AIMER - Emergence of New Hero

Hazsef
Chapter #22

Dilema

[16 November 2017] Apotek Lara Kencana – 11:52 WIB

Matahari membumbung tinggi, kulit pun mulai terasa perih, perlahan merelokasikan tempat-tempat yang tadinya menyejukkan hati, kini hanya menari di sekitar altar yang menjadi poros sebuah materi yang bergerak ke sana kemari, maupun yang hanya menetap di satu sisi. Ya, hari sudah siang. Bagaimana ilusi magis fatamorgana, mulai terlihat seperti deburan ombak di tepi pantai, menari-nari dengan cantiknya di atas tubuh besi kendaraan roda 4 yang memenuhi ruas jalan, menandakan betapa teriknya suasana pada siang itu.

Meski begitu, bukannya berkurang, jalanan pun malah kian padat. Menyisakan lebih sedikit ruang bagi pikiran untuk sekadar berelaksasi, tak terkecuali untuk Basel dan Ayana, yang sedang terjebak di jalanan utama yang lumayan padat. Merasa tak nyaman, Basel pun segera mengambil inisiatif untuk memilih "jalan tikus", melewati kampung-kampung kecil yang tak terlalu ramai pengendara, meskipun harus sedikit memutar.

Hal ini ia lakukan, usai mempertimbangkan si Ayana yang asal ikut dan tidak mengenakan helm. Tampaknya, ia tak ingin mengambil risiko untuk ditilang dan ... yah, sebenarnya itu tidak sepatutnya dicontoh bagi pengendara yang baik dan benar. Karena, keamanan tetap nomor satu.

Singkat cerita, setelah mencoba meliuk-liuk dan melewati beberapa ruas jalan, Basel dan Ayana akhirnya dapat melepas penat setibanya di apotek pribadi milik Bibi Lara yang bernama "Apotek Lara Kencana". Basel pun langsung memarkir motor kesayangannya dan segera masuk ke dalam apotek, diikuti Ayana yang memang berniat membantu. Ketika memasuki ruangan, Mbak Inah yang biasanya dipanggil Basel dengan sebutan "Bi Inah", karena memang usianya terpaut beberapa tahun lebih tua dari Bibi Lara, kebetulan sedang merapikan rak obat di etalase.

"Assalamu'alaikum!" salam Basel sesaat setelah ia membuka pintu apotek yang terbuat dari kaca.

"Wa'alaikumsalam. Eh, ada Nak Basel! Oh, sama pacarnya ternyata," balas Bi Inah dengan nada sarkas, dahinya mengerut, kedua alisnya terangkat, seperti mencurigai sesuatu. Sementara Basel, yang merasa ada yang aneh dalam tatapan Bi Inah, lantas tak tinggal diam.

"Bukan! Ini ... dia temen kuliah aku Bi, namanya Ayana. Hari ini dia bilang mau bantu-bantu kita jagain apotek," sanggah Basel menjelaskan, lalu memperkenalkan sosok Ayana yang berdiri di sisi kanannya. Namun, tentu penjelasan itu tak cukup untuk menyurutkan bibit kecurigaan yang melekat di benak Bi Inah.

"Temen apa temen ...?" goda Bi Inah menyindir status hubungan Basel dan Ayana dengan lebih intens. Kepalanya agak terangkat, mulutnya tersenyum, alisnya naik, sedangkan matanya menatap tajam ke arah keduanya, membuat suasana seketika jadi canggung. Basel hanya bisa menghela napas, sementara Ayana tampak tersipu malu, tersenyum kecil sambil sesekali menatap ke arah Basel.

Tak perlu menekannya lebih jauh. Hanya dari melihatnya saja, Bi Inah sudah paham, sejauh mana hubungan romansa Basel dan Ayana. Tak lama berselang, Basel pun segera mengalihkan pembicaraan, sebelum situasinya menjadi semakin runyam.

"Umm ... pokoknya gitu dah. Ya udah Bi, Basel mau naruh barang bawaan dulu yakk. Sekalian entar mau sortir obat yang baru sama yang lama. Ay, tak tinggal dulu ya!" ujar Basel tak ingin ambil pusing, lalu hendak pergi meninggalkan Ayana bersama Bi Inah.

"Ah, aku ikut Bas!" pinta Ayana sedikit panik, karena tak ingin ditinggal sendiri.

"Kamu sini aja, Ay! Temenin Bi Inah tuh, biar ada temen ngobrol," ucap Basel santai, coba menenangkan Ayana.

Lihat selengkapnya