[15 Juli 2006] Pengadilan Tinggi Kota Malren – 9:25 WIB
Tampak sebuah ruangan besar penuh sesak dengan kerumunan orang. Ada yang berada di luar ruangan, ada pula yang berhasil masuk ke dalamnya. Sebagian, ada yang duduk di tempat yang telah disediakan, yakni berupa kursi tipe memanjang yang terbuat dari kayu, sekitar 2 hingga 3 meter panjangnya. Permukaannya sudah dipoles halus dan dicat berwarna kehitaman, dengan paduan besi-besi yang dibentuk sebagai penyangga, sehingga tampak klasik namun tetap elegan. Sebagian lainnya, berdiri di bagian paling samping ataupun paling pojok. Pakaiannya serasi, berkemeja hitam lengan pendek, dengan masing-masing memegang alat perekam berupa kamera video profesional sesuai standar broadcast.
Ya, mereka adalah wartawan stasiun TV dan jurnalis dari surat kabar, sekitar belasan orang jumlahnya. Sebagai penggambaran, 4 orang wartawan, dan 3 orang reporter, masing-masing berada di dekat area sidang. Sementara sisanya, berada di sisi luar ruangan dekat pintu masuk, dan di sisi samping luar tribune. Sedangkan tepat di pusat dari keramaian itu, duduklah sosok seorang pria dewasa dengan rambut hitamnya yang bergelombang. Agak keriting, namun tidak terlalu menggumpal. Kumis dan jenggotnya telah dicukur rapi, sementara wajahnya tertunduk lesu dan terdiam seribu bahasa. Ya, dialah Anza. Seseorang yang saat ini berstatus sebagai tersangka dalam insiden yang baru-baru ini telah menewaskan istrinya.
Setelah semua elemen telah terkumpul, tak berapa lama setelahnya, beberapa orang yang berpakaian layaknya seorang wisudawan, mulai berdatangan dan duduk di meja yang memanjang di seberang tempat duduk Anza. Sedangkan di samping kanan-kirinya (Anza), terdapat tatanan meja yang disusun sedemikian rupa dengan taplak berwarna hijau tua, sekitar 4 meter jaraknya dari tempat duduk Anza saat ini. Kondisi pada ruangan tersebut agak ricuh. Namun semuanya mulai terkendali, tepat sesaat setelah sebuah palu yang berbahan kayu mengkilap berwarna kecokelatan, mulai dipukul-pukulkan ke meja beberapa kali. Mengeluarkan suara dentuman khas yang biasa dikumandangkan di dalam ruang pengadilan, sebagai pertanda segera dimulainya acara sidang yang akan digelar.
“Semuanya harap tenang! Baiklah, saya akan bacakan gugatannya. Saudara Anza Arman Chinmay, Anda telah divonis bersalah atas dugaan kasus pembunuhan pada 21 Juni 2006 lalu, dengan korban wanita bernama lengkap Ananta Acacia Deka, yang diketahui sebagai istri Anda sendiri. Ditemukan pertama kali di TKP yang beralamatkan di jalan Kenanga, No. 22B, Desa Mortres, yang mana juga diketahui sebagai kediaman Anda sendiri." Demikian Hakim Ketua membacakan kronologi kasus yang menjadi berita acara pada sidang tersebut. Setelahnya, ia pun membuka lembar baru yang berisi keterangan dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
"Menurut laporan dari hasil penyelidikan, telah ditemukan adanya luka pendarahan pada bagian dada kiri korban. Diduga, ia meninggal karena kehabisan darah akibat tusukan benda tajam yang mengenai tepat di bagian paru-paru sebelah kirinya. Selain itu, menurut laporan dari beberapa saksi mata yang ada di tempat kejadian, terdapat perseteruan hebat antara Anda, sebagai tersangka, dengan istri Anda, selaku korban. Sampai di sini, apakah ada yang kurang jelas?” tanya Hakim Ketua menegaskan dengan mengarahkan sedikit leher mikrofon berwarna hitam tanpa kabel. Konon, mikrofon tersebut dioperasikan dengan menggunakan konsep sistem wireless infrared dalam menjalankan fungsinya.
Sementara itu, Anza yang statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, hanya bisa terdiam tanpa sepatah kata pun sambil menggelengkan kepala. Pertanda bahwa tak ada penolakan sama sekali atas segala tuduhan yang diberikan kepadanya. Setelah itu, Hakim Ketua langsung membacakan putusan atas tuntutan yang telah disepakati bersama dalam sidang kasus "Insiden Pisau Merah" yang melibatkan Anza sebagai tersangka utamanya.
“Bagus! Kalau begitu, sekarang akan saya umumkan hasil keputusannya. Saudara Anza Arman Chinmay, dengan ini Anda telah dinyatakan terbukti bersalah, dan akan dijerat dengan pasal berlapis, di antaranya .…” Kata Hakim Ketua yang menjeda kalimatnya sembari membalik lembaran kertas berisi tuntutan-tuntutan yang akan dibebankan padanya (Anza).
“Satu! Pasal 395 KUHP, tentang perbuatan tertentu yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Dari sini, Anda akan mendapatkan ancaman hukuman penjara dalam masa 5 tahun ke depan.” Demikian isi dari putusan pertama, kemudian langsung dilanjut dengan pembacaan putusan yang ke dua.
“Dua! Sesuai dengan pengaturan hukum mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, maka dengan ini Anda mendapat tambahan berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00. Ini karena Anda telah melakukan kekerasan terhadap saudari Ananta Acacia Deka, selaku istri Anda sendiri.” Terang Hakim Kepala membeberkan beberapa tuntutan yang ada sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Lalu tak lama setelahnya, beliau pun melanjutkannya dengan membacakan tuntutan terakhir yang menjadi penutup pada sidang kasus pada hari itu.
“Lalu, yang terakhir! Undang-Undang tentang perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 Pasal 1 No 15a, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00. Ini karena Anda diduga telah melakukan perbuatan yang dinilai dapat melukai kesehatan psikologis anak Anda yang masih jauh di bawah umur, dengan melakukan tindak kriminal di dekatnya, menimbulkan efek traumatis dan …." Ujar Hakim Ketua yang berhenti sejenak sebelum kembali membacakan tuntutan terhadap Anza.
"Yah, namun ... mempertimbangkan bahwa Anda juga merupakan satu-satunya orang tua kandung yang masih tersisa, maka ... dengan ini pengadilan menjatuhkan vonis dari total 13 tahun penjara dan denda Rp115.000.000,00 menjadi 11 tahun penjara dan denda Rp15.000.000,00.” Demikianlah isi dari tuntutan beserta keputusan terakhir yang ditujukan kepada Anza selaku tersangka dalam kasus ‘Insiden Pisau Merah’ tersebut.
“Saudara Anza! Apakah Anda merasa keberatan dengan putusan ini?” tanya Hakim Ketua menjelaskan segala tuntutan kepada Anza, sembari menawarkan adakah keberatan yang ingin diajukan oleh terdakwa yang kini telah resmi ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus ‘Insiden Pisau Merah’.
Kemudian sosok seorang ayah itu pun menoleh ke belakang, memandang sejenak ke arah sang anak kesayangannya yang kala itu sedang tertunduk lesu, lengkap dengan tatapan mata yang kosong tanpa ekspresi. Dalam hati kecilnya, ia mulai menyadari bahwa Basel mungkin akan membencinya seumur hidup karena kejadian ini. Namun tak peduli bagaimanapun jadinya nanti, ia, Anza, tak memiliki pilihan lain kecuali menerima putusan tersebut dan melanjutkan apa yang telah dikehendaki oleh Sang Penguasa Takdir padanya.
Bermaksud melapangkan diri dan memantapkan pikiran, Anza pun menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia mulai memalingkan wajahnya ke arah Hakim Ketua tersebut sembari berkata:
“Tidak, saya rasa itu sudah cukup baik untuk seorang penjahat seperti saya. Terima kasih!” jawab Anza dengan mantap. Tak sedikit pun niatan yang tersirat darinya untuk membantah segala tuduhan berserta tuntutan yang diberikan kepadanya. Tanpa didampingi oleh satu pengacara pun, tanpa dilirik oleh satu orang pun, entah itu dari kerabat maupun keluarganya, dan tentunya tanpa sanggahan apa pun, sidang pada hari itu akhirnya ditutup dengan hasil yang diharapkan oleh semua orang.
Ya, semua orang, kecuali seorang anak kecil yang hanya bisa merengek tanpa bisa berkata apa-apa, tanpa sekalipun melepaskan pandangan ke arah tempat duduk sang ayah yang sangat dihormatinya. Sementara di sisi lain, orang-orang pun mulai membenci Anza. Bahkan, tak sedikit pula yang sampai memaki-maki dan meneriaki kata “MATI KAMU, KRIMINAL!!” kepadanya (Anza).
Hal ini tentunya bukan tanpa alasan. Sebab, usai divonis sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan yang cukup menggemparkan, sikap Anza tampak cukup tenang, seolah tanpa penyesalan atau rasa bersalah sedikit pun. Barangkali, inilah salah satu faktor yang membuat sosok Anza jadi dibenci oleh semua orang, termasuk dari keluarga besar istrinya sehingga tuntutan hukuman yang diterimanya, dapat menjadi maksimal.
Pada akhirnya, sidang pun berakhir. Orang-orang pun dipersilakan untuk segera meninggalkan ruang sidang. Tak berapa lama kemudian, suasana yang tadinya ramai, perlahan mulai berangsur sepi. Para audiens yang hadir pada acara tersebut, kini berkerumun dan membentuk barisan alami dengan tertib untuk meninggalkan ruangan tersebut.
Namun, dalam kerumunan orang yang keluar ruangan itu, sayu-sayu terdengar teriakan seorang anak kecil yang seperti memanggil nama seseorang. Makin lama makin keras, hingga frekuensinya mampu menjangkau ke seluruh bagian dalam ruangan besar yang mulai tampak sepi, sebelum akhirnya menghilang bagaikan deburan ombak yang menghantam sebuah karang besar dengan keras, lalu perlahan menarik dirinya dengan cepat.