“Aku benci sih sebenarnya sama dia. Tapi aku punya ketakutan sendiri kalo aku terlalu memperilahatkan kebencianku. Sudah enam bulan lamanya, setiap hari dia mengganggu aku terus. Entahlah sampai kapan?” cerita Bulan pada temannya Farah.
“Hati-hati dengan hati, kita tidak tahu. Bisa jadi sekarang kamu membencinya tapi siapa yang bisa menjamin jika besok kamu mencintainya.” nasihat Farah.
Bulan berhenti sejenak dari pembicaraannya. Dia sedikit merenung apa yang diucapkan oleh temannya. Bagaimana jika iya, ah rasanya itu tidak akan mungkin. Bagaimana pun dia pasti memilih orang yang benar-benar paham agama bukan seperti Fajar. Baginya jodoh adalah pilihan, dia bebas memilih sesuai dengan apa yang dia cari dan butuhkan.
Farah, memanggil-manggil nama Bulan sesekali melihat layar handphone-nya. Dia berpikir Bulan telah mematikan teleponnya atau sedang ada gangguan jaringan. Bulan menjawab panggilan Farah, dan mengakhiri teleponnya. Tidak terasa dua jam sudah mereka berbincang ngalor-ngidul.
Di atas kasurnya dia berbaring, matanya sayu menatap langi-langit kamar. Seharusnya dia tidak begitu membenci laki-laki itu, benar kata Farah. Bagaimana jika besok mencintainya. Seperti menelan ludah sendiri. Sangat malu bukan.
Dia mengambil handphone-nya, membuka aplikasi sosial medianya. dia menguntit beranda sosial medianya Fajar. Menatap satu persatu postingan fotonya, dan membaca beberapa postingan statusnya. Tidak ada yang istimewa, pikirnya.
Dia menemukan foto dua tahun yang lalu sedang mengangkat piala di lengkapi dengan kalung medali emas. Bulan sedikit terheran-heran jika dia memang berprestasi kenapa hidup dia seperti kehilangan arah, seperti tidak punya aturan dalam hidupnya.
Dia terus menggeser satu persatu fotonya, “Ganteng sih iya, tapi jika tidak berakhlak untuk apa?” gumamnya.
Meskipun masih tergolong muda, Bulan bukan sedang mencari pacar tetapi mencari orang yang lebih serius untuk masa depan.
“Astagfirullah ya Allah, sadar Bulan sadar!!” Bulan menepuk-nepuk kepalanya dan segera mematikan handphone-nya.
Lima hari sudah dia tidak menginjakan kakinya ke sekolah. Itu juga berarti sudah lima hari dia tidak berjumpa dengan Fajar.
Sebab setiap hari Fajar mengganggunya, seperti ada yang kurang ketika sehari saja tidak diganggunya. Huh!! Bulan, tidak usah gengsi jika merasa merindukannya.
Seseorang mengangetkan Bulan dengan mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Dia langsung bersicepat berdiri dari tempat tidurnya dan membuka pintunya, rupanya itu adalah bundanya untuk mengajaknya makan siang. Jam dua lebih seperapat. Padahal sudah mau sore.
“Bulan gak makan deh bun, nanti aja malam sekalian,” ucapnya menolak ajakan bundanya.
***
Sekitar jam setengah empat sore, handphone Bulan berbunyi. Dia langsung mengeceknya. Rupanya itu pesan dari Alief yang bertuliskan :
“Assalamualaikum Bulan. Saya Alief, mohon maaf memakai no baru. Kamu bisa ke sekolah sekarang? Ada hal penting yang mau kita bahas. Semua anggota Rohis juga datang.”
Bulan termangu sejenak. Merasa ada kejanggalan, kenapa tidak memberi kabarnya di grup saja. Tapi dia tetap berpikir positif. Dan meletakkan kembali handphone-nya. Dia segera bersiap-siap mengganti bajunya, mengambil tas selempangnya lalu memakai sepatunya.
Ia kembali mengambil handphone-nya dan memasukan ke dalam tas selempang yang sedang dia gunakan. Ia bergegas turun ke bawah. Dan mencari bundanya ke dapur. Dia pamit untuk pergi ke sekolah sebab ada urusan mendadak di ekstrakulikulernya.
Bundanya khawatir dan sempat tidak mengizinkannya pergi sebab hari sudah sore dan keadaan di luar sedang hujan. Tapi dia berhasil membuat bundanya luluh dan akhirnya mengizinkannya untuk pergi.
“Kamu mau bawa mobil sendiri atau mau naik taksi?” tanya bundanya.
kebetulan supirnya sedang mengantar papahnya yang sedang pergi ke luar kota.
“Bulan naik taksi aja Bun,” sembari salaman kepada bundanya dan langsung pamit pergi dengan mengucapkan salam.
Dia memang baru belajar menyetir mobil. Belum terlalu berani untuk menyetir ke jalan raya sendirian, papahnya pun belum mengizinkannya.
***
Ketika dia turun dari taksinya, dia memayungkan tas yang sedang dipakai ke kepalanya untuk sedikit melindungi dari rintikan hujan.
Fadhil, salah satu teman Fajar. Dia sedang nongkrong di warung kecil dekat sekolah di pinggir jalan bersama kawan-kawannya.
Dia sedikit terheran-heran melihat keberadaan Bulan, dan bergumam, "ngapain Bulan ke sekolah sore-sore, di hari libur pula".
Dia segera menelpon Fajar untuk memberitahunya.
“Lu ngapain di sekolah jam segini bego?” tanya Fajar kepada Fadhil di teleponnya.
“Lah rumah gue kan deket sekolah to*ol.” jawab Fadhil.
Fadhil mengikuti Bulan dari belakang dengan mengendap-endap agar tidak disadari keberadaanya oleh Bulan. sedangkan Fajar dia sedang bersiap-siap untuk menuju sekolah, Fadhil tidak mengikuti Bulan masuk ke dalam sekolah dia menunggu kedatangan Fajar.