Aimer

efde
Chapter #2

(1) Yang Datang Melampaui Harapan

Seperti apa manusia yang hidup. Oke, aku tak menanyakan ciri seperti bernapas, berkedip, bergerak, dan ber- lainya. Maksudku, hmm, bagaimana mengatakannya. Tentu lawan dari hidup adalah mati. Jadi yang hidup adalah yang tidak mati. Terima kasih diriku, tidak memperjelas sama sekali. Begini, terkadang kita mengasosiasikan hidup dan mati untuk, bagaimana menggambarkannya, mensifati manusia mungkin. Seperti perkataan, ‘orang itu tampak lebih hidup’, atau, ‘dia benar-benar seperti orang mati”. Ah, ya. Kita manusia, tak jarang menggunakan istilah hidup dan mati, untuk menggambarkan gairah.

Gairah berbanding lurus dengan daya hidup, dan ya, berbanding terbalik dengan kematian. Dengan kata lain, manusia-manusia yang bergairah adalah manusia yang hidup, sebab memancarkan daya hidup. Kita mungkin juga bisa menyebutnya dengan energi, atau cahaya, atau nyala, atau tai kuda, atau apalah. Pengertian ini memang belum dicantumkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia hingga tahun ini. Tapi kurasa seseorang akan segera menambahkannya. Tentu menjadi hidup adalah hal yang baik. Siapapun lebih suka dianggap hidup daripada mati, bukan. Dan hidup itu menular. Manusia-manusia yang hidup ini, sadar atau tak sadar, melepaskan energi yang kemudian diterima sekitarnya. Makanya kita mengenal idiom, ‘menghidupkan suasana’. 

Tapi kembali ke pertanyaanku. Seperti apa, tidak, apa penyebab manusia hidup. Dengan kata lain, darimana mereka memiliki gairah yang meluap-luap itu. Aku mau tidak mau bertanya-tanya. Jika menjadi hidup berkaitan dengan aktivitas fisik, aku rasa kegiatanku cukup banyak. Jika variabelnya adalah sifat rajin atau disiplin, aku yakin aku punya keduanya. Jadi, kalau ia tak terkait dengan hal-hal itu, lalu apa. Kalau ia berkaitan dengan faktor internal saja, kurasa orang sepertiku bisa dikategorikan sebagai zombi bermata ikan. Tapi karena ia menular, aku percaya akan adanya faktor eksternal. Masalahnya, hidup yang ditularkan oleh orang lain, seringkali bersifat sementara. Ya, sekedar suasana. Mungkin memang sejauh itulah hidup, dalam pengertian ini, dapat dibagi.

Bukan berarti aku tak puas dengan hidupku. Tapi, jika aku hidup, tapi tak terasa seperti hidup, hingga benar-benar nanti tak lagi hidup, kurasa itu bukan jenis kehidupan yang bisa kubanggakan. Aku tak punya waktu untuk iri pada kehidupan orang lain, semata hanya penasaran. Yah, kalau memang tak ada jawabannya, bukan berarti masalah besar untukku juga. Aku akan tetap melanjutkan hidup bagaimanapun juga. Hanya saja, kalau saja ada sesuatu di luar sana. Entah apa dan di mana.

***

 

“Terimakasih telah berbelanja di Mina Mart, silakan datang kembali.”

Aku memberikan senyum terbaikku, sambil mengatupkan kedua telapak tangan. Sang pelanggan hanya melengos pergi. Antrian lengang.

“Wow, senyumanmu benar-benar jadi lebih baik.”

“Terima kasih. Aku berlatih keras untuk itu.”

Aku segera kembali ke mode standarku, wajah datar yang tak menyiratkan tanda-tanda kehidupan. Aku mengakuinya setiap kali melihat cermin. 

“Kalau saja kamu selalu memasang muka seperti tadi, mungkin saja akan ada seorang gadis manis yang akhirnya jatuh cinta padamu.”

“Itu mustahil.”

“Yang mana? Mukamu, atau gadis yang akan jatuh cinta?”

“Dua-duanya.” Jawabku sambil bergeser. 

Mbak Dina, pegawai senior yang bertugas setelahku, mengambil alih meja kasir.

“Kamu ini benar-benar manusia yang gersang ya.”

“Terima kasih pujiannya. Aku pamit.”

“Eh, Raka. Jangan lupa sebelum pulang, tolong bantu Adi menyusun barang-barang yang baru datang di gudang.”

“Siap, mbak.”

Aku melengos ke belakang. Menuju ke gudang untuk melaksanakan tugas terakhir, sebelum bersiap-siap untuk pulang. Di gudang, mas Adi, pegawai senior lainnya, sedang sibuk merapikan barang. Mengelompokkannya agar nanti lebih mudah mengeluarkannya saat stok barang yang ditampilkan di ruang belanja mulai habis. Tentunya minyak goreng seratus liter perlu dipisahkan dari sabun pembersih lantai dengan wangi cemara, bukan.

“Sudah mau pulang, Raka?”

“Iya mas. Ini barang-barang MCK harus ditaruh di mana?”

“Oh, tolong kelompokkan dengan yang lain di belakang.”

“Siap, mas.”

Sambil mengangkat dan memindahkan kardus-kardus berisi sabun mandi, aku memikirkan perkataan mbak Dina tadi. Manusia yang gersang ya. Bukan pertama kali perkataan serupa ditujukan padaku. Aku adalah anak muda yang mengambil kerja di akhir pekan. Tidak mengikuti satupun kegiatan di kampus selain perkuliahan. Dan tidak punya kegiatan khusus di waktu luang. Daftar teman pun bisa disebut habis dalam satu helaan napas. Pacar? Maaf, kata yang dicari tidak dapat ditemukan. Aku tak bisa membantah anggapan itu. Setidaknya, ‘gersang’, perumpamaan yang terdengar menarik.

Setelah kardus terakhir, aku menghampiri lokerku. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengecek kembali semua barang pribadi yang kutaruh di tempat umum sebelum beranjak pergi. Hanya ada sebuah novel, dompet, dan ponsel lipat, sama seperti terakhir kali aku meletakkannya. Kehilangan memang tak mengenakkan, tapi kalau barang bertambah dengan tiba-tiba, tentu akan menyeramkan. Kukenakan jaket parka yang kubeli enam bulan lalu menutupi seragam kerjaku. Bukan karena malu, tapi seragam toko swalayan ini, kaos polo dengan warna hijau mencolok, akan membuat orang-orang di jalan suka tak suka memperhatikanku. Dan aku tak butuh perhatian yang tidak perlu sepanjang jalan. Aku memeriksa gudang untuk yang terakhir kali, berpamitan pada mas Adi, kemudian berjalan keluar sambil memasang tas selempang di bahu.

Sayangnya, tak ada pintu belakang di swalayan tempatku bekerja ini. Sehingga pegawai yang datang dan pulang, mau tak mau harus melewati ruang belanja toko. Aku hendak melintas melewati lorong bagian makanan ringan, ketika kulihat seorang gadis sedang kebingungan di depan jajaran aneka keripik. Aku mengenalnya, gadis ini selalu datang di Sabtu sore, bertepatan dengan berakhirnya jam kerjaku. Ia berambut bob pendek dan terlihat selalu menenteng tas jinjing. Aku tak pernah benar-benar memperhatikannya, tapi setelah sebulan melihatnya di waktu yang sama, ia telah menjadi semacam penanda bagiku. Gadis itu adalah waktu pulangku di hari Sabtu. Aku memilih untuk tidak mengganggunya, dan mengambil jalur yang lain.

Di meja kasir, mbak Dina sedang sibuk melayani seorang ibu berkerudung merah muda, yang diladeni sedang sibuk meladeni rengekan anaknya. Kuputuskan untuk tidak mengganggu waktu menyenangkannya itu dengan memberi salam perpisahan. Aku melengos keluar. Sesampainya di pelataran parkir, setelah mengeluarkan kunci motor dan melempar-lemparkannya, keinginanku untuk segera pulang tiba-tiba menghilang. Aku berbalik, dan memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang disediakan di depan toko. Aku mengambil posisi duduk dengan nyaman. Belum ada pelanggan yang menempati bangku lainnya. Tak ada yang kulakukan, selain melamun memandangi jalanan yang mulai ramai. Pemandangan ini menggambarkan satu sisi kehidupan, tapi tepat di saat seperti ini, aku tidak yakin mereka benar-benar merasa hidup.

Aku merenungkan pemikiran yang beberapa hari ini menggangguku. Sebagai seseorang di usiaku, aku sama sekali tak merasa telah menyia-nyiakan hidup. Walau mungkin tak sama dibandingkan orang pada umumnya, kondisiku saat ini bisa dibilang baik. Aku bisa kuliah. Tak lagi bergantung pada orang tua, walaupun hal itu membuatku harus mengkompensasi banyak hal. Dan, aku tak tahu apa ini bisa disebut sebagai impian, tapi yah, aku punya rencana untuk masa depan. Meski begitu, rasanya entah dimana, ada lubang yang perlu kuisi. Jo, teman satu kamarku, sering mengatakan bahwa aku terlalu sibuk dan kurang bersenang-senang. Tapi kurasa bukan itu masalahnya. Aku memang mengambil beberapa kerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhanku. Tapi bekerja di akhir pekan adalah pilihan, karena aku memang tak punya kesenangan untuk dilakukan. Dan aku tidak masalah dengan itu. Setidaknya diriku sendiri merasa seperti itu.

Aku tak menjalin banyak pertemanan di kampus, karena memang tak ada waktu untuk itu. Segalanya bagiku harus sesuai dengan prioritas, dan memiliki banyak teman tak ada di urutan teratas. Walau begitu, aku juga memiliki beberapa hal yang bisa kusebut sebagai hobi. Aku punya satu rak penuh berisi novel dan buku-buku yang kuanggap menarik, yang terus bertambah tiap bulannya. Dan akhir-akhir ini, setelah keuanganku mulai agak stabil, aku juga pergi ke bioskop. Dengan frekuensi tak tentu, dan tentu hanya sendiri dan tidak di akhir pekan. Meski begitu, orang-orang terdekat di sekitarku sering menepuk pundakku dan mengatakan hal-hal semacam, ‘kau tampak seperti mayat’ dan ‘carilah kehidupan’. Aku yang sejak mulanya tak peduli, mau tak mau jadi memikirnya dengan sedikit serius. Karena mungkin di dasar hatiku, aku sendiri menginginkan sesuatu.

Pintu toko terbuka, si gadis berambut bob pendek keluar. Hal lain yang kusadari darinya adalah, sepertinya, ia hampir tak pernah membeli hal lain selain makanan ringan. Ia juga tampaknya selalu menolak kantong plastik dan lebih memilih memasukkan belanjaannya ke tas jinjing. Si gadis waktu pulangku ini berjalan lurus, tampak ingin menyeberang jalan. Caranya berjalan seakan ia melakukannya sambil bersenandung. Aku jadi iri dengan betapa ia hidup. Aku melihat ke arah yang ditujunya. Sebuah kafe bernama asing, Retour, yang ku tahu baru dibuka tiga bulan lalu. Aku kenal dengan dua dari pegawainya yang sering bergiliran membeli bahan kebutuhan kafe di toko ini. Kami berkenalan, karena perasaan akrab sebagai sesama pegawai di tempat kerja yang berdekatan. Kalau kuingat lagi, sebelumnya aku juga pernah melihat si gadis berjalan ke kafe itu setelah keluar dari sini. Apa ia memang rutin ke sana setiap Sabtu sore.

Sebuah gagasan muncul di benakku. Aku tiba-tiba jadi tertarik berkunjung ke kafe itu. Aku belum pernah berkunjung ke sana sekalipun. Pada dasarnya, aku memang hampir tak pernah mengunjungi kafe manapun. Dikarenakan alasan yang sudah jelas. Dalam setahun terakhir, kurasa jumlah kunjunganku bisa habis dihitung jari-jari satu tangan. Dan aku belum pernah ke kafe sendiri, ditambah tanpa tujuan yang jelas. Yah, aku akan membuat pengecualian hari ini. Selalu ada kali pertama untuk segala hal bagi setiap orang. Beruntungnya, aku membawa novel yang baru mulai kubaca. Keputusanku membulat. Sepenuh hati, aku menenteng lagi tasku, dan berjalan ke arah kafe Retour di seberang jalan. Menyusul si gadis berambut bob pendek. Tunggu, kalau seperti itu, kesannya aku jadi seperti penguntit.

Kafe ini memiliki dua tingkat, dan cukup besar, serta selalu tampak ramai di akhir pekan. Aku tak tahu banyak soal arsitektur atau nilai artistik bangunan, tapi kafe ini memang tampak menarik. Pelataran parkirnya cukup luas, di halaman luar ada tiga meja berkanopi dengan empat bangku. Nama kafe, Retour, terpampang di atas dengan beberapa lampu neon terpasang sebagai pencahayaan di waktu malam. Temboknya adalah susunan rapi bata merah, dan ada beberapa tanaman hias dalam pot biasa dan gantung yang tampak terawat, diletakkan seolah menyambut pengunjung. Kafe ini memberi kesan kasual yang kuat. Aku takkan pernah punya pikiran untuk memasuki kafe seperti ini setahun yang lalu.

Aku membuka pintu kafe. Bentuk kafe ini sendiri adalah persegi panjang, pintu kafe lebih condong ke kanan, menjadikan sisi kiri bangunan lebih panjang. Ruangan dalam kafe tampak luas. Di ujung sisi kiri dalam kafe ada panggung kecil, yang bahkan dilengkapi dengan ruang belakang panggung sederhana. Sepertinya ditujukan untuk pertunjukan musik di malam hari. Ada cukup cahaya matahari yang masuk untuk menghindari kelembaban. Dinding kafe dihiasi beragam poster dan barang-barang antik. Meja bangkunya bervariasi, ada beberapa kursi dan meja kayu lebar tanpa plitur yang tampak dikhususkan untuk pengunjung yang datang berombongan, ada pula meja-meja dan kursi-kursi dari bahan olahan daur ulang. 

Tepat menghadap pintu di seberang, dekat dengan tangga menuju lantai dua, meja kasir berdempetan dengan meja barista menghadap ke pintu, mungkin agar dapat langsung menyadari dan menyambut pelanggan yang datang. Meja barista dipenuhi dengan set cangkir, berbagai alat untuk menyeduh kopi, dan tentunya berbagai jenis kopi dalam toples kaca. Di belakangnya, ada pintu yang tampaknya menuju ke dapur. Beruntungnya, dua orang yang kukenal sedang bertugas saat ini. Lia tampak bersiaga di meja kasir, dan Rio sedang sibuk menyeduh kopi. Aku pun menghampiri mereka.

“Wah, Raka, tumben datang ke sini.” Lia menyadari kedatanganku.

“Halo Lia, Rio.”

“Ada angin apa ini, tiba-tiba pegawai swalayan seberang datang berkunjung.” Rio menimpali.

“Anggap saja studi banding. Kalian sudah sering berkunjung ke toko kami. Sekarang giliranku berkunjung kemari.”

Mereka tertawa.

“Kalau begitu, mau pesan apa kak?” Lia menyodorkan buku menu padaku.

Aku membolak-balik buku menu. Sebagai orang yang tidak akrab dengan tempat seperti ini, aku lebih suka mengambil pilihan aman. Aku yakin menu yang kucari selalu ada di kafe manapun, tapi aku perlu untuk memastikannya. Ketemu.

“Emm, Caffe Latte satu.” Pesanku.

Caffe latte satu. Itu saja?”

Aku mengenal jenis pertanyaan ini. Sebuah pertanyaan yang akan diucapkan pegawai mana saja pada pelanggan. Tujuannya jelas untuk menyerang psikologi pelanggan, tentu agar merasa tidak enak, malu, dan akhirnya menambah pesanan. Aku tidak akan terjebak.

“Iya, itu saja.”

Lia menyebutkan nominal, aku menyerahkan uang pas. Kafe tampak mulai ramai. Aku memindai ruangan, mencari titik yang kosong dan nyaman. Titik sesuai kriteria ditemukan. Satu meja kosong di salah satu sudut yang tak terganggu dengan pemandangan luar dari jendela. Aku hendak berjalan ke sana, tapi perhatianku teralihkan oleh sebuah papan yang diletakkan dekat tangga. Kuputuskan untuk memuaskan rasa penasaranku. Papan berukuran dua kali satu meter ini ternyata memuat berbagai poster acara. Ada jadwal live music di kafe ini, informasi festival dan pameran dalam kota, hingga ajakan kegiatan sosial dan penggalangan dana. Jenis aktifitas-aktifitas yang sayangnya tak pernah ku ikuti, atau belum. Di antara poster-poster itu, ada sebuah poster yang saking tak menariknya, menarik perhatianku.

Poster yang lebih mirip selebaran ini tak memuat banyak informasi. Tampaknya ia adalah semacam pengunguman. Tertulis di bagian atas, yang tampak paling mendominasi, nama pihak yang berkepentingan; KLUB MENIKMATI PUISI. Mengikuti di bawahnya, jadwal kegiatan dan prosedur pendaftaran. 

Hanya itu yang tertera. Tak ada penjelasan lebih detail seperti tujuan klub atau syarat-syarat pendaftaran. Bahkan poster ini tak tampak berusaha persuasif. Aku mengernyitkan dahi, berusaha menerka maksud pengunguman absurd ini.

“Tertarik bergabung?”

Pundakku menegang karena terkejut. Aku menahan keinginan untuk memaki, dan menengok. Seorang laki-laki berambut tipis, yang tampak seusiaku, berdiri memperhatikanku dari belakang.

“Maaf?”

“Aku bertanya, apa kamu tertarik untuk bergabung?” Ia memperjelas pertanyaannya dan menaikkan alis.

“Maksudmu ke Klub Menikmati Puisi ini?”

“Ya, kulihat kau memandangi poster jelek kami. Jadi kupikir kau ingin bergabung.”

“Aku tidak yakin.”

“Oh. Saranku, kau perlu keyakinan kalau memang berniat untuk bergabung, cowok emo.” 

Cowok emo? Apa ia baru saja menjuluki orang asing yang baru ditemuinya. Dan, hei, poniku tidak sepanjang itu.

Setelah mengatakan yang ia mau, laki-laki itu meninggalkanku menaiki tangga menuju lantai dua.

“Dwika!” 

Aku kembali terkejut. Seorang perempuan berkerudung yang baru saja masuk, berseru ke laki-laki sebelumnya yang baru saja menaiki tangga.

“Anak itu tidak pernah mau menungguku.”

Perempuan berkerudung yang sekarang berwajah kesal ini menuju ke arah kasir.

“Selamat sore, Lia, Rio.” Ia tiba-tiba berubah menjadi ramah dan menyapa pegawai.

“Selamat sore, mbak Safira.” Para pegawai membalas sapaannya.

“Siapa saja yang sudah datang?”

Lihat selengkapnya