Pagi itu, tanah lapang di Bumi Perkemahan Barond masih menyimpan jejak gaduh dari insiden tadi. Kini yang tersisa hanyalah seorang pemuda, terbaring sendirian di rerumputan, tubuhnya memar, napasnya berat. Di sekitarnya, daun kering berguguran, berputar pelan tertiup angin.
Basel memandang langit, awan berarak lambat di antara celah dedaunan. Sinar mentari menembus sela ranting, jatuh di wajahnya.
“Menyedihkan… beginikah seharusnya makhluk berakal itu bertindak?” batin Basel.
“Kalian datang membawa embel-embel kebenaran. Mengemban tugas mulia untuk memperbaiki akhlak. Menanggung beban dan tanggung jawab demi tujuan yang lebih baik,” Basel menghela napas dalam, rasa muak bercampur sakit menjalar di sekujur tubuhnya.
“Tapi nyatanya, apa ini? Mengedepankan hasrat dan keinginan untuk memaksa keadaan? Supaya semuanya berjalan sesuai dengan yang kalian harapkan?” lanjutnya, kali ini sambil mengernyitkan matanya.
“Yang benar saja! Jika itu yang kalian sebut kebijaksanaan, jika itu adalah cara mencapai kedewasaan, maka selamanya jadi anak-anak pun… aku tak masalah,” gigi Basel menggertak kecil seraya menutup matanya pelan.
Dengan tubuh yang babak belur dan tak berdaya, Basel hanya bisa merebahkan diri sepenuhnya, menghadap langit. Awan bergerak perlahan, mengikuti irama angin pagi yang sejuk.
“Hmm, nyamannya. Berbaring di tanah seperti ini, kupikir… tidak buruk juga,” batinnya.
“Ayah, saat ini... aku sedang mengalami hal yang buruk lho! Jika tak bisa kutemukan apa pun di atas tanah seperti yang dulu kau katakan, lantas... apa yang bisa kutemukan dengan memandang ke atas langit?” pikirnya kini sedikit melankolis.
“Sungguh, tak ada apa pun selain sekumpulan benda putih yang berhembus secepat kentut di alas tak beratap. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang... eh?”
Basel menutup mata sebentar, membiarkan embusan angin pagi menyapu wajahnya. Lalu, tiba-tiba cahaya yang hangat itu menghilang. Sesuatu… atau seseorang, berdiri di antara dirinya dan matahari.