Senin adalah hari dimana semua orang malas untuk kembali beraktifitas setelah menghabiskan hari weekend.
Seolah hari libur satu hari itu tidak cukup. Memang terlihat tidak adil bukan, bagaimana bisa dalam satu minggu tujuh hari hanya satu hari untuk libur sedangkan hari kerja terdapat enam hari, lalu kenapa tidak di sama ratakan saja? semisal hari kerja empat hari dan hari libur tiga hari. Atau sebaliknya.
Apalagi bagi pelajar, hari senin adalah hari yang sangat menggeramkan. Bagaimana tidak. Mereka harus berangkat dalam keadaan pagi buta untuk melaksanakan upacara bendera jika terlambat maka di hukum berdiri di tengah lapangan.
Usai melaksanakan upacara bendera siswa di suguhkan dengan mata pelajaran yang sangat menguras otak apalagi jika bukan mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan sejenisnya. Sungguh sangat membuat malas bukan hari senin.
Tapi tidak bagi Fajar. Hari senin adalah hari yang sangat membahagiakan baginya, bukan. Bukan karena dia rajin, hanya saja. Satu hari tidak sekolah sangat membuatnya tersiksa menahan rindu pada wanita pujaannya, siapa lagi jika bukan Bulan.
Kebalikannya dengan Bulan, dia sangat malas untuk melangkahkan kaki ke sekolahnya, bukan. Bukan berarti dia pemalas hanya saja baginya sekolah serasa kutukan, yang mana berbagai perkara datang saat dia memijakan kaki di sekolahnya terlebih setelah mengenal Fajar. Jika bukan karena sebuah kewajiban dia memilih untuk tidak sekolah.
Bulan turun dari mobilnya. Tidak lupa dia berpamitan kepada papahnya lalu mengucapkan salam. Pagi itu terasa berbeda, semua anak-anak SMA Pelita Bangsa hampir menatap Bulan tergeleng-geleng.
Bulan tak mengacuhkan keadaan sekitar, ia tetap berjalan menuju kelas untuk menyimpan tas sekolahnya. Setelah sampai kelas, dia duduk sejenak di bangkunya. Termenung, berpikir mungkinkah semuanya sudah mengira bahwa dia pacaran dengan Fajar.
Tiba-tiba dia terperanjat oleh teriakan senior anggota OSIS, agar semua siswa segera menuju lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. Di tengah perjalanan menuju lapangan seketika ada orang yang berkata “cie, selamat ya udah jadian sama Jeck,” namun ada juga yang berkata “Katanya alim, tapi pacaran?” “Eh cewek sok alim!”. Begitu banyak kata berkelintaran di telinganya.
Dia tetap berjalan menuju lapangan. Mengabaikan keadaan sekitar, mungkin itu adalah yang terbaik yang bisa dia lakukan. Tapi tatapan tidak bisa berbohong, pikirannya begitu kalut. Dia berjalan dengan tatapan kosong.
“Brak!!”
“Sorry, sorry gue gak sengaja,” ucap seorang laki-laki yang menabrak Bulan
“Iy..” belum sempat melanjutkan bicaranya. Ia terkejut oleh orang yang baru saja menabraknya, Daffin. Ternyata benar. Wajahnya terlihat babak belur. Ia tetap pergi ke sekolah meskipun tertatih-tatih. Fajar benar-benar kejam, pikirnya.
***
“PENGUMUMAN, PENGUMUMAN. Bagi peserta upacara untuk tidak meninggalkan lapangan upacara!!”
“Huh!! Apaan lagi sih”. Gerutu Bulan, baginya berlama-lama di lapangan itu sangat membosankan selain panasnya trik matahari, dia juga membenci tempat pertama dia bertemu dengan Fajar.
Seorang guru berdiri di depan peserta upacara, untuk memberikan sebuah informasi. Guru itu adalah bernama Ibu Rossa, beliau guru BK (Bimbingan konseling) sekaligus merangkap menjadi pembina ekstrakulikuler di SMA Pelita Bangsa.
Tentunya, informasi yang akan di sampaikan oleh guru tersebut pasti tidak begitu penting bagi Bulan.
Benar saja. Guru tersebut memberikan sebuah pemberitahuan bahwa ketua ekstrakulikuler Volly yang bernama Daffin Putra Mahendra di lengserkan. Dan pembina ekstrakulikuler memberikan kesempatan kepada anak-anak yang mengikuti ekstrakulikuler Volly untuk maju menjadi ketua, sebagai pengganti Daffin.
Seketika keadaan dilapangan menjadi riuh, semua peserta upacara bubar dan kembali ke kelasnya masing-masing tidak sedikit juga yang berdesak-desakan di kantin.
Bulan, dia duduk di pinggir lapangan. Menunggu keadaan sekitar tenang. Dia malas untuk berdesak-desakan di tengah kerumunan. dia melihat Daffin sedang berbincang dengan Ibu Rossa. Sepertinya dia sedang bertanya-tanya dan meminta penjelasan pada Ibu Rossa.
“Semuanya sudah jelas Daffin. Oh iya ini surat diskors kamu selama satu minggu,” ucap Ibu Rossa dan memberikan selembar amplop kepada Daffin.
Daffin, membuntuti Ibu Rossa. Dengan tertatih-tatih, tangannya memegang pipinya yang babak belur. Dia berusaha meminta penjelasan mengapa terjadi secara tiba-tiba tanpa tahu apa kesalahan yang dia perbuat. Raut wajah Ibu Rossa seperti tidak tega tetapi dia berusaha menghindar dari Daffin dan tidak begitu banyak kata-kata yang dikeluarkannya.
“Ahh... sial!!” teriak Daffin. Bulan hanya menyaksikan semuanya dari kejauhan. Dia bertanya-tanya, apa ada hubungannya dengan Fajar. Ah, tidak mungkin sejauh itu, sampai-sampai dia diskors dan diturunkan dari jabatannya sebagai ketua Ekstarakulikuler Volly. Masalah dengan Fajar hanya masalah sepele, pikirnya.
“Aaahh.. apaan siih ini kan bukan urusan aku,” Gumamnya. Dia melihat sekeliling, rupanya keadaan lapangan sudah sepi. Bel jam pertama sudah berbunyi. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kelas.
Sesampainya di kelas. Bulan mendapatkan sebatang coklat yang di hiasi oleh pita yang di simpan di atas mejanya. ada secarik kertas kecil berwarna pink yang bertuliskan “Rem-bulanku”.
Dari siapa lagi jika bukan dari Fajar sang pembawa sial. Ya, mulai dari sekarang Bulan memberikan dia julukan, “sang pembawa sial”. Dari kata yang dituliskan di kertas itu sama persis dengan caption postingan di sosial medianya Fajar. Lagi-lagi sang pembawa sial itu rupanya akan memberikan masalah baru.