ELVA NYARIS TERLOMPAT begitu merasakan sebuah tangan mendarat di pundak kirinya.
“Still jumpy I see,” Tom terkikik. Mengabaikan Elva yang melotot marah, Tom menambahkan. “Sedang memikirkanku?”
Alis Elva terangkat tinggi-tinggi ketika mendengar pertanyaan Tom.
“Tidak usah mengelak, aku memang terlalu cakep untuk tidak dipikirkan,” Tom nyengir lebar.
“Dream on!”
Tom terbahak-bahak.
Kadang Elva bertanya-tanya sendiri, bagaimana bisa ada orang yang hampir selalu tertawa disetiap kesempatan. Tidak peduli sedang mengalami hari yang buruk atau baik. Tidak peduli cuaca cerah atau hujan.
Seperti Hongtuofa.
Elva menghembuskan napas berat.
“Kau pernah marah pada dirimu sendiri?” tanya Elva tiba-tiba.
“Huh?”
“Aku tanya apa kau pernah marah pada dirimu sendiri?” ulang Elva.
Kening Tom berkerut. Belakangan ini Elva suka mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh.
“Yeah, tentu beberapa kali. Kenapa?” walau agak bingung tapi Tom menjawab pertanyaan Elva juga.
“Bukan apa-apa sih. Hanya saja belakangan ini aku lebih banyak mendengarkan kata orang lain daripada keinginanku sendiri,” kata Elva mengangkat bahu.
“Kau … ada masalah dengan Ma?” tanya Tom hati-hati.
“Huh?” sekarang gantian kening Elva yang berkerut, bingung. “Kenapa kau pikir aku ada masalah dengan Ma?”
“Biasanya anak tidak berani membantah ibunya,” Tom mengangkat bahu.
“Oh,” Elva tertawa. “Bukan, tapi dengan seseorang. Kadang aku merasa karena orang itu, aku jadi sedingin ini. Well, Noriko sih yang selalu bilang aku dingin. Kalau menurutku sendiri sih, aku biasa saja,”
Tom mengangguk-angguk. “Untuk beberapa hal aku rasa Noriko benar, hey,”
Elva menoleh.
Tom sedang menatapnya dengan serius. “Kalau bukan dengan Ma, ini ada kaitannya dengan John?”
Elva membuang muka namun bayangan John dengan pipi lebam berkelebat di benaknya.
“Dia habis berkelahi?” tanya Elva.
“Siapa? John?”
“Aku melihat pipinya memar,” Elva mengangguk.
“Oh itu, aku yang menonjok mukanya,”
“Kau berkelahi dengan kakakmu?” mata Elva membulat, shock.
“Dia membuat kesalahan. Aku hanya mengingatkan,” Tom mengangkat bahu, cuek.
“Dengan tinju?” Elva mengangkat alis.
“In a very manly way,”
Elva hanya menggelengkan kepala.
“Cewek bukan untuk taruhan Va,” kata Tom, membuat mata Elva yang sudah lebar makin melebar lagi. “Jangan menganggapku bodoh. Aku tahu apa yang terjadi meski kau tidak mau buka mulut,”
Elva hanya diam mendengar pengakuan Tom. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Ia pun ingin seperti itu, seperti Tom. Ingin bisa marah, ingin memaki, tapi sayangnya kalimat itu terngiang di otaknya seperti kaset rusak.
There no use crying over the spilled milk
Hongtuofa, anak itu pernah berkata begitu ketika ia menangisi sketsa gambarnya yang sobek. Daripada menangis lebih baik kau memikirkan bagaimana cara memperbaikinya atau membuat sketsa baru, begitu anak berambut merah itu pernah menasehatinya. Siapa yang menyangka kalau hanya dengan satu nasihat, semuanya berubah.