Deru ombak menggelegar di tepi pantai bersamaan dengan awan kelabu gelap menggantung di langit. Petir-petir berwarna biru menyambar tiada henti-hentinya. Angin kencang berhembus mengibaskan gadis muda yang tengah berdiri di bibir pantai. Pupil bola matanya menciut seolah tengah memandang kengerian yang sebentar lagi akan melanda di sekitarnya….
*
Jam beker berdering pagi itu. Seketika Aiko terbangun dengan napas terengah-engah, memandang sekitar. Degup jantung berdetak kencang, bersama dengan peluh yang membasahi dahi. Jam beker yang membuat berisik pun segera di matikan olehnya. Pandangan Aiko perlahan menoleh ke arah pakaian yang menggantung di pintu. Seragam sekolah bermotifkan pelaut berwarna biru dan putih.
Tahun ajaran baru ya, pikirnya dengan lesu. Mimpi barusan membuat Aiko perlahan kehilangan semangat untuk bersekolah. Namun, ia berusaha untuk berpikir positif dengan menepukkan kedua sisi pipi dengan tangan. Segera Aiko melompat turun dari kasur, mengambil handuk yang menggantung di kursi meja belajar. Ia tengah beranjak menuju kamar mandi yang ada di sebrang kamar.
Seusai mandi, ia menutup tubuh dengan handuk, mengambil seragam bermotifkan pelaut itu. Aiko mengenakan seragam, berdiri di depan cermin yang menempel pada lemari, perlahan mulai melilitkan kain berwarna merah yang membentuk dasi di bagian kerah.
Senyum tipis Aiko tergambar pada pantulan cermin. Ia merapihkan rambut pendek berwarna hitam yang tak sampai menyentuh bahu. Bola mata berwarna ungu memancar aura bagaikan mentari di pagi hari. “Baiklah sekarang waktunya berangkat!”
Aiko mengambil tas yang terduduk di kursi meja belajar. Semalam seluruh buku pelajaran telah dirapihkan, jadi pagi ini tinggal berangkat menuju sekolah.
Langit biru menyambut tanpa awan yang menggantung. Burung-burung bertengger kabel listrik sembari bersiul dengan merdu. Siulan itu seolah mengiringi Aiko yang baru saja keluar dari rumah.
Komplek perumahan mulai sibuk dengan urusan rumah tangga. Tak sedikit pula para wanita-wanita yang menjadi ibu rumah tangga menyiram tanaman. Terdapat pula, para pria yang menjadi kepala keluarga turut membantu, membuat pagi di sekitar komplek perumahan sedikit ramai. Terkadang Aiko menyapa mereka.
“Aiko, mau ke sekolah?” tanya salah seorang tetangganya.
“Terus mau ke mana lagi kalau enggak ke sekolah?” Aiko membalas dengan tersenyum simpul. “Kalau begitu aku duluan ya.”
“Belajar yang pintar ya.”
Aiko mengacungkan ibu jari sebagai jawaban. Ia pun melanjutkan langkah kaki hingga tiba di halte bus. Pagi seperti ini, ditambah jadwal sekolah sudah mulai masuk, halte bus dibanjiri oleh beberapa penumpang yang menanti bus. Aiko menghela napas, namun ia tetap harus menanti bus.
Saat tengah berdiri, karena kehabisan bangku, tepat di sampingnya terdapat dua siswa SMA negeri yang mengenakan putih dan abu-abu.
“Bagaimana tugasmu?” tanya laki-laki itu.
“Sudah aman sih, jangan bilang kamu belum mengerjakan.”
Laki-laki itu menggaruk kepala sembari tersenyum simpul. Perempuan yang berada di sampingnya menghela napas panjang. “Kamu ini bagaimana sih, nanti aku kasih contekan deh, tapi besok-besok jangan di ulang lagi ya.”
Mereka berdua serasi sekali ya, batin Aiko menghembuskan napas sebal. Kapan aku bisa seperti mereka? Memiliki wajah manis nan polos seperti Aiko harusnya bisa mendatangkan banyak lelaki. Fakta berbicara sebaliknya, ia masih saja sendirian. Tak ada laki-laki yang masuk kriteria Aiko di sekolahnya. Jadinya semua lelaki yang menyatakan perasaan padanya tertolak mentah-mentah.
Bus tiba membunyikan bel. Pintu otomatis terbuka. Aiko dan beberapa penumpang lain mulai menaiki bus. Setelah tak ada yang naik atau turun. Pintu pun tertutup dengan sendirinya. Bus melaju perlahan memasuki jalan raya.