Adegan mengejutkan yang terjadi pasca Basel siuman, membuat semua orang di ruangan itu seketika membisu. Bagaimana tidak? Kemungkinan terburuk yang pernah disinggung oleh Dokter Filozeki, yakni potensi Basel terkena amnesia, kini jadi kenyataan pahit yang memprihatinkan.
"Mbak ini ... siapa ya?" tanya Basel agak pelan, seraya menatap Ayana dengan wajah polos.
Ayana pun terkejut, hendak bertanya, “Bas? Apa yang kamu—” namun tiba-tiba kalimatnya terhenti. Ia teringat jelas peringatan Dokter Filozeki soal potensi yang timbul akibat gegar otak yang dialami Basel.
Tak lama, Ayana pun tersadar dari lamunannya dan kembali melihat Basel yang menatapnya dengan polos. Hatinya mulai terasa perih, menyadari bahwa pujaan hatinya akan mengalami hal yang paling ditakutkannya.
“Bas, jangan-jangan ... kamu ...?” gumam Ayana seakan tak percaya, air mata seketika menetes deras membasahi wajahnya.
“Eh? Kok ... Mbaknya ... nangis?” tanya Basel pelan, dengan nada yang dibuat-buat polos.
“Ah, maaf! Sepertinya saya salah orang, permisi!” jawab Ayana tersenyum kecut sambil berusaha mengusap air matanya, lalu berpaling keluar ruangan. Langkah kakinya terasa berat, seolah menyuarakan isi hatinya.
“Eh, Mbak?” sapa Basel kembali, namun ia tak mencoba menghentikan kepergian Ayana.
Pada hari itu, Ayana menangis tersedu-sedu di luar ruangan. Della, Diana dan Shinta pun kemudian menyusul, mencoba menghibur dan menguatkan hatinya. Dari dalam, Basel bisa mendengar isak tangis Ayana yang pilu, seolah setiap tetes air mata itu adalah belati yang menusuknya.
Sejujurnya, aku merasa bersalah. Tak seharusnya orang sebaik dia menerima perlakuan seperti itu. Akan tetapi ... aku sudah memutuskan. Ya, inilah yang terbaik. Dengan begini, aku tak perlu lagi mengkhawatirkan hal lain.
Masalahnya sekarang adalah ... ponselku sudah rusak dan menghilang entah ke mana, usai kubuang begitu saja karena kesal saat mengejarnya.
Aku perlu menyusun rencana baru yang lebih efektif, mengingat variasi gerak dan senjataku yang masih jauh dari kata sempurna, bahkan sangat sederhana dan terbatas.
Tapi pertama-tama, aku perlu menipu semua orang agar mereka percaya, bahwa aku hilang ingatan dan tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, aku bisa kembali bergerak bebas seperti dulu, tanpa harus menyeret mereka ke dalam bahaya yang mengancam.
Maka, dimulailah sandiwara itu. Hari-hari berikutnya di ruang perawatan khusus menjadi panggung bagi Basel. Pada tiap tarikan napas dan ekspresi polos yang ia buat, makin memperkuat keyakinan orang-orang di sekitarnya bahwa ingatannya benar-benar telah lenyap.
[19 Desember 2025] Ruang Inap Basel - 9:22 WIB
Hasil pemeriksaan kondisi kesehatan Basel dalam beberapa hari terakhir pasca siuman, menunjukkan kemajuan yang pesat. Seolah tubuhnya turut mendukung sandiwara besar yang ia mainkan.
Kali ini, ia bahkan sudah bisa duduk sendiri, meskipun gerakannya masih terbatas. Sementara Ayana, meskipun hatinya terpukul menerima fakta bahwa pujaan hatinya terkena amnesia, namun nyatanya ia tetap setia menemani Basel pada tiap waktu senggangnya.
Pada suatu ketika, mulai timbul kegelisahan pada hati Basel. Ada sesuatu yang perlu ia pastikan, sesuatu yang krusial dan berpotensi untuk menganggu atau justru memuluskan alur rencananya di masa mendatang.
“Eh, Bi ... boleh tanya sesuatu nggak?” tanya Basel, menatap Bibi Lara yang sedang membereskan meja nakas di samping tempat tidurnya.
“Boleh. Mau tanya apa, Bas?” balas Bibi Lara lembut, sambil tersenyum.
“Umm, kira-kira ... Bibi liat HP Basel nggak?” tanya Basel, mencoba terdengar penasaran namun acuh tak acuh.
“Hah? HP? Nggak tuh, tapi ....” Jawab Bibi Lara agak menggantung, menatap keponakannya dengan heran.
“Tapi ...?” tagih Basel dengan wajah polos.
“Perasaan kamu lagi hilang ingatan deh. Sama keluarga dan teman sendiri aja kamu lupa. Tapi kok kamu bisa inget kalo punya HP?” sambung Bibi Lara kembali bertanya, tatapan matanya sedikit menyelidik.