Malam itu dengan desakan papahnya. Bulan pergi dengan berat hati.
Selama perjalanan dia terus berpikir bagaimana jika dia bertemu dengan Alief. Bagaimana bisa dia bersikap biasa-biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.
Setelah sampai di depan rumah Alief. Kini Bulan mengerti mengapa dulu dia tidak ingin diantarkan sampai rumahnya. Mungkin, Alief tidak ingin Bulan tahu jika dia adalah putra dari seorang ulama besar yang memiliki pondok pesantren yang terkenal.
Keluarga Bulan disambut hangat oleh keluarga Alief dan dipersilakan masuk ke dalam masjid yang kebetulan acaranya dilaksanakan di dalam masjid.
Bulan mengikuti papah dan bundanya dari belakang menuju masjid yang diarahkan oleh keluarga Alief.
“Jadi, kamu seorang putri dari ustadz Idris?” bisik Alief pada Bulan.
Tetapi, Bulan tetap berjalan tak menjawab pertanyaan dari Alief.
“Kenapa gak pernah bilang. Jika kamu bilang mungkin...”
“Mungkin apa? Mungkin kamu gak bakal memberikan harapan palsu karena aku anak dari ustadz terkenal dan terhomat. Ingat, anak siapapun itu kamu tidak berhak menyakiti perempuan manapun!” sosor Bulan memotong pembicaraan Alief.
Bulan memasuki masjid area perempuan dan meninggalkan Alief begitu saja. Alief mematung menatap Bulan yang semakin menjauh.
Tiba-tiba, seorang perempuan memanggilnya, "Mas?!" Panggilnya.
Alief seketika menolehkan wajahnya. Dan menghampiri wanita tersebut.
Bulan menatapnya dari kejauhan. Rupanya, dia adalah istri Alief. Menyaksikan itu membuat hati Bulan begitu teriris.
Bagaimana mungkin, setahun lalu Alief berjanji akan meminangnya dan menyatakan rasa padanya. Tapi, hari ini dia mengingkari janjinya dan menikahi wanita lain. Sungguh menyakitkan.
Bulan, duduk di belakang kedua orang tuanya. Sesekali dia mengusap air matanya yang terjatuh, dia berkali-kali menatap ke arah atas untuk menahan air matanya yang tak mampu dia bendung.
Saat dia ingin mengusap air matanya, tangannya tidak sengaja menumpahkan air milik seseorang di sampingnya.
"Astaghfirullah, maaf kak gak sengaja!" Bulan mencoba membenarkan gelas yang terjatuh.
"Gapapa kak," Seorang tersebut melirik wajah seorang yang menumpahkan air di gelasnya.
"Loh, Bulan," Ucapnya terkejut.
"Kak Khadijah, " Balasnya.
Mereka sedikit berbincang-bincang mengenai kabarnya Masing-masing. Dan mengingat saat dulu dia masih belajar bersama Khadijah beberapa tahun lalu.
Ditengah perbincangan tiba-tiba Khadijah menarik tangan Bulan menuju keluar masjid. Bulan bertanya-tanya akan kemana tapi Khadijah hanya menariknya tanpa berkata-kata. Bulan di bawa ke sebuah tempat yang hening lumayan jauh dari posisi masjid.
“Kenapa kak?” tanya Bulan terheran-heran.
“Aku sebenarnya bukan gurunya Alief. Tapi, kakanya,” ucapnya yang membuat Bulan terkejut.
“Sebelum Alief dijodohkan. Dia menolak dengan keras karena sudah ada wanita pilihannya. Katanya. Tapi, orang tua kami tidak memahami itu. Aku tahu jika wanita itu adalah kamu. Dulu waktu dia masih sekolah sepulang sekolah selalu cerita tentang kamu ke aku,” ceritanya.
“Saat dijodohkan, Alief menentang dengan keras. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu kepada orang tuanya, berkata lebih keras dari orang tuanya,” sambung ceritanya.
“Bulan. Kakak yakin kamu adalah wanita yang sholehah. Kamu kuat dan Allah pasti akan mendatangkan orang yang jauh lebih baik dari Alief. Kakak sayang kamu,” Khadijah memeluk Bulan.
***
Pagi itu Bulan mengemas semua barang-barangnya. Dia akan diantarkan oleh orang tuanya kesebuah pesantren yang letaknya sangat jauh dari rumahnya. Dia akan kuliah dan pesantren disana.
Malam itu, Bulan akan berangkat kesana. Dan hari ini dia sibuk memgemas semua barang-barangnya agar tidak ada yang tertinggal. Di sela-sela kerepotannya. Tiba-tiba handphone Bulan berdering.