[18 November 2025] Ranu Kumba– 14:32 WIB
Tak terasa sudah hampir sepertiga hari waktu berlalu sejak keberangkatan Basel dan rombongannya dari Desa Ranu Pina. Tenda-tenda sudah didirikan. Masing-masing barang telah diamankan. Waktu senggang pun akhirnya datang bagi para pendaki untuk sekadar menikmati waktu, sekaligus memulihkan tenaga yang terkuras selepas berjalan kaki cukup jauh.
Ayana, yang sedari tadi terlihat cukup letih dan agak pucat sesampainya di tempat tujuan, kini mulai terlihat lebih baik setelah beristirahat sejenak. Kemudian, saat kekuatan dalam tubuhnya berangsur kembali, Ayana pun segera beranjak dari tendanya, lalu menuju ke tempat Basel untuk mengembalikan botol minum yang ditawarkan padanya sewaktu ia hendak mengambil air di Danau Kumba.
“Umm, Bas, nih punyamu. Tadi aku ambil sedikit,” ujar Ayana yang baru saja datang mengantarkan botol minum Basel dengan agak sungkan.
“Oh iya, enggak papa! Makasih ya udah dianter,” balas Basel dengan ramah.
“E-enggak Bas! Aku yang harusnya bilang gitu. Makasih ya, Bas!” ralat Ayana, mencoba meluruskan.
“Sama-sama,” balas Basel sambil melayangkan senyuman hangat pada Ayana.
“Hehe, ya udah Bas, kalau gitu aku—” pamit Ayana, bermaksud untuk pergi, namun tiba-tiba langsung dicegah oleh Basel. Entah kenapa, ada yang mengusik perhatiannya.
“Ay, kamu nggak papa kan? Wajahmu kok pucet gitu?” sela Basel khawatir, usai melihat kondisi Ayana yang tampak pucat, bibirnya agak kering, sementara tubuhnya sedikit sempoyongan, seolah bisa roboh kapan saja.
“Ah, enggak! Nggak papa kok, Bas. Mungkin aku cuman agak kedinginan aja,” kelak Ayana panik, berusaha menepis prasangka Basel.
“Perlu aku pinjemin selimut, Ay? Kayaknya kamu lebih butuh deh,” ujar Basel menawarkan, dengan harapan Ayana dapat sedikit bertahan dari hawa dingin Ranu Kumba yang tentunya akan lebih menusuk di malam hari. Meski begitu, Ayana tetap bersikeras menolak, karena tak ingin merepotkan Basel lebih jauh lagi.
“Nggak usah, Bas. Aku baik-baik aja kok, beneran!” dalih Ayana mencoba tegar, ingin menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun bagi Basel, pernyataan tersebut bermakna tak lebih dari sekadar penyemangat semata.
“Yakin?” tanya Basel memastikan.
“Hu-um! Ya udah, aku balik ke tenda dulu ya, Bas. Dah!” jawab Ayana dengan semangat, lalu buru-buru kembali ke tendanya. Letaknya tidak jauh, tidak pula terlalu dekat dari tenda Basel, hanya berjarak sekitar 20 meter. Penataan tenda memang tidak dilakukan secara acak, melainkan dipisah berdasarkan gender, demi alasan privasi, keamanan, serta kenyamanan bersama.
Basel sebenarnya agak curiga, namun akhirnya membiarkan Ayana pergi menuju tendanya. Barangkali ini cuma perasaannya saja, pikirnya.
Meski hawa di dataran Ranu Kumba cukup dingin, namun cuaca yang cukup terik mampu menetralisir keadaan menjadi lebih bersahabat. Sementara yang lainnya, sedang beristirahat untuk memulihkan tenaga, sekaligus menikmati pemandangan alam sekitar yang begitu memanjakan mata.
Sekitar satu setengah jam setelahnya, usai membangun tenda dan mengamankan barang bawaan masing-masing, semua partisipan beserta dosen-dosen pendamping dikumpulkan di satu tempat untuk pembinaan lebih lanjut.
Barulah kemudian, mereka semua berpencar untuk mencari tanaman khusus yang menjadi tugas dan tanggung jawab kelompok masing-masing. Sementara itu terjadi, Basel dan Pak Anva malah duduk-duduk santai di suatu dataran berumput yang agak curam, tidak jauh dari lokasi tenda mereka berdiri.