Basel baru saja akan berjalan keluar, usai berhasil melumpuhkan segerombolan kriminal di gedung tua itu. Puing-puing berserakan, asap tipis masih menggantung di udara, dan bau amis samar memenuhi indra. Namun tanpa diduga, seorang gadis cantik yang tampak putus asa, tiba-tiba saja bangkit dari bawah meja yang terbalik dan muncul di belakang Basel. Matanya yang sendu, menatap punggung Basel dengan penuh kerinduan dan harapan.
“Bas ... Bas ... aku ... takut banget, Bas!” panggil Ayana lirih, suaranya sedikit histeris dan gemetar, memeluk Basel erat-erat, air matanya mulai tumpah membasahi jaket Basel, sesaat setelah Basel melepaskan ikatan pada tangan dan mulutnya.
"Aya? Kamu ... kok bisa ada di sini?” tanya Basel, suaranya dipenuhi keterkejutan dan keheranan, tangannya terangkat membalas pelukan Ayana, namun matanya masih memindai sekeliling.
"Orang-orang itu ... nyulik aku, Bas! Katanya ... aku mau dijual! Untung kamu beneran datang, kalo enggak ... aku ... aku ....” Ujar Ayana, isakannya semakin keras, tubuhnya sedikit bergetar hebat karena ketakutan. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di dada Basel, guna meredam sisa-sisa trauma yang baru saja dialaminya.
“Aya, Aya ... kamu tenang, yah? Kamu udah aman sekarang,” hibur Basel, suaranya lembut namun tegas, mencoba menenangkan. Tangannya terulur mengusap air mata di wajah Ayana yang merah merona karena menangis dan bahagia di waktu yang bersamaan.
“Uh-hum!” angguk Ayana pelan, suaranya masih tercekat. Tangannya yang lentik memegang erat tangan Basel di pipinya, seolah tak ingin lepas darinya, mencari kehangatan dan rasa aman.
"Ini bukan tempat yang cocok buat ngobrol. Ayo keluar dulu!" ajak Basel, sambil mengusap lembut kepala kekasihnya, jemarinya membelai rambut Ayana yang sedikit kusut. Ayana kembali membalas dengan anggukan pelan, namun masih tak mau melepaskan tangan kekasihnya, seolah takut jika sedetik saja ia melepasnya, Basel akan menghilang.
Dengan perlahan, Basel membimbing Ayana bangkit, lalu berjalan keluar dan menjauh dari bangunan tua itu, guna mencari tempat yang lebih aman. Aroma mesiu dan kloroform masih tercium samar di belakang mereka.
[5 Januari 2026] Suatu Halte Bus - 16:15 WIB
Setelah berjalan cukup jauh, setidaknya sampai sosok mereka tidak terlihat dari gedung tua itu, dan napas Ayana mulai teratur, Basel akhirnya memutuskan untuk berhenti di sebuah halte bus tua yang sudah tak terpakai. Bangku kayu yang usang menawarkan tempat duduk, dan atapnya yang sedikit berkarat, memberikan perlindungan dari sisa terik matahari sore. Keheningan lokasi itu, jauh dari keramaian kampus, menciptakan suasana yang intim namun juga melankolis.
“Oke, jadi ... gimana ceritanya rencana pengejaran seorang penjahat, bisa berujung sama cerita penculikan gadis kayak gini?” kata Basel, suaranya datar namun ada nada serius di dalamnya. Matanya menuntut penjelasan, menatap Ayana yang kini duduk sambil memeluk erat lengannya di sampingnya.
“Tadi, sewaktu kamu tiba-tiba aja kabur dan ngilang gitu aja, aku jadi khawatir banget karena kamu enggak balik-balik,” Ayana memulai ceritanya, suaranya masih sedikit serak, matanya menatap kosong ke depan, mengingat kembali kejadian mengerikan itu.
"Aku mutusin buat nyariin kamu di sekitar kampus, berharap bisa nemuin kamu. Atau setidaknya tahu kenapa kamu buru-buru pergi. Tapi di tengah jalan, tau-tau ada mobil van yang ngebut dan hampir nabrak aku," lanjutnya.
"Oh iya?" tanya Basel seakan tak percaya.
"Iya, Bas. Pengemudinya marah-marah, terus tanpa peringatan, mereka langsung narik aku dan masukin aku ke mobil gitu aja, dan akhirnya berakhir di tempat tadi," imbuhnya, nada suaranya kembali sedikit panik, mengingat cengkeraman kasar para penculik.
"Aku nggak nyangka kalo ternyata mereka bakal nyulik aku cuma buat jadi jaminan tutup mulut rencana busuk mereka," ungkap Ayana mencoba menenangkan diri, namun matanya mulai berkaca-kaca, menatap sayu ke arah Basel.