AIMER - The Night Watcher

Hazsef
Chapter #34

Hari Keberangkatan

 [17 November 2025] Halaman Gedung Sasana Budaya – 05:52 WIB

Dua hari berselang, momen yang kami nanti akhirnya tiba. Sebelum berangkat, tak lupa dilakukan pemeriksaan daftar hadir dan barang bawaan, guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Baru setelahnya, kami berangkat menuju ke lokasi yang menjadi titik awal dari kegiatan karyawisata kami.

Selama perjalanan, semua orang terlihat senang dan antusias. Mereka bahkan bernyanyi bersama, hingga membuat suasana makin meriah. Ya, sepertinya semua orang menikmatinya. Semuanya, kecuali aku ... dan seorang bapak-bapak yang duduk di sebelahku. Gambaran percakapan atas pertemuan tak terduga yang terjadi sebelum memasuki bus, tak henti-hentinya terus menghantui angan-angan kami.


[17 November 2025] 10 menit sebelumnya

“Oke, semuanya sudah lengkap?!” tanya Pak Anva dengan suara lantang, bermaksud memeriksa kehadiran dan kelengkapan peralatan yang dibawa para partisipan yang akan mengikuti kegiatan karyawisata di daerah TNBM.

“Sudah Pak!” jawab para mahasiswa dan mahasiswi tersebut serentak, atau sebut saja "partisipan".

“Sudah siap untuk berangkat?!” tanya Pak Anva kembali memastikan, tak ingin melewatkan kendala sekecil apa pun, yang beresiko dapat menghambat kegiatan yang menjadi ujung tanduk nasibnya ke depan. Namun, tampaknya hal itu tak perlu dikhawatirkan, mengingat antusiasme dari para partisipan yang cukup tinggi.

“Siap, Pak!” jawab para partisipan yang hadir dengan kompak.

“Bagus! Sebelum berangkat, mari kita berdoa sejenak. Semoga perjalanan kita pada kegiatan karyawisata kali ini, dapat berjalan lancar sebagaimana mestinya. Sesuai keyakinan masing-masing, berdoa ... dipersilakan!” ajak Pak Anva dengan khidmat seraya mulai menundukkan kepala, lalu diikuti oleh seluruh partisipan.

“Berdoa selesai! Kalau begitu, segera ambil tempat duduk yang masih kosong! Kita berangkat sekarang!” Pak Anva menyudahi sesi berdoa, lalu menghimbau para partisipan untuk segera masuk ke dalam bus berkapasitas 40 penumpang yang telah disediakan.

“Yeeeeyy!!” teriak para partisipan dengan riang dan antusias, tak sabar untuk segera pergi menuju kawasan yang jadi tujuan kegiatan karyawisata mereka kali ini.

“Ya sudah, kita masuk, Bas!” ajak Pak Anva singkat, lalu ditanggapi Basel dengan mengangguk santai. Namun, baru saja mereka akan melangkah, tiba-tiba bibi Lara memanggil dari kejauhan. Tampaknya, ada hal penting yang ingin beliau sampaikan sebelum melepas kepergian mereka.

“Eits! Kalian berdua, sini sebentar!” seru Bibi Lara tiba-tiba, memanggil Basel dan Pak Anva untuk menghadap.

Bagi orang awam, tentu tak ada yang aneh pada panggilan itu. Namun bagi Basel dan Pak Anva, tentunya ada makna tersirat khusus yang mampu memacu sedikit adrenalin mereka, membuat jantung berdetak dua kali lebih cepat, seolah jiwa dan raga mereka yang tenang, tiba-tiba diketuk-ketuk oleh palu kematian.

“Masih ingat dengan perjanjian kita dulu?” tanya Bibi Lara kembali mengingatkan, suaranya pelan namun tegas. Baik Basel maupun Pak Anva, jelas takkan melupakan ancaman berkedok perjanjian sepihak yang sebelumnya dilayangkan oleh Bibi Lara.

Konsekuensi apa yang bakal mereka terima apabila tidak mampu membawakan Bunga Verbena yang sebelumnya dikira Fatimah dan Ratih sebagai bunga Lavendel. Basel dan Pak Anva hanya bisa menggangguk pelan tanpa banyak berkomentar.

 “Demi kebaikan kita bersama, sebaiknya kalian jangan kacaukan yang satu ini. Kalau tidak ....” lanjut Bibi Lara sambil mengacungkan satu jari telunjuknya ke arah Basel, lalu memutar ke kanan dan kiri secara bergantian, sebagai isyarat uang jajan 1 bulan.

Setelah itu, giliran Pak Anva yang ditunjuk, lalu diperlihatkan ibu jari bibi Lara yang bergerak dari sisi kiri hingga ke sisi kanan lehernya, seolah mengatakan bahwa itu adalah akhir dari karir Pak Anva sebagai Kaprodi. Menanggapi hal ini, kedua sosok yang malang itu, hanya bisa menggangguk pelan, pasrah menerima takdirnya.

Lihat selengkapnya