Ini hari minggu pagi. Raka Himada, diriku sendiri, tiga minggu yang lalu, pasti sedang melayani pelanggan di sebuah toko swalayan di sudut kota. Tapi hari ini aku tidak melakukanya. Tidak, aku tidak dipecat. Tidak mungkin peraih dua kali pegawai teladan sepertiku bisa dipecat, ketidakadilan seperti itu tidak masuk akal. Aku berhenti, lebih tepatnya, mengganti jadwal kerja paruh waktuku. Ya, aku sekarang punya sesuatu untuk dilakukan di akhir pekan. Tiga minggu yang lalu, aku secara resmi bergabung dengan sebuah klub, yang jika siapapun mendengar tentangnya, bisa dipastikan akan mengernyitkan dahi. Klub Menikmati Puisi, itulah nama klub dimana aku menjadi anggota ketujuhnya.
Aku mengatakannya dengan bangga, karena ada beberapa hal tak mudah yang mesti kulalui untuk mendapatkan keanggotaanya. Di hari pertama, Ben, si ketua klub, menyuruhku membacakan puisi di panggung kafe miliknya. Bagi kebanyakan orang, tampil di muka publik secara mendadak adalah neraka. Sayangnya, aku adalah bagian dari kebanyakan orang tersebut. Tapi entah bagaimana, aku berhasil melaluinya. Setidaknya, aku tak membuat kesalahan berarti. Bahkan beberapa penonton, selain anggota klub, turut bertepuk tangan selepas penampilanku. Paling tidak, begitulah penilaian subjektifku. Semua itu berkat senyuman Kin-, dukungan para anggota klub.
Perlu diketahui, aku adalah tipe orang yang akan tidur cepat di malam tahun baru, jenis pribadi yang dimaksud dalam setiap kalimat ‘Siapa yang belum disebut?’, dan contoh individu yang mengambil jalan memutar hanya agar tidak berpapasan dengan orang lain. Maksudku, menemukan kenyamanan di luar ruang pribadi adalah hal yang jarang, terkhusus bagi orang sepertiku. Maka saat ada kemungkinan untuk mendapatkannya, aku jadi merasa perlu memperjuangkanya. Karena itulah, pagi ini aku berada di sebuah taman publik, menenteng alat tulis, dan menyimak interpretasi Safira tentang puisi milik WS Rendra berjudul, ‘Aku Tulis Pamplet Ini’.
“Menurutku, Puisi ini menyuarakan kebebasan berpendapat. Pamplet ini adalah wujud protes Rendra pada orde baru. Beberapa bait di puisi ini menggambarkan keinginan untuk lepas dari pengekangan-”
Begitulah Safira. Setelah tiga minggu dan enam kali pertemuan yang selalu kuhadiri, aku bisa mengatakan telah sedikit memahami karakter tiap-tiap anggota klub kami beserta preferensinya masing-masing. Hal ini adalah salah satu keunikan klub yang menonjol. Tidak, kurasa keseluruhan perihal klub ini memang tak biasa. Di hari pertama, Ben menjelaskan padaku mengenai tujuan klub dan aturan-aturannya. Ia memberiku selembar kertas berisi hal itu dan memintaku mengingatnya baik-baik. Karena reaksiku yang berlebihan, aku jadi malah menghafalnya.
Prinsip utama klub ini adalah menikmati dan mengapresiasi puisi dengan cara yang sederhana dan jujur. Oleh karena itu, siapapun dengan latar belakang apapun bisa mendaftar ke klub ini. Walau pada kenyataannya, Ben tampaknya menerapkan seleksi tertentu untuk menjaring anggota yang menurutnya memang layak. Kudengar dari Dwika, beberapa saat setelah ia dan Safira bergabung, banyak laki-laki yang mencoba bergabung dengan klub untuk mengejar Safira. Aku tidak terlalu mengerti tentang hal semacam itu, mungkin Safira adalah gadis yang terkenal atau semacamnya, aku sendiri tak terlalu peduli. Tapi sebab hal itu, Ben memberiku beberapa tes untuk memastikan intensiku. Yah, aku tak lagi mempermasalahkan soal ini.
Ada tujuh peraturan klub yang tak boleh dilanggar. Ben sendiri tak menyebutkan konsekuensi bagi yang melanggar, tapi melihat sifat Ben, kurasa dikeluarkan adalah pilihan yang masuk akal. Aturan pertama,
‘Dilarang menyebarluaskan perihal klub dengan alasan apapun’.
Satu-satunya media promosi klub ini adalah selembar poster pengunguman di Retour. Tak heran anggota klub ini amat sedikit. Yah, sejak awal klub seperti ini memang tidak akan menarik perhatian orang banyak. Sebelumnya, aku diberitahu bahwa hanya Kina dan aku saja yang mendaftar karena melihat poster di Retour. Lalu bagaimana dengan yang lain. Mereka pastinya punya ceritanya masing-masing, saat ini aku belum mengetahui kesemuanya.
Aturan kedua,
‘Anggota klub dilarang melakukan kegiatan klub di luar jadwal’.
Ben adalah orang dengan pembawaan yang tenang dan selalu bersikap santai, tapi saat menyangkut hal tertentu, ia bisa menjadi sangat tegas dan ketat. Aku pernah tak sengaja melihatnya memarahi Rio, karena membeli susu untuk kebutuhan kafe dengan merk berbeda dari yang ditetapkannya. Sampai saat ini, ia selalu bersikap lembut dan belum pernah memarahi satu pun dari kami di klub. Bukan berarti aku mengharapkannya. Bagaimanapun, aku menghormati Ben. Bukan hanya karena ia mendirikan klub ini, tapi pandangannya dan caranya memperlakukan puisi lah yang paling membuatku terkesan.
“Terimakasih Safira. Caramu membacakan puisi semakin baik, dan interpretasimu menarik. Izinkan aku memberi tanggapan. Kita tahu puisi yang sama bisa memberikan kesan yang berbeda bagi tiap pembacanya. Karena setiap pembaca adalah manusia, yang memiliki perasaan dan cara berpikirnya sendiri-sendiri. Interpretasi dipengaruhi banyak hal, pengetahuan, pengalaman, lingkungan, bahkan situasi dan kondisi saat membacanya. Menurutku, perbedaan itulah yang menarik. Hal itulah yang ingin kulihat dan kudengar dari kalian. Yang kau lakukan tadi, adalah interpretasi atas puisi ‘Aku Tulis Pamplet Ini’, tak salah lagi.
Tapi kau menginterpretasikan puisi ini dengan menempatkan dirimu di tempat sang penyair, atau mungkin lebih buruk, hanya mencoba memahami maksud dan keinginan penyairnya. Yang aku ingin, kau, kita semua, membaca puisi sebagai diri kita sendiri, mengambil kesan untuk diri sendiri, dan membagikannya juga sebagai diri sendiri. Mungkin terdengar egois, tapi menurutku, inilah cara yang paling tepat untuk menikmati puisi”
Terkadang seperti ini, Ben memberikan pandangannya setelah mendengar pembacaan atau interpretasi dari kami.
Safira terdiam mendengarkan. “Begitu ya.” Ia berkata sambil memegang bibir bawahnya. “Maafkan aku.”
“Ah, tidak.” Ben mengangkat kedua tanganya, seperti sedang mencoba menenangkan bocah. “Bukan berarti kau telah melakukan kesalahan. Sebenarnya, ini hanyalah aku yang memaksakan cara pandangku. Walau kuharap, klub ini bisa setuju dan memahami maksudku.”
“Tidak apa-apa, kurasa kak Ben benar. Setelah mendengarnya, aku juga setuju dengan cara pandang seperti itu. Aku akan melakukannya untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya.” Safira tersenyum.
Sepertiku, anggota-anggota lain juga menghormati Ben. Walau aku tak bisa menebak apa yang ada di pikiran pak Slamet dan wanita berkacamata anggota keenam.
Aturan ketiga,
‘Dilarang membawa urusan di luar klub ke dalam klub’.
Anggota keenam klub, yang bergabung dua minggu sebelumku, adalah Noella, alias kak Ella. Ia adalah wanita yang membawa kesan misterius, baik, tapi misterius. Ia membiarkan rambut panjangnya terurai, dan mengenakan kacamata berbingkai kotak. Ia berpakaian seperti baru keluar dari sebuah layar film tahun 90-an. Pembawaannya agak mirip dengan Ben, dan ia memberikan kesan wanita mandiri yang cerdas. Tampaknya kak Ella memiliki suatu hubungan dengan Ben. Sayangnya tak ada yang bisa mengorek informasi darinya. Safira yang tampaknya paling penasaran, terkadang mengambil kesempatan sebelum dan sesudah kegiatan klub untuk bertanya hal-hal pribadi padanya, tapi kak Ella selalu mengelak dan hanya membalas dengan senyuman.
Aturan keempat,
‘Diharapkan untuk tidak membahas tentang hal lain selain puisi dan kegiatan klub di dalam klub’.
Setidaknya saat ini, ada tiga macam kegiatan klub; interpretasi, diskusi, dan pembacaan puisi. Yang dilakukan di dua pertemuan. Pertemuan pertama adalah pada hari Sabtu, yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dari pukul empat sore hingga pukul tujuh, dipotong dengan waktu Maghrib dan Isya’, dan makan malam. Di sesi ini, masing-masing kami akan menginterpretasikan satu puisi atau lebih, yang telah ditentukan oleh Ben, kemudian mendiskusikannya. Ben selalu bertindak sebagai moderator yang mengarahkan setiap kegiatan. Bisa dibilang, tak bisa dipungkiri, ia adalah inti dari klub ini.
Sesi kedua, mimpi burukku di hari pertama, berlangsung dari sekitar pukul setengah delapan dan biasanya berakhir sebelum jam sembilan malam. Kegiatan utama di sesi ini, adalah pembacaan puisi, di panggung Retour, di malam minggu, di depan puluhan pengunjung. Biasanya dua orang anggota klub akan ditunjuk di sesi pertama secara bergiliran. Ben tanpa terkecuali. Kecuali kak Ella, karena alasan tertentu, ia tidak bisa hadir di sesi hari Sabtu. Yang membuatku kesal, menurut penuturan anggota klub lain yang kuketahui di minggu keduaku bergabung, sebelumku, tak pernah ada anggota baru yang disuruh untuk tampil di hari pertama bergabung. Ben sudah meminta maaf, jadi aku tak lagi mengungkit-ungkit hal itu sekarang.
Dan pertemuan kedua, dilaksanakan di hari minggu pagi. Dari pukul tujuh dan biasanya akan selesai sebelum pukul sembilan pagi. Tergantung kondisi dan situasi di tempat. Ya, sesi ini adalah yang paling menarik, karena kami mengadakannya berpindah-pindah di luar. Kami akan mendiskusikan dan menentukan tempatnya di hari Sabtu, untuk kemudian menuju ke lokasi keesokan harinya di hari Minggu. Terkadang kami juga berangkat bersama dari Retour. Kegiatan di pertemuan kedua ini sebenarnya sama saja dengan kegiatan di pertemuan pertama, hanya berbeda pada caranya. Di pertemuan kedua ini, masing-masing kami akan menyiapkan satu puisi, kemudian bergantian membacakanya, lalu menyampaikan interpretasi dari puisi tersebut. Setelah itu, biasanya akan ada sesi tanggapan dan diskusi, sebelum akhirnya ditutup.
Aturan kelima,
‘Selama masih sebagai anggota klub, dilarang untuk mempublikasikan puisi dengan media apapun’.
Aturan keenam,
‘Aturan baru dapat ditambahkan kapan saja’.
Di antara aturan yang lain, aturan kelima terdengar aneh dan memaksa. Aku tak tahu alasanya. Aku pernah menanyakannya pada Ben, tapi ia hanya menjawab kalau ia akan memberitahukan alasannya suatu saat. Untuk aturan keenam, kurasa ia adalah kartu truf Ben sebagai pendiri klub, mungkin untuk menghadapi kemungkinan situasi yang dianggapnya tak baik. Sebagai sosok pemimpin, Ben mungkin adalah tipe yang lalim dan otoriter. Aku berharap, kesempatan di mana aturan baru itu dikeluarkan tidak akan pernah tejadi.
Aturan ketujuh sebenarnya lebih tepat disebut sebagai peringatan, wanti-wanti. Di antara yang lain, aturan inilah yang paling membuatku cemas dan memberi perasaan tak enak. Aturan ketujuh ialah,
‘Klub Menikmati Puisi dapat dibubarkan sewaktu-waktu, dengan atau tanpa pemberitahuan’.
Aturan ini adalah sisi lain dari Ben yang tidak kami, atau paling tidak aku, mengerti. Ben, di samping segala kelebihan dan kebaikannya, tak pernah membicarakan tentang dirinya. Tepatnya, ia selalu menghindari melakukan hal itu. Bukan berarti anggota lainnya sangat terbuka satu sama lain. Hanya saja, Ben yang dapat dengan alami membawa pembicaraan tanpa pernah membicarakan diri sendiri, adalah hal yang menarik perhatianku. Begitulah, tujuh aturan dari Klub Menikmati Puisi. Tujuh aturan yang membatasi, sekaligus yang membentuk klub seperti ini.
Cuaca hari ini sangat baik. Cahaya pagi menghangatkan kulitku, dan udara segar pagi hari memenuhi paru-paruku. Saat ini, kami sedang duduk melingkar pada sebuah tikar yang dibawa Ben, di sebuah taman pinggir kota. Kina seperti biasa membawa beberapa cemilan, lebih spesifiknya, aneka keripik. Hari ini dia membawa satu keripik manis dari ubi, satu keripik singkong balado, dan satu keripik singkong original. Aku telah memasukkan keripik ke daftar teratas hal-hal yang disukai Kina. Kina dan keripiknya adalah salah satu ciri khas dari Klub Menikmati Puisi, setidaknya menurutku. Safira juga membawa kue dalam kemasan kotak karton, yang tak kuketahui namanya, di mana harus membelinya, dan baru kukenal rasanya. Ya, kegiatan ini memang lebih mirip piknik. Walau karena kehadiran pak Slamet, kesannya lebih mirip tur studi.
“Baiklah selanjutnya, silahkan pak Slamet untuk membawakan puisi pilihannya hari ini.” Ben melanjutkan.
Pak Slamet berdiri lalu berdehem. “Baiklah kawan-kawan mudaku.” Itu adalah pembukaan khas milik pak Slamet. “Hari ini, bapak memilih sebuah puisi karya Asrul Sani yang merupakan seorang penyair dari angkatan 45. Yang berjudul, ‘Hari Menuai’.”
Kami bertepuk tangan. Sebelum menyampaikan interpretasi, kami diharuskan untuk berdiri dan membacakan puisi pilihan kami. Mungkin tidak setegang dibandingkan tampil di panggung Retour, tapi sebenarnya hal itu bergantung dengan situasi dan kondisi di tempat yang kami pilih. Kebetulan hari ini, entah kenapa, sepertinya penduduk kota Malang sedang tergerak untuk mengunjungi taman. Suara pak Slamet yang berat dan keras menarik perhatian orang di sekitar. Aku tak bisa mengatakan pak Slamet pandai membacakan puisi, tapi aku bisa merasakan kalau beliau berusaha menjiwai dalam melakukannya. Awalnya, aneh rasanya melihat seorang pria di akhir empat puluhan bergabung di sebuah klub aneh bersama anak-anak muda. Tapi semakin lama kami bersama di klub ini, aku mulai menghormati beliau sepenuh hati. Apalagi dengan fakta bahwa beliau adalah seorang dosen.
Pak Slamet selesai membacakan puisinya. Kami bertepuk tangan. Dan pengunjung lain di taman memandang heran.
“Baiklah kawan-kawan mudaku. Bagi bapak, puisi ini adalah sebuah elegi. Penyesalan atas waktu yang telah berlalu, dan hal-hal yang tinggal bersamanya. Membaca puisi ini membuat bapak teringat kawan-kawan bapak semasa muda dulu. Hal-hal indah, juga yang tidak. Misal seperti keputusan-keputusan yang kini bapak sesali. Dan mengingat semua itu selalu membawa kemuraman. Tapi bapak menyukai puisi ini. Karena perasaan muram kadang juga diperlukan, agar keudian kita tersadar untuk lebih mensyukuri hidup. Begitulah, kalian yang masih muda-muda ini, bapak juga masih muda, tapi kalian yang lebih muda ini, harus menjalani hidup dengan sebaik mungkin. Agar tak banyak yang bisa disesali di masa mendatang. Demikian dari bapak, dan terima kasih.”
Kami kembali bertepuk tangan. “Luar biasa, pak Slamet.” Seperti biasa, Dwika lah yang selalu paling heboh. Dari cerita Dwika, aku menjadi tahu kalau pak Slamet adalah seorang Dosen di kampusnya dan Safira. Walau mereka tidak mendapati mata kuliah beliau karena berada di fakultas yang berbeda. Ben juga berasal dari kampus tersebut, jadi sepertinya pak Slamet adalah bekas dosennya. Aku tidak tahu alasan atau bagaimana pak Slamet akhirnya bergabung dengan sebuah klub yang didirikan oleh bekas mahasiswanya, tapi kurasa mereka memang memiliki keterkaitan tertentu. Aku tak mau melanggar peraturan klub, jadi biasanya aku akan menyimpan sendiri rasa penasaranku sebisanya..
“Terima kasih, pak Slamet. Benar-benar menarik. Apa ada yang mau memberi tanggapan?” Ben kembali mengambil alih.
Safira mengankat tangan “Setelah mendengarnya, menurutku interpretasi pak Slamet itu benar. Walau aku belum pernah merasakan dengan dalam hal-hal seperti itu.”
“Terima kasih Safira. Tapi sekali lagi, menurutku tak ada benar dan salah dalam interpretasi. Yang terpenting adalah bersikap jujur.” Ben mengoreksinya lagi
“Ah, baiklah. Benar juga.” Safira mengangguk.
Aku kagum dengan sifatnya yang satu ini, di antara kami, ia yang paling banyak dikoreksi oleh Ben. Tapi ia tidak tampak tersinggung sedikit pun dan cepat menerima.
“Yang lain?”
“Aku kurang tertarik dengan puisi-puisi lama. Jadi aku tak bisa berkomentar.” Dwika menanggapi.
“Setiap orang punya preferensi masing-masing, dan itu baik. Ella? Kina? Raka?”
“Hmm, seperti yang pernah kubilang, aku kurang suka dengan puisi-puisi yang suram dan depresif. Jadi aku pasti akan melewatkan puisi ini. Tapi bukan berarti aku menganggapnya tidak bagus.” Kina memberikan tanggapannya.
“Tanggapan dariku, sebagian besar aku sepakat dengan interpretasi dari pak Slamet. Tapi aku ingin menambahkan sesuatu. Sebelumnya, izinkan aku untuk membacakan bait terakhir dari puisi Hari Menuai ini.”
Ben mempersilakan kak Ella.
Tahu aku
kini hari menuai api
mengetam ancam membelam redam
ditulis dilukis jari tanganku
“Dari bait terakhir ini, kurasa jelas bahwa puisi ini juga berbicara tentang karma. Setiap perbuatan yang kita lakukan, dan pilihan yang kita ambil, memiliki dampak dan akibat. Dan sebagaimana judulnya, suatu hari, kita akan menuai semuanya, baik maupun buruk. Begitulah menurutku.”
Kami mengangguk-angguk. Pak Slamet juga mengangguk sepakat. Kak Ella selalu tajam seperti biasa.
“Tambahan yang bagus. Terima kasih Ella. Terakhir, Raka, apa kau mau memberi tanggapan?”
Aku menggaruk bagian belakang kepalaku. “Aku rasa tidak. Aku tidak berani memberi tanggapan untuk sesuatu yang tidak benar-benar aku ketahui”
Jawaban yang diplomatis. Tapi yang kukatakan memang benar. Sudah lebih banyak puisi yang kubaca sejak bergabung dengan klub ini, tapi banyak milikku jelas lebih sedikit dibandingkan yang lain, kurasa. Kina pernah mengatakan, jumlah puisi yang sudah dibacanya mungkin sudah sekitar seribu. Seribu jelas merupakan angka yang mencengangkan. Ben juga tampak jelas memiliki banyak pengetahuan soal puisi. Aku tak yakin soal Dwika, tapi kurasa yang lainnya juga berada di atasku tentang ini. Yah, pemula harus dimaklumi, bukan.
“Baiklah.” Ben membenarkan letak kacamatanya. “Untuk giliran terakhir, Dwika, waktu dan tempat kami persilakan.”
Dwika bangkit sambil meregangkan bahunya. “Oke. Akhirnya tiba juga giliranku.”
Dwika juga merupakan elemen penting di klub kami. Dia secara alami mengambil peran sebagai pencair suasana. Kami baru saling kenal tiga minggu yang lalu, tapi aku bahkan kini sudah tahu hobi dan jumlah mantan pacarnya. Dwika adalah sepupu Safira. Karena tampak selalu bersama-sama, aku sempat mengira mereka adalah kembar, walau jelas-jelas wajah keduanya tak mirip satu sama lain. Mereka memiliki beberapa kesamaan, di samping itu, juga perbedaan yang mencolok. Dwika berpembawaan lebih santai, dan Safira lebih cenderung serba serius. Tapi mereka berdua lah yang bertanggung-jawab membuat suasana klub lebih hidup.
“Semuanya harap tenang.” Dwika membuat gerakan seolah sedang menenangkan kerumunan massa.
Kami semua sedang tenang sejak tadi.
“Jangan berlama-lama. Cepat mulai saja!” Safira melayangkan protes.
Dan, ada satu orang yang jadi tidak tenang.
“Oke. Aku akan langsung membacakannya.” Dwika berdehem untuk membuat kesan dramatis. “Sebuah puisi berjudul, ‘Herman’, oleh Sutardji Calzoum Bachri.”
Dwika membacakan puisinya dengan penuh teatrikal. Aku melongo dan merasa geli. Bukan hanya puisi yang ia bawakan terasa sangat sesuai dengan kepribadiannya, tapi caranya membawakan puisi kali ini benar-benar heboh. Ia tampil bak sedang berada di panggung teater besar.
“di mana herman? kau tahu?”
Ia menunjuk Kina dengan muka serius. Kina terlihat mencoba menahan tawa. “Hahaha, bodoh sekali.” Safira sudah tertawa lepas sejak tadi.
“tolong herman tolong tolong tolong”
Dwika menengadahkan tangan ke langit.
“tolongtolongtolongtolongngngngngngng!”
Lalu ia menyungkurkan diri ke tanah. Sekarang, pengunjung taman yang lain benar-benar memperhatikan kami. Sepasang muda-mudi lewat sambil berbisik-bisik. Aku sempat mendengar ‘gila ya’ dan ‘kenapa sih’, sebelum mereka berlalu. Aku takut suatu saat nanti kami akan diusir petugas keamanan. Sepertinya adegan tadi adalah akhir dari puisi yang dibawakannya. Kami bertepuk tangan.
“Luar biasa nak Dwika.” Pak Slamet bertepuk tangan dan memuji Dwika. Tidak, kenapa bapak bangga dengan anak macam ini?
“Wahaha. Kau tampak luar biasa bodoh” Daripada tertawa, Safira lebih mirip orang yang terkena epilepsi. Apa rahangmu baik-baik saja?
“Hmph.” Kina berusaha menahan tawa dengan membekap mulutnya. Ugh, pemandangan ini sepertinya membuatku terkena serangan jantung.
“Terimakasih.” Dwika membungkukkan badan dengan sikap seolah penampil yang baru saja menyelesaikan sebuah pertunjukan spektakuler.
“Baiklah. Terima kasih Dwika, sungguh impresif.” Ben tampaknya tak terpengaruh. “Sekarang, silakan sampaikan interpretasimu atas puisi ini.”
“Oke.” Dwika menggaruk rambutnya, lalu kembali memasang muka serius. “Sebenarnya aku tak punya interpretasi apapun soal puisi ini.”
Yang benar saja? Setelah semua aksi hebohmu itu?
“Cuma satu hal yang menggangguku.”
Ohh.
“Siapa sebenarnya si Herman ini?”
“Wahahaha.”
Safira kembali tertawa. Pak Slamet beradu suara dengan Safira. Kak Ella juga tersenyum. Aku juga ingin tertawa, tapi wajah tertawa Kina mengalihkan perhatianku.