AIMER - The Night Watcher

Hazsef
Chapter #2

Insiden Pisau Merah

Jauh dari hiruk-pikuk suasana kota, terdapat sebuah perkampungan kecil yang damai. Dikelilingi pepohonan rindang dan pekarangan berumput hijau yang alami, tempat ini lebih menyerupai sebuah desa daripada kampung.

Ya, tidak salah memang, mengingat perkampungan tersebut berbatasan langsung dengan desa seberang, tak sampai satu kilometer dari Balai RW setempat. Profesi penduduknya pun beragam, mulai dari petani, pedagang, hingga pekerja swasta dan non-swasta, semua ada di sana.

Selain itu, ada pasar tradisional yang menghubungkan kampung tersebut dengan desa seberang. Tempat ini buka setiap pagi dan sore, menjual aneka barang kebutuhan, seperti sayur, buah, telur, susu, mainan, hingga barang-barang elektronik.

Tak ada masalah sosial di sana, seolah kampung dan desa itu adalah satu kesatuan. Menghadirkan rasa damai dan kebersamaan yang kental. Barangkali, itulah daya tarik utama yang mengundang pendatang baru, entah untuk menetap maupun sekadar singgah.

Yang jelas, dalam setahun, pasti ada satu atau dua kepala keluarga yang datang menetap, sedangkan sisanya hanya singgah beberapa hari. Lambat laun, kampung yang kian naik daun ini akhirnya melebur bersama desa seberang, lalu dikenal dengan nama "Desa Mortres". Nama ini diambil dari istilah bahasa Jawa, yakni moro dan tresno yang berarti ‘tiba-tiba’ dan ‘jatuh hati’.

Suatu ketika, ada pendatang baru yang menetap di desa tersebut. Sepasang suami istri bernama Anza Arman Chinmay dan Ananta Acacia Deka, bersama putra kecil mereka, Alphali Basel Dharma. Mereka cukup ramah dan terbuka, sehingga cepat diterima oleh masyarakat.

Anak mereka, Basel, dengan pribadinya yang cukup ceria, mampu mengakrabkan diri dengan anak-anak seusianya. Bermain dengan riang, seolah mereka sudah lama saling kenal, padahal baru bertemu beberapa hari.

Segala skenario indah tersebut, berlangsung dengan sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk kehidupan nyata. Hingga suatu hari, kesempurnaan tersebut tiba-tiba lenyap, berubah menjadi sebuah alur yang tak pernah terbayangkan siapa pun dalam sekejap mata.


[21 Juni 2010] Desa Mortres – 14:25 WIB

Dua bulan berlalu sejak keluarga Basel pindah. Seperti biasa, Basel sedang bermain bola di lapangan berumput hijau bersama anak-anak lain, di antara rumah-rumah kayu khas pedesaan.

Di pinggir lapangan berdiri sebuah pohon besar setinggi delapan meter, dengan ayunan favorit anak-anak yang terikat di salah satu batangnya. Siang dan sore, tempat itu selalu ramai dengan tawa dan teriakan, kecuali saat jam sekolah atau malam hari.

Lihat selengkapnya