“AKU TIDAK MENYANGKA Tommy punya sisi seperti ini.” komentar Mrs. Lee.
Mereka berdua sedang mengagumi lukisan seorang cewek bermain piano yang tergantung di lobi usai membicarakan acara lelang amal yang akan diikuti Elva. Lukisan yang sama yang sempat mengingatkan Elva akan teman masa kecilnya, Hongtuofa.
Mata Elva melebar, Tommy? Tom?
“Ini Tom yang melukisnya?” tanya Elva tidak percaya.
Mrs. Lee mengangguk.
Beberapa waktu yang lalu, Elva memang berniat untuk mencari tahu siapa yang melukis lukisan itu, hanya saja, kompetisi melukis membuatnya melupakan hal tersebut. Kini, Mrs. Lee mengingatkannya dengan cara yang tidak disangka-sangka.
Elva menatap lukisan itu tanpa berkedip. Jadi, sosok di dalam lukisan tersebut adalah dirinya. Pertemuan pertama mereka, hanya berdua di ruang musik yang kemudian diikuti pertemuan-pertemuan berikutnya.
Tiney
Suara itu masih terdengar jelas saat memanggil namanya. Nama yang baru belakangan ia tahu artinya.
***
“ADA YANG SALAH?” tanya Tom.
Untuk kesekian kalinya Tom memergoki Elva sedang menatap dirinya tidak berkedip. Siang itu mereka berdua sedang mengerjakan esai Mr. Ong di kelas yang telah kosong.
Elva menggeleng lalu kembali membaca buku di hadapannya.
Aku bingung bagaimana menanyakannya, keluh Elva dalam hati. Tanpa sadar cewek itu menghela napas berat.
Tom menutup bukunya dan menatap Elva dengan kening berkerut. Ada yang salah dengan Elva, pasti.
“Kenapa sih?” tanya Tom.
“Huh?”
“Kau bertingkah aneh, kau sadar tidak?”
Elva mengangkat bahu dan menggeleng. Lagi. padahal cewek itu hanya tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan rasa penasaran mengenai tanda tangan di lukisan Tom.
“Kau yakin?”
Elva mengangguk. Tidak yakin sebenarnya Tapi … masih bingung. Mungkin nanti ia akan menanyakan masalah ini kalau waktu dan caranya sudah tepat. Masalahnya adalah, kapan waktu yang tepat dan bagaimana cara yang pas itu?
Entahlah.
Sigh
“Well, if you say so. Hari ini jadi belanja kan?” Tom bertanya.
“Oh,” Elva lupa kalau mereka berencana untuk berbelanja peralatan lukis sepulang Tom latihan basket. “Jadi dong,” jawab Elva segera.
“Baiklah,” Tom meraih ponselnya untuk mengecek jam dan mengemasi buku-bukunya. “Kalau begitu aku latihan dulu yah, nanti aku jemput di kelas lukis?”
“Okay,” Elva mengangguk setuju.
“Tom,” panggilnya begitu cowok itu berdiri dari kursinya, bersiap untuk keluar.
“Hmm?”
“Ermm ... tidak apa-apa,” Elva mengurungkan lagi niatnya untuk bertanya.
“Kenapa sih?” tanya Tom penasaran.
“Hmm .... Tidak apa-apa. Pergi latihan sana,” suruh Elva.
Tom mengangkat bahu dan meneruskan langkahnya keluar kelas sementara Elva memandangi punggung cowok itu menghilang di balik pintu kelas.
Sigh
Benarkah dia Hongtuofa? Bagaimana caranya aku menanyakan hal itu?
***
TOM NYARIS TIDAK bisa bernapas ketika melihat Polaroid tua tersebut. Sore itu ia mampir ke rumah Elva usai latihan. Siapa sangka, hartanya yang paling berharga justru ia temukan di studio lukis Elva? Ternyata benar, Tuhan benar-benar mendengarkan do’anya.
Sudah sepuluh tahun berlalu. Gambarnya juga sudah hampir pudar, tapi ia masih bisa mengenali dengan jelas foto anak kecil di tangannya. Dirinya dan Elva.
Oh bukan;
Hongtuofa dan Xiao Lin!