[17 November 2025] Penginapan Desa Ranu Pina – 16:54 WIB
Setelah melewati perjalanan panjang, rombongan karyawisata dari Universitas Malren pun akhirnya sampai di sebuah pemukiman yang berada di Desa Ranu Pina. Desa ini berada di dalam TNBM, sekaligus menjadi desa terakhir yang populer sebagai titik awal para pendaki yang ingin ke puncak Gunung Meru.
Rombongan para pelajar itu segera turun dari mobil jip masing-masing dan berkumpul bersama, hingga tanpa sadar menyisakan satu orang yang berjalan pelan sambil menikmati pemandangan alam sekitar yang memukau. Tak lama, mulai terdengar suara yang memanggil dari kejauhan.
“Eh, Bas?! Sini cepetan!” panggil Pak Anva seraya melambaikan tangan. Ketegangan jelas terpancar di wajah dosen itu, sangat kontras dengan Basel yang terlihat santai, seolah tanpa beban. Entah ini karena ketenangannya yang luar biasa, atau memang ia hanya sedang lupa.
“Iya Pak?” jawab Basel heran, namun tetap santai.
“Ke mana aja kamu? Dari tadi saya cariin kok nggak ada?” tanya Pak Anva resah. Sepertinya, ada hal penting yang ingin beliau sampaikan pada Basel.
“Maaf, Pak! Tadi saya lagi sibuk,” balas Basel sekenanya.
“Hah? Sibuk ngapain?” tanya Pak Anva heran.
“Sibuk ngubah nasi jadi karbohidrat, hehe,” sambung Basel sedikit terkekeh, hingga membuat Pak Anva mulai gemas.
Bagaimana tidak? Sementara dirinya dari tadi sibuk mondar-mandir untuk mengurus segala keperluan demi kelancaran kegiatan mereka, Basel justru malah berleha-leha, tampak tidak serius.
“Jangan bercanda aja kamu!” tegur Pak Anva agak kesal, seraya mengacak-acak rambut Basel hingga jadi seperti sarang burung yang berserakan.
“M-maaf,” balas Basel singkat, namun tak menunjukkan sedikit pun penyesalan, bahkan malah tersenyum.
“Apa kamu sudah lupa apa yang bakal terjadi kalo kita sampai gagal?!” tanya Pak Anva mengingatkan.
“Ya nggak lah, Pak,” jawab Basel singkat. Tentu ia tak mungkin lupa, karena ia tahu betul sifat bibinya yang tegas. Tak ada kata "tapi" dalam kamusnya. Sekali berkata "tidak", maka akan tetap begitu seterusnya, seakan itu adalah hal yang mutlak.
“Ingat Bas! Demi kebebasan,” bisik Pak Anva menegaskan, seraya mengepalkan tangan kirinya setinggi dada ke arah Basel. Bagaimana nasib keduanya, kini terikat oleh perjanjian sepihak dari Bibi Lara, dengan masa depan mereka yang dipertaruhkan.
“Demi kebebasan,” balas Basel sambil merespons kepalan tangan Pak Anva. Membentuk simbol ikatan persahabatan sejati antara dua orang lelaki yang takdirnya terikat oleh sebuah janji dari bunga asing yang misterius.
“Ini cuman perasaanku aja, atau dua orang itu jadi kayak bapak sama anaknya mau pergi mancing yak?” bisik Della heran, sambil menatap Basel dan Pak Anva dari kejauhan, mencoba mencari pembenaran pada Diana yang berdiri di sebelahnya.
“Biarin aja, Del. Yang penting semua senang, kan?” jawab Diana cuek.