperti biasa. Padahal, Tom hampir selalu protektif—mungkin kata secretive lebih tepat—terhadap lukisannya. Noriko menghampiri easel dan memperhatikan lukisan dalam kanvas tersebut. Sejak beberapa waktu yang lalu, gadis itu punya sesuatu yang menarik perhatiannya. Tanda tangan Tom. Tiney. Ada perasaan yang lain ketika Noriko memperhatikan tanda tangan itu dengan seksama. Seperti sebuah nama seorang…. Cewek? Most likely.
Gasp.
Jadi lukisan dulu itu—lukisan cewek bermain piano yang tergantung di lobi—adalah lukisannya Tom? Tapi keren amat anak baru sudah bisa menggantungkan karyanya di lobi, lukisannya bagus sih—
And speaking of the devil, Noriko melongok melalui jendela kelas, Tom sedang bermain basket sendirian di lapangan. Di bawah panasnya matahari sore, walaupun sekarang sudah pukul lima sore. Satu hal lain yang tidak luput dari perhatian Noriko adalah; Sejak mengatakan ia menemukan old-little-crush-nya Tom terlihat semakin ceria dan hampir selalu pulang telat.
Another note, dia selalu pulang bersamanya dan Elva.
Elva—
Noriko bergegas keluar kelas dan setengah berlari menuruni tangga, ke lapangan basket hanya setelah dia berhenti di vending machine untuk membeli dua karton susu kedelai.
Tom menoleh ketika melihat Noriko berjalan ke arahnya dan duduk di bench di pinggir lapangan.
“Hey,” Noriko mengangsurkan kaleng susu begitu Tom menghampirinya dengan napas terengah-engah.
“Thanks,” Tom berkata sambil mengelap sudut mulutnya dengan punggung telapak tangan.
“Kenapa sendirian?” tanya Noriko begitu Tom duduk di sampingnya, mengambil handuk kecil dari tasnya, mengeringkan keringat yang membasahi tubuhnya.
“Hari ini tidak ada jadwal latihan sih sebenarnya,” kata Tom.
“Oh? Kau berlatih sukarela? Rajin amat,”
Tom tertawa.
“Menunggu orang juga sih,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Oh seorang Tom bisa malu-malu juga rupanya.
Satu alis Noriko terangkat. Siapa yang ditunggu Tom?
“Crush?”
Tom tertawa, menyandarkan kepalanya di sandaran bench.
“You bet.”
Cue to the sound the heart is broken.
Noriko menghela napas.
“Aw! Sudah lupa sama cewek sepuluh tahun yang lalu nih,” komentar Noriko setengah hati.
Ya iyalah setengah hati, tujuannya ke mari tadi 'kan untuk mengetahui siapa cewek sepuluh tahun yang lalu itu. Siapa yang menyangka Tom malah mengakui ia punya crush baru.
Tom menggeleng.
Alis Noriko terangkat, bukan yang baru? Jadi masih cewek yang sama? Otak Noriko berputar cepat mengulang waktu. Pertama kali Tom mengatakan ia menemukan cewek itu setelah mereka melihat Elva merekam wawancara dengan stasiun TV. Tom bilang crush-nya menemukan pesannya sebelum ia meninggalkan Qingdao.
Yang tersisa dari pertemanan kami hanyalah pesan itu.
Pesan.
Jadi mungkin tempat yang ia bicarakan adalah Qingdao. Noriko menoleh, Tom sudah tidak lagi bersandar di sandaran bench tapi bertopang dagu dengan kedua siku masing-masing paha.
Cewek itu bukan lagi past tense, tapi present, sekarang.
Sepertinya dia tahu siapa cewek itu.
Gulp.
***