[15 Juli 2010] Pengadilan Tinggi Kota Malren – 9:25 WIB
Ruangan besar Pengadilan Tinggi Kota Malren penuh sesak. Di dalam dan di luar gedung, kerumunan orang memadati area. Sebagian duduk di kursi kayu panjang yang klasik dan elegan, sebagian lainnya berdiri di sudut-sudut.
Mereka adalah wartawan stasiun televisi dan jurnalis dari berbagai media cetak, belasan jumlahnya, siap merekam setiap detik persidangan.
Di pusat keramaian itu, Anza duduk. Rambut hitamnya agak bergelombang, kumis dan jenggot rapi tercukur, namun wajahnya tertunduk lesu, terdiam seribu bahasa. Ironisnya, dialah tersangka utama dalam insiden berdarah yang menewaskan istrinya itu.
Setelah semua elemen terkumpul, beberapa orang berbusana seperti wisudawan mulai berdatangan dan duduk di meja panjang seberang Anza. Kericuhan sempat terjadi, namun seketika reda saat palu kayu mengkilap dipukulkan berkali-kali ke meja hijau, menandai dimulainya sidang.
“Semuanya harap tenang! Baiklah, saya akan bacakan tuntutannya,” seru Hakim Ketua dengan lantang.
“Saudara Anza Arman Chinmay, Anda divonis bersalah atas dugaan kasus pembunuhan pada 21 Juni 2010 lalu, dengan korban Ananta Acacia Deka, istri Anda sendiri. Korban ditemukan di TKP beralamat di Jalan Kenanga No. 22B, Desa Mortres,” Hakim Ketua membacakan kronologi kasus, lalu membuka lembar hasil penyelidikan.
“Menurut laporan, ditemukan luka pendarahan di dada kiri korban, diduga meninggal karena kehabisan darah akibat tusukan benda tajam yang mengenai paru-parunya. Beberapa saksi mata juga menyebut adanya perseteruan hebat antara Anda, dengan istri Anda. Sampai di sini, apakah ada yang kurang jelas?” tanya Hakim Ketua, menatap tajam ke arah Anza sambil mengarahkan mikrofon.
Anza, yang kini resmi berstatus tersangka, menggeleng pelan. Tak ada sanggahan, tak ada pembelaan, hanya terdiam tanpa kata.
“Bagus! Kalau begitu, sekarang saya umumkan hasil keputusannya,” lanjut Hakim Ketua membacakan tuntutan resmi dalam sidang kasus Insiden Pisau Merah itu.
“Saudara Anza Arman Chinmay, Anda terbukti bersalah, dan akan dijerat dengan pasal berlapis, di antaranya….” Hakim Ketua menjeda, lalu membalik lembaran tuntutan.
“Satu ... atas perbuatan yang mengakibatkan matinya seseorang, Anda dihukum penjara lima tahun.” Putusan pertama dibacakan, diikuti yang kedua.
“Dua ... sesuai Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Anda mendapat tambahan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda maksimal Rp15.000.000,00 karena melakukan kekerasan terhadap Ananta Acacia Deka, istri Anda sendiri,” bebernya, lalu melanjutkan tuntutan terakhir.
“Dan terakhir ... Anda dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak, karena melakukan tindak kriminal di dekat anak di bawah umur hingga menyebabkan efek traumatis,” jeda Hakim Ketua sejenak, lalu menatap Anza.
“Namun, mempertimbangkan bahwa Anda juga merupakan satu-satunya orang tua kandung yang masih tersisa, maka pengadilan menjatuhkan vonis dari total 13 tahun penjara dan denda Rp115.000.000,00 menjadi 11 tahun penjara dan denda Rp15.000.000,00,” sambungnya.
“Saudara Anza! Apakah Anda merasa keberatan dengan putusan ini?” tanya Hakim Ketua.
Anza menoleh ke belakang. Tatapannya jatuh pada Basel, yang tertunduk lesu dengan mata kosong. Dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa anak itu mungkin akan membencinya seumur hidup. Tapi, ia tak punya pilihan. Anza menghela napas panjang, lalu angkat bicara.
“Tidak, saya rasa itu sudah cukup baik untuk seorang penjahat seperti saya. Terima kasih!” jawabnya mantap.
Tanpa pengacara. Tanpa keluarga. Tanpa sanggahan apa pun. Sidang itu pun ditutup dengan hasil yang diharapkan semua orang.
Ya, semua orang, kecuali seorang anak kecil yang hanya bisa merengek tanpa suara, tak sekalipun melepaskan pandangan dari ayah yang sangat dihormatinya.
Di sisi lain, orang-orang mencaci Anza. Teriakan “Mati kamu, kriminal!” menggema di ruangan.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Usai divonis sebagai tersangka, sikap Anza masih tampak tenang, bahkan terlalu tenang, seolah tak ada penyesalan atau rasa bersalah sedikit pun.
Barangkali, itulah yang membuat orang-orang membencinya, termasuk keluarga besar sang istri.
Sidang pun berakhir. Orang-orang dipersilakan meninggalkan ruang sidang. Suasana yang tadinya ramai, perlahan berangsur sepi. Audiens berkerumun, membentuk barisan tertib menuju pintu keluar.
Namun, dalam kerumunan itu, sayup-sayup terdengar teriakan seorang anak kecil. Makin lama makin keras, hingga menjangkau seluruh ruangan besar yang mulai sepi, sebelum akhirnya memudar, bagai deburan ombak yang surut menjauh dari pantai.
“Yah... Ayaah... Ayaah... Ayaaahh...!”