[31 Desember 2025] Kediaman Basel - 8:12 WIB
Tak terasa, akhirnya hari yang dinantikan pun tiba. Hanya berselang sehari sejak kejadian pengakuan memalukan di sisi samping rumahku waktu itu, kini aku harus menghadapi "ritual apel" yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang yang baru menjalin hubungan.
Ya, jujur saja, kencan ini ... mungkin cukup seru. Atau barangkali, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku juga sangat menantikannya.
Namun, ketika aku mengingat kembali semua yang telah lalu, entah kenapa ... rasanya terlalu tenang. Segala perasaan tak menentu ini, perlahan menjalar dan mempengaruhi saraf-saraf di otakku.
Tanpa sadar, aku pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kulakukan di sini? Apakah boleh aku merasakan semua perasaan senang ini? Apakah ini ... adalah hal yang benar untuk dilakukan?
Beragam pertimbangan yang bergejolak dalam pikiranku, perlahan mulai membuatku bimbang, mendatangkan rasa sesak di dadaku. Akan tetapi, semua itu seketika buyar ketika Ayana—kekasih baruku—tiba-tiba muncul di hadapanku.
Diantar oleh ibundanya, ia turun dari sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Senyum cerah dan tawa riangnya, seolah menghapus awan mendung di benakku.
Gadis cantik itu mengenakan gaun musim panas berwarna cerah yang membuatnya tampak semakin memesona, sepasang sepatu kets putih di kakinya yang jenjang, siap untuk menjelajahi taman hiburan. Di sampingnya, ibunda Ayana juga ikut mengantar, melayangkan senyuman hangat ke arahku.
“Bas! Aduh, maaf ya aku telat!” sapa Ayana terengah-engah, sedikit berlari mendekati Basel.
“Tadi masih bantu Bunda buat nyiapin makanan untuk bekal kita nanti,” imbuhnya menambahkan.
Basel tersenyum tipis, rasa tegangnya sedikit mengendur melihat tingkah Ayana yang selalu bersemangat.
"Nggak papa Ay, aku juga barusan nyampek kok," sahutnya menenangkan, sambil mengamati raut wajah Ayana yang memerah tipis karena terburu-buru.
“Oh iya, kamu udah sarapan, Bas? Mau nyicip bekal kita sekarang?” ajak Ayana, matanya berbinar, menunjuk keranjang bekal di tangan ibunya.
"Udah, nanti aja. Lagian, tadi aku udah sarapan kok!" Basel menggeleng pelan, ia memang sudah makan, tapi bukan karena nafsu, melainkan demi menjaga staminanya yang belum pulih sepenuhnya.
Bunda Ayana—seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat— menatap Basel lekat-lekat. "Ooh, jadi kamu anak yang namanya Basel itu ya. Aya udah sering cerita soal kamu, katanya kamu udah banyak berjasa buat dia," ucapnya sambil mengangguk pelan.
Basel pun merasa sungkan usai mendengar pujian itu, lalu berkata, "Ah, nggak, Te! Justru malah Aya yang sering bantu Basel, bahkan dia juga rela nemenin Basel sewaktu masih di Rumah Sakit sampek sembuh," sanggahnya mencoba merendah.
Bunda Ayana pun kembali tersenyum, lalu tangannya menepuk bahu Basel lembut seraya berkata, "dulu Aya sering bolak-balik ke Rumah Sakit buat jenguk kamu. Tante sempat mau jenguk ke dalam, tapi berhubung ada batasan jumlah pengunjung, makannya Tante cuma bisa titip salam aja ke paman sama bibimu. Maaf ya, Bas.” Nadanya penuh empati.
"Oh, nggak papa Te. Lagian Basel udah sembuh kok!" balas Basel mencerahkan, meskipun masih ada sedikit rasa nyeri di pergelangan tangannya yang masih kaku.
"Beneran udah baikan? Kok cepet banget? Rasanya kayak baru kemarin aja," canda Bunda Ayana mengamati wajah Basel, seolah mencari sisa-sisa kelelahan.
Sementara Ayana yang sudah tak sabar, segera menarik-narik lengan Basel. "Hehe, ya udah Bun! Kita berangkat sekarang! Soalnya udah ada janji nih sama wahana-wahana seru!" ujarnya tampak semringah.
Ibunda Ayana pun hanya bisa menggeleng pelan sambil menghela napas, melihat kelakuan putrinya, lalu mempersilakan Basel untuk segera naik. "Ya udah. Ayo Bas, sini, masuk!"
"Baik, Te!" angguk Basel sopan. Namun tiba-tiba, Bibi Lara datang dari balik pintu rumah untuk menyambut keberangkatan keponakannya.
"Eh, Ibu ... baru dateng? Ayo sini, mampir dulu bentar!" ajak Bibi Lara mempersilakan dengan ramah.
"Oh iya, Bu! Makasih! Lain kali saya mampir! Ntar kalo kesiangan dikit takutnya macet, Bu!" tolak Bunda Ayana dengan sopan.
"Oh, begitu! Ya sudah, saya titip keponakan saya ya, Bu!" balas Bibi Lara sambil tersenyum ramah, lalu bersalaman dengan Bunda Ayana.
"Bi, Basel berangkat dulu ya!" pamit Basel sambil melambai ke arah Bibi Lara.
"Iya, hati-hati di jalan!" balasnya singkat.