Jauh dari hiruk pikuknya suasana kota, terdapat satu perkampungan kecil yang damai. Dikelilingi oleh pepohonan rindang dan hijaunya pekarangan berumput yang alami, tempat ini lebih menyerupai sebuah desa daripada kampung.
Ya, tidak salah memang, mengingat perkampungan tersebut berbatasan lansung dengan desa seberang, tak sampai satu kilometer dari Balai RW setempat. Profesi para penduduknya pun bermacam-macam, mulai dari petani, pedagang, hingga pekerja swasta maupun non-swasta, semuanya ada di sana.
Selain itu, ada pasar tradisional yang menghubungkan antara kampung tersebut dengan desa seberang. Tempat ini buka setiap pagi dan sore, menjual berbagai jenis barang dagangan pangan seperti aneka sayur dan buah, produk hewani seperti telur dan susu, hingga mainan dan barang-barang elektronik lainnya.
Tak ada masalah sosial di sana, seolah kampung dan desa itu adalah satu kesatuan. Menghadirkan rasa damai dan kebersamaan yang kental. Barangkali, itulah yang menjadi daya tarik utama yang menarik minat para pendatang baru dari luar, entah itu menetap secara permanen, ataupun hanya sekadar singgah untuk sementara.
Yang jelas, dalam setahun, pasti ada satu atau dua kepala keluarga yang datang menetap, sedangkan sisanya ... hanya singgah untuk beberapa hari. Lambat laun, kampung yang makin naik daun ini akhirnya menggabungkan wilayahnya dengan desa sebelah, lalu dikenal dengan nama "Desa Mortres". Nama ini diambil dari istilah bahasa Jawa, yakni moro dan tresno yang berarti 'tiba-tiba' dan 'jatuh hati'.
Suatu ketika, ada pendatang baru yang menetap di desa tersebut, yakni sepasang suami-istri bernama Anza Arman Chinmay dan Ananta Acacia Deka, serta putra kecil mereka yang bernama Alphali Basel Dharma. Mereka cukup ramah dan terbuka, sehingga dapat cepat beradaptasi dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar.
Anak mereka, Basel, dengan pribadinya yang cukup ceria, mampu mengakrabkan diri dengan anak-anak seusianya. Bermain dengan riang, seolah mereka sudah lama saling kenal, padahal baru bertemu beberapa hari.
Segala skenario indah tersebut, berlangsung dengan sangat sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk kehidupan nyata. Hingga suatu hari, kesempurnaan tersebut tiba-tiba lenyap, berubah menjadi sebuah alur yang tak pernah terbayangkan siapa pun dalam sekejap mata.
[21 Juni 2010] Desa Mortres – 14:25 WIB
Dua bulan berlalu sejak kedatangan keluarga Basel. Seperti biasa, Basel sedang asyik bermain bola dengan anak-anak lain di lapangan berumput hijau yang luas, di antara rumah-rumah kayu khas pedesaan. Di pinggir lapangan, berdiri tegak sebuah pohon besar setinggi delapan meter, dengan ayunan favorit anak-anak yang terikat pada salah satu batangnya. Baik siang maupun sore, tempat itu selalu ramai dengan tawa dan teriakan, kecuali pada jam sekolah atau istirahat malam.
Pada suatu hari, Basel dan teman-temannya sedang asyik bermain sepak bola. Matahari masih terasa menyengat, walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 14:25 sore. Beruntung, angin segar dari dataran tinggi mampu mengurangi rasa gerah. Namun tiba-tiba, suara gaduh seperti percekcokan yang terdengar dari salah satu rumah, mengejutkan semua orang.