[25 November 2025] Kota Malren – 11:43 WIB
Di Kota Malren, desas-desus aneh mulai menyebar. Ada laporan-laporan misterius tentang sosok bertopeng yang berulah di distrik-distrik tertentu. Awalnya, orang-orang mengira ini hanya perkelahian geng biasa. Tapi anehnya, semua yang terlibat selalu punya catatan kriminal yang tidak sepele.
Maraknya rumor yang beredar, membuat sebagian masyarakat menjadi panik, namun sebagian lainnya ... justru merasa aman dan lega. Bagaimana tidak?
Pasalnya, semenjak kedatangan sosok bertopeng misterius itu, tingkat keamanan dan kewaspadaan masyarakat sekitar menjadi meningkat, sehingga secara tidak langsung juga berdampak pada menurunnya angka kriminalitas di daerah tersebut.
Karena sekalinya ada orang yang gerak-geriknya mencurigakan, maka petugas keamanan setempat akan langsung menginterogasi, sehingga celah untuk melakukan aksi kriminal menjadi kian menyempit.
Lambat laun orang-orang pun mulai menyadari, bahwa sosok bertopeng misterius itu tidaklah jahat. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai pahlawan. Konon, ia mengenakan pakaian yang serba hitam dengan topeng kelinci putih untuk meringkus para penjahat. Karenanya, masyarakat pun mulai menjuluki aksinya sebagai "Keadilan Sang Kelinci".
Di sisi lain, Basel—dalang di balik semua aksi misterius itu—mulai dilema saat mendengar julukan baru yang disematkan padanya.
"Kelinci? Serius?! Penampilan keren kayak gini masih dibilang lucu kayak kelinci?! Apa kurang garang, ya? Hmm, barangkali unsur kelincinya emang lebih menonjol. Coba karakter serigalanya nanti lebih tak ekspos. Soalnya kalau terlalu lucu bisa-bisa enggak ada efek jera, malahan pada balas dendam semua, tuh!" batinnya bergejolak.
Basel kemudian merombak ulang desain kostumnya secara keseluruhan, termasuk bentuk topengnya. Menggantinya menjadi lebih garang dan sangar, dengan siluet yang lebih mirip serigala buas. Setelah berhari-hari begadang, topeng itu akhirnya selesai.
Ia memakainya, berdiri di depan cermin dengan bangga. Namun yang terpantul bukanlah sosok pemburu yang menakutkan, melainkan seperti seorang cosplayer murahan dengan topeng aneh yang tidak proporsional. Ia terlihat konyol, jauh dari kesan intimidasi.
"Sial! Ini malah jadi kayak karakter figuran yang gak penting," gerutu Basel, merasa jengkel. Ia melepas topeng "serigala" itu dan membakarnya bersama sisa sampah daur ulang.
Basel lalu kembali merombak ulang topengnya. Namun, alih-alih membuat desain yang rumit, Basel memutuskan untuk membuatnya lebih sederhana dan minimalis. Topeng kelincinya kini putih polos dengan dua lubang mata tanpa hidung atau mulut yang tergambar.
Kali ini, Basel menambahkan modifikasi baru yang terlihat seperti telinga kelinci. Di dalamnya, ia menyisipkan antena khusus—nyaris tak terlihat dari luar—yang mampu memperkuat sinyal agar lebih stabil dan jernih, memberinya keunggulan tak terduga.
"Topeng sudah diubah. Kostum sudah di-upgrade. Tapi kok rasanya masih ada yang mengganjal, ya? Kayak ada yang kelewat gitu," Basel kembali dilema.
Ia masih berbaring tenang di kamarnya, menatap langit senja yang mulai berwarna kuning kemerahan, memikirkan serius apa yang sebenarnya sedang mengganjal pikirannya. Ia merasa ada strategi yang lebih besar, sesuatu yang lebih dari sekadar menangkap penjahat.
Namun, tak peduli seberapa keras ia mencari jawabannya, hasilnya tetap nihil. Basel pun mulai pening. Rasa tidak berdayanya, perlahan membuatnya jadi seperti anak pemalas. Tak lama berselang, suara berisik kendaraan terdengar dari luar jendela. Ada sebuah mobil minibus yang berhenti di depan rumahnya.
Kemudian, pintu pun terbuka. Seorang wanita cantik muncul. Rambutnya yang bergelombang tergulung ke dalam, seperti gaya khas seorang noni Belanda. Dialah Sharmila, kakak sepupu perempuan Basel, akhirnya pulang dari kegiatan observasinya sejak berminggu-minggu lalu.
"Oh, si noni berisik rupanya," batin Basel dengan nada datar, tampak tak tertarik.