ELVA MASIH MELUKIS walaupun teman-teman sekelasnya sudah pulang sejak beberapa waktu yang lalu, termasuk Noriko yang mengajar musik sekaligus babysitting. Mungkin kecuali seorang cowok yang duduk di meja belakang Elva. Memperhatikan cewek itu melukis dengan bertopang dagu, sementara tangan kanannya memegang karton susu kedelai. Sesekali ia meneguk susunya atau memberi komentar tentang lukisan Elva.
“Tom, kau pernah taruhan?” tanya Elva tiba-tiba.
“Yup, kenapa?” jawab Tom.
“Apa hadiahnya?”
“Macam-macam,” Tom mengangkat bahu.
“Yang hadiahnya cewek pernah?”
Tom mengangkat alis. Cewek?
“Hah?”
Elva menoleh, menghadap Tom. “Ya ... kau taruhan untuk mendapatkan cewek dalam waktu tertentu atau entahlah bagaimana teknisnya aku tidak tahu. Terus kalo menang dapet cewek itu juga hadiah lain yang sudah disepakati diawal.”
“That’s a filthy game,” komentar Tom.
“Aku tanya kau pernah taruhan semacam itu? Aku tidak bertanya pendapatmu.”
“Tidak.” jawab Tom singkat.
“Kalau kau jadi cewek yang dijadikan hadiah taruhan, apa yang seharusnya kau rasakan?”
“Pertanyaanmu aneh Va,” Tom menatap Elva dalam-dalam mencoba mencari tahu kenapa Elva mengajukan semua pertanyaan itu.
Elva melengos dan kembali ke lukisannya, menghindari tatapan Tom.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku Tom,”
“Apa perlu dijawab?! Beritahu aku siapa dia,” Tom melompat turun dari meja.
“Apanya?”
“Jangan pura-pura Va, beritahu aku siapa yang menjadikanmu taruhan,”
“Ini bukan tentang aku,”
“Kau pikir aku bodoh?”
“Elva,” terdengar suara lain yang memanggil namanya.
Tom dan Elva menoleh ke sumber suara; John berjalan ke arah mereka dengan wajah merah. Seperti sedang menahan marah. Bisa jadi John memang marah.
Marah karena Elva menghindarinya sejak mereka meninggalkan Koppa.
Marah karena Elva tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Marah karena Elva tidak mempedulikan telepon atau pesan-pesannya dan yang terakhir;
Marah karena ternyata Elva justru di sini bersama Tom.
Sebenarnya marah atau cemburu? Mungkin dua-duanya.
Nah.
“Kita harus bicara,” kata John begitu sampai didekat mereka.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan John,” kata Elva cuek dan tetap melukis.
Tom menatap keduanya bergantian, matanya menyipit curiga.
Something fishy was going on.
“Kau mungkin tidak ada, tapi aku ada.”
Elva memejamkan mata sejenak, menghitung dalam hati hingga sepuluh hitungan lalu meletakkan palet.
“Baiklah kita bicara, make it snappy karena aku harus menyelesaikan tugasku.” Tanpa menunggu jawaban John, Elva menoleh ke arah Tom. “Aku keluar dulu,”
Lagi-lagi, tanpa menunggu jawaban dari Tom, Elva meninggalkan bangkunya sementara John mengekor di belakang. Keduanya berjalan menyusuri koridor yang sepi dalam diam. Tidak seorang pun bicara. John membiarkan cewek itu mencari tempat yang menurutnya tepat untuk bicara.
Ternyata ruang istirahat.
Di situ lah Elva berhenti dan menarik kursi kosong di mana mereka biasanya belajar bersama.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Elva datar, lagi-lagi tanpa emosi, sedikitpun!
“Apa yang kau bicarakan dengan Tom?” masih ada nada marah disuara John.
“None of your business,”