[15 Desember 2025] Rumah Sakit Umum Kota Malren - Ruang Perawatan Khusus
Dalam kegelapan yang pekat, ada bisikan. Awalnya, hanya desiran tak jelas, seperti angin yang lewat di antara dedaunan kering. Namun, perlahan, bisikan itu membentuk suara. Suara-suara yang familiar, namun entah mengapa, terasa begitu jauh, terhalang oleh selubung tebal yang membungkus kesadarannya.
Antara sadar dan tidak sadar, Basel tidak tahu, sudah berapa lama ia berada di sana. Waktu adalah konsep yang kabur dan tak berarti. Dinginnya bantal, tekanan selang infus di tangannya, dan bunyi monoton dari mesin yang terus-menerus mendampinginya, "beep… beep… beep," irama itu seolah menjadi detak jantung keduanya, pertanda bahwa ia masih hidup.
Basel mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa berat dan kaku, tak mau menurut. Menjadikan upayanya sia-sia. Menghadirkan rasa frustrasi yang membuatnya ingin berteriak, memanggil nama seseorang, lalu menanyakan banyak hal. Akan tetapi, tak ada suara yang keluar, selain desahan lemah yang nyaris tak terdengar.
Lalu, mulai tercium aroma teh yang familier. Bukan teh rumah sakit yang hambar, tapi teh khas racikan Paman Banin, yang selalu diseduh setiap pagi di rumah. Itu adalah bau yang membawa serta kenangan, kehangatan, dan rasa aman. Sebuah kerinduan menusuknya.
"Bas?" Paman Banin terkejut.
"Basel! Nak, kamu bisa denger nggak?" sahut Bibi Lara lirih, memanggil keponakannya dengan suara kepedihan yang menusuk hati.
Basel ingin menjawab, dan bilang, "ya, aku mendengarnya." Tapi bibirnya tak bergerak, suaranya terperangkap. Ia merasa sebutir air hangat menetes di pipinya, diikuti oleh usapan lembut. Keringat? Atau air mata? Miliknya atau milik Paman Banin? Ia tak tahu.
Di tengah perjuangan untuk memahami, potongan-potongan ingatan mulai bermunculan, seperti kilatan petir di kegelapan malam. Sebuah toko roti ... bau manis ... Ayana berlari di sampingnya, ketakutan. Itu ... adalah ledakan pertama. Suaranya memekakkan telinga, anginnya menghancurkan, seketika membuat tubuh Basel terpental, dan kemudian ... gelap.
Sedetik kemudian, ledakan lain menyusul, lalu memperlihatkan sosok Hauzan yang menyeringai dari kejauhan. Rasa sakit seketika menjalar di kepala Basel. Tubuhnya terasa remuk, kulitnya terasa perih, menciptakan kebingungan di tengah kepingan ingatan yang buram.
Basel pun berusaha memokuskan pendengarannya, kemudian mulai mendengar suara lain yang terdengar seperti siaran berita di televisi.
"... kepolisian Kota Malren masih memburu buronan kelas atas, Hauzan, yang diduga menjadi dalang di balik dua ledakan teror di kota ini. Ledakan kedua, yang terjadi hanya sepuluh menit setelah ledakan pertama, telah menewaskan Satria, salah satu petugas kepolisian, serta melukai belasan warga sipil lainnya yang ...." Demikian berita yang didengar oleh Basel.