Dari terang menjadi redup, dari redup menjadi gelap gulita. Entah berapa lama waktu yang terlewat, karena tak ada apa pun yang terlihat selain warna hitam.
Tak lama berselang, samar-samar mulai muncul cahaya putih yang bergerak tanpa suara di atas jarak pandangku. Lalu, tepat di sela-selanya, kudengar suara isak tangis seorang gadis yang tak henti-hentinya memanggil namaku dengan histeris.
Nadanya begitu lembut, begitu lirih … seakan menyayat hati. Namun, entah bagaimana, serasa familier. Setelah kuperhatikan baik-baik, barulah aku menyadari, bahwa itu adalah suara sahabat baikku, Ayana, yang tampaknya sedang khawatir akan sesuatu.
Ingin sekali kubalas kata-katanya, ingin sekali kulihat wajahnya, agar aku bisa menenenangkannya dan berkata bahwa ... “aku baik-baik saja”.
Namun sayangnya, jangankan bicara, bahkan sedikit pun aku tak bisa bergerak, walau hanya sekadar menjentikkan seujung jari. Jadi, aku pun tak punya pilihan lain selain terdiam pasrah menerima keadaan.
Tak lama kemudian, suara tersebut perlahan mulai menghilang. Lalu diikuti kemunculan kumpulan rasi cahaya berbentuk spiral, disertai dengan suara-suara lain yang terdengar seperti logam. Kini kutahu, di mana tepatnya aku berada sekarang. Meski pikiran ini tersadar, namun raga ini berkata sebaliknya.
Jujur saja, keadaan ini mulai membuatku kesal. Bagaimana rasanya mengetahui segala sesuatu tanpa bisa berbuat apa-apa, membuatmu tampak seperti makhluk yang tidak berguna. Akan tetapi, beginilah adanya.
Pada situasi di mana tak ada harapan untuk hidup kecuali atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa, diri ini hanya bisa pasrah menerima takdirnya, sebagai bentuk dari rasa syukur dan tanggung jawab. Kemudian, segalanya mendadak jadi gelap, membuatku kini tak dapat mendengar suara apa pun lagi.
Pada hari itu, aku serasa bermimpi panjang. Namun sayangnya, itu bukanlah mimpi yang menyenangkan. Tak peduli bagaimanapun kau berusaha menutup mata, suara-suara teriakan yang dipenuhi oleh rasa takut, jeritan-jeritan yang dipenuhi rasa sakit, akan selalu terdengar dari bayang-bayang orang yang menjadi korban atas insiden ledakan memilukan yang tak lain disebabkan oleh Hauzan.
Pada suatu ketika, kulihat sebuah cahaya yang muncul di penghujung titik horizon. Makin lama sinarnya makin terang menyilaukan. Saat cahaya itu kian dekat, perlahan nampaklah sosok bersahaja yang berdiri di tengah-tengahnya sambil tersenyum ke arahku.
“Ayah ...?” begitulah kata-kata yang terlontar begitu saja dari mulutku. Seakan masih tak percaya dengan apa yang kulihat, aku pun hanya bisa diam, menatap dirinya dalam kekaguman.
Setelah itu, ayah lalu mengulurkan tangan kanannya ke arahku, seolah berniat ingin mengajakku pergi ke suatu tempat. Tanpa berpikir panjang, kuraih uluran tangan itu dan seketika semuanya berubah menjadi cahaya putih yang menyilaukan, hingga memaksaku menutup rapat kedua mata ini.
Saat kucoba membuka mata, cahaya putih yang terang itu perlahan berubah menjadi sebuah ruangan dengan banyak lampu putih dan orang-orang berpakaian serba hijau yang seperti kebingungan dalam menangani sesuatu.
Ketika kutatap dengan cermat, barulah aku sadar, kalau saat ini, aku sedang berada di ruang operasi. Mereka memakai masker dan membawa sesuatu seperti setrika kejut kecil di tangannya. Tak lama kemudian, mereka pun menghela napas panjang, seolah baru saja melewati saat-saat yang kritis.
Pikiranku masih kacau, pandanganku masih kabur, tubuh yang kini dipenuhi oleh perban ini, seolah mati rasa. Rasa kantuk yang tak tertahankan ini, mendadak muncul San memaksaku kembali untuk menutup mata.