ELVA TERSENYUM LEBAR melihat Tom berjalan setengah berlari dan tergesa-gesa membuka pintu kaca di depannya. Seharusnya Tom sudah di sini lima belas menit yang lalu. Namun cowok itu mengiriminya pesan beberapa saat yang lalu, mengatakan jika ia akan terlambat.
“Sudah lama?” tanya Tom, Elva menggeleng. “Bagus deh, yuk, nanti kita semakin terlambat,” Tom meraih tangan Elva dan menggandengnya—nyaris menyeretnya keluar perpustakaan.
“Mau ke mana kita?” tanya Elva begitu mereka keluar area sekolah menuju stasiun MRT.
“Somewhere,” jawab Tom singkat.
“Kau seperti Noriko,” kata Elva cemberut.
Tom tertawa mendengarnya, membuat Elva semakin cemberut. Tidak punya pilihan, Elva hanya mengekor Tom naik ke gerbong begitu kereta datang. Melihat kerutan di dahi Elva, Tom meraih tangan cewek itu dan menggenggamnya.
“I won’t kidnap you. You know?” ujar Tom ketika melihat kerutan di dahi Elva.
Rupanya cewek itu diam-diam masih menduga-duga ke mana mereka akan pergi.
“Idiot,” gumam Elva.
Satu stasiun, dua stasiun, entah berapa stasiun telah terlewati, tapi Tom tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. Cowok itu hanya melihat sekitar mereka, sesekali Tom tersenyum ketika melihat hal-hal yang menarik perhatiannya. Tom baru berdiri dari duduknya begitu panel pengumuman menunjukkan Harbourfront sebagai pemberhentian terakhir, sementara Elva tetap duduk diam tidak bergerak. Stasiun terakhir, semua orang akan turun 'kan? Kecuali kalau mereka ingin dibawa pergi kembali.
Jadi mereka mau ke sini, untuk apa? Mau ke Sentosa? Tanya Elva dalam hati.
Mereka berdua berjalan dalam diam, menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan lalu-lalang orang. Tempat ini memang tidak pernah sepi, kecuali kalau stasiun sudah tutup mungkin?
Vivo City
Vivo masih seperti biasa, salah satu mall terbesar itu nyaris selalu ramai. Tidak peduli waktu, tidak peduli hari, kali ini pun sama, ramai. Mau tidak mau Elva kembali bertanya-tanya. Tom bukanlah tipe orang yang suka mondar-mandir dikeramaian walau Elva sangat yakin kalau cowok itu hobi belanja. Untuk kedua kalinya kening Elva berkerut ketika Tom melewati Sentosa Station.
“Eh? Sentosa Station di sana,” tunjuk Elva.
“Lalu?”
“Kita tidak ke sana?”
“Nope,” Tom menggeleng. “Kenapa kita harus ke sana?”
“Kukira kita akan ke Sentosa?”
“Tidak ah. Tidak ada yang menarik di sana,” Tom menggeleng. “Come on,” cowok itu mengajak Elva naik elevator.
“Ada Wings of Time,” ujar Elva.
“Kau suka?” tanya Tom, ia bersandar dinding pengaman elevator sementara Elva berdiri satu tangga di bawahnya.
“Keren saja sih, sutradaranya Moïra Smith dari studio yang sama dengan Yves Pépin yang dulu mengerjakan Song of the Sea.”
“Tidak juga, sama seperti yang di Las Vegas kayaknya. Kau tahu? Waktu pertunjukan Kabuki hampir sama seperti itu,”
“Aku belum pernah ke Las Vegas,”
“Yeah, kapan-kapan ke sana kalau begitu,”
Elva menatap Tom dengan pandangan ganjil. Kapan-kapan ke sana kalau begitu ke sana di sini adalah ke La Vegas. Dan dari sini harus menyeberangi lautan dan perlu belasan jam meringkuk di perut pesawat. Lalu dengan enteng dia bilang kapan-kapan ke sana? Apa Tom mengira ke Las Vegas itu seperti mereka menyeberang ke Malaysia?
Sigh.
Dasar tuan muda!
Entah itu sudah elevator keberapa yang sudah mereka naiki ketika akhirnya Tom menarik Elva menuju pintu keluar bukannya mencari elevator lagi. Elva harus menyipitkan matanya begitu mereka disambut matahari sore yang lumayan terik.
Mau ke mana lagi dia, pikir Elva. Walau begitu Elva tidak lagi bertanya, cewek itu hanya mengekor di belakang Tom, melewati banyak anak kecil yang sedang bermain air di kolam air mancur. Entah berapa orang lagi yang hanya duduk-duduk menikmati teriknya matahari sore.