Aimer

efde
Chapter #4

(3) Gadis yang Menunggu di Luar

Menurutku, yang tak bisa dibilang pintar ini, hubungan antar manusia dibangun atas dasar, dan dengan mencari kesamaan. Mulai dari kesamaan darah, ras, bangsa, agama, ideologi, dan lain sebagainya. Tapi dalam keseharian, kurasa manusia lebih mudah saling terikat sebab hal-hal yang lebih kecil dan spesifik. Seperti hobi, selera musik, bacaan, sampai dengan kesamaan dalam kondisi dan situasi yang sedang dialami. Walau begitu, anehnya, sebagian manusia lebih cenderung menghindari manusia lain yang memiliki kemiripan sifat dan temperamen dengannya. Walau di titik ekstrim, bisa juga sebaliknya. Menyadari itu pun, bukan berarti aku bagus dalam menjalin hubungan antar manusia. Mungkin justru karena aku buruk dalam hal ini, aku jadi belajar tentangnya. Walau tetap saja pembelajaranku cuma berhenti di pemahaman, kurasa pada dasarnya, aku ini adalah orang yang tak acuh secara sosial.

Aku lebih suka dapat menjadi diriku kapan saja. Tentu saja pada umumnya hal itu mustahil. Di dunia profesional, seringkali kita diharuskan untuk menarik batasan personal kita. Aku cukup kesulitan untuk beradaptasi di masa awalku memulai kerja paruh waktu. Aku tidak bisa menentang standar sikap dan etika pegawai yang telah ditetapkan, jadi aku berusaha keras untuk beradaptasi. Sekarang aku cukup kompromistis dalam bersosial, walau tak bisa dibilang baik juga. Lagipula, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menjadi diri sendiri. Di mana batas ‘menjadi diri sendiri’ itu, dan apakah ia memang sebegitu pentingnya. Yah, kurasa aku terlalu banyak memikirkannya.

Setelah dua minggu bergabung, aku telah merasa nyaman berada di Klub Menikmati Puisi. Aku tidak tahu apakah semua anggota telah benar-benar menerimaku sebagai pribadi, tapi setidaknya, aku merasa telah diterima sebagai anggota. Dan berdasarkan aturan-aturan klub, kurasa hal itu adalah yang terpenting dan sudah cukup. Anggota seperti Dwika dan Safira, sepertinya tidak puas dengan batasan-batasan tersebut. Sehingga mereka sering berlaku lebih terbuka dan mengusulkan hal-hal yang lebih mendekatkan secara personal. Seperti perkataannya, kurasa selama tidak melanggar aturan atau mempengaruhi jalannya kegiatan klub, Ben akan membiarkan apapun yang terjadi di luar. Sikap dan keputusannya itu mungkin benar, tapi juga terasa salah secara bersamaan.

Walau kesamaan kami pada mulanya hanyalah sebagai sesama anggota klub, tapi, hari ini kesamaan kami berdua setidaknya bertambah satu. Aku dan Kina baru saja tahu, bahwa kami adalah mahasiswa di kampus yang sama. Dan kurasa kedepannya, aku akan lebih banyak tahu hal-hal tentang Kina.

“Eh, apa itu berarti kau lebih tua dariku?” Aku baru saja mendengar fakta bahwa Kina adalah mahasiswi tahun ketiga, satu tingkat di atasku.

“Belum tentu. Memang berapa umur Raka?”

“Tahun ini aku dua puluh tahun.”

“Ugh, kau memang lebih muda.” Kina mengeluh.

“Apa aku harus memanggilmu kakak mulai sekarang?”

“Tolong jangan. Rasanya sudah terlambat. Dan aku tidak suka dianggap lebih dewasa, kau tahu. Lagipula, selisih umur kita cuma setahun.” Kina menolaknya.

Aku selalu mengira Kina lebih muda dariku. Bahkan jika aku tidak mengenalnya ssecara personal, kurasa aku akan percaya kalau Kina masih siswi Sekolah Menengah Atas. Saat ini, kami sedang makan di sebuah warteg yang tak jauh dari kampus, rekomendasi dari Kina. Tempat ini tak terasa cocok dengannya, tapi melihat ia akrab dengan ibu pemilik warteg ini, kurasa ia sudah sering berlangganan di sini. Situasi ini terjadi setelah kami tak sengaja berpapasan di kampus. Aku sebenarnya sedang dalam perjalanan pulang. Tapi Kina mengajakku makan siang bersama, dan aku tak bisa menolaknya. Kenapa aku tidak bisa menolaknya? Aku sendiri juga tidak tahu.

Ada beberapa informasi baru yang telah kutambahkan ke daftar pengetahuanku tentang Kina hari ini. Pertama, sama sepertiku, dia tidak berasal dari kota ini. Orang tuanya sering berpindah-pindah rumah saat ia masih kecil, tapi sekarang keluarganya tinggal di Serpong. Kedua, di kota ini, ia tinggal di sebuah rumah kontrak bersama bibinya yang belum menikah. Ketiga, ternyata ia lebih tua dariku. Dan semenjak kita tidak sedang berada di klub dan hanya berdua saja, kurasa aku perlu menanyakan informasi-informasi pribadi lainnya. Tidak, tidak. Ini bukan berarti aku penasaran dan menggunakan kesempatan ini untuk mengenal Kina lebih dalam. Ini hanya hal lumrah yang disebut sebagai basa-basi dalam komunikasi sosial. Ya, hanya seperti itu.

“Kalau aku boleh bertanya. Kenapa kau begitu tertarik dengan puisi, Kina? Kau bahkan mengambil jurusan Sastra Indonesia. Kau tampak serius dengan hal ini.”

Kina tak langsung menjawab dan terdiam cukup lama. Gawat, apa aku baru saja melewati batas yang harusnya tak kulewati? 

“Ah, maaf. Kau tak perlu menjawabnya jika tak mau.”

“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Ini bukan hal yang besar.” Ia berhenti sejenak. “Hmm… tidak juga. Sebenarnya ada sedikit cerita dibaliknya. Aku jarang menceritakannya pada orang lain. Tapi kalau kepada Raka, kurasa tidak apa-apa.”

“Kau tidak perlu memaksakan diri.”

“Tidak, aku sudah bilang tidak apa-apa, bukan. Hmm, dari mana memulainya.” Kina menyentuh bibirnya dengan telunjuk dan melihat ke langit-langit. “Sebenarnya aku lahir dari keluarga pemusik. Ayahku adalah seorang pianis yang banyak tampil di panggung nasional maupun internasional, bersama dengan orkes simfoni. Tapi ia jarang mendapat kesempatan untuk melakukan pertunjukan solo. Dan ibuku adalah seorang guru musik yang mengajar biola. Aku tumbuh besar dengan lingkungan seperti itu. Aku sudah belajar piano sejak sebelum sekolah dasar, dan belajar violin saat menginjak umur sembilan. Pertunjukan piano pertamaku adalah saat aku berumur sepuluh tahun. Bisa dibilang, orang tuaku telah mengarahkanku untuk menjadi pemusik sejak kecil.

Aku sendiri tidak keberatan dengan itu. Latihan musik memang seringkali berat dan melelahkan. Tapi aku memang menyukai musik. Tumbuh besar seperti itu, aku secara alami beranggapan kalau masa depanku ada pada musik. Tapi setelah ulang tahunku yang ketujuh belas, ada beberapa hal yang terjadi dan tiba-tiba kedua orang tuaku merubah pendiriannya. Mereka mengatakan bahwa aku bebas menentukan sendiri masa depanku. Aku tak perlu menjadi pemusik seperti mereka, dan boleh mencoba hal lain. Saat itu aku mulai berkenalan dengan sastra, terutama puisi. Dan, yah, seperti yang bisa kau tebak. Mungkin sekarang aku lebih menyukai puisi, jadi aku memilihnya.”

Aku terdiam, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Aku lah yang bertanya, tapi kurasa aku tak siap mendengar kisah yang serius.

“Begitu ya. Apa sekarang kau sudah tidak memainkan musik?” Aku berkata tanpa mempertimbangkanya. Sekejap aku menyesal karena telah menanyakannya, rasanya aku bertindak terlalu jauh lagi.

Tapi Kina tetap menjawabnya. “Tentu saja. Aku tidak membawa piano ke sini, dan bibiku juga tidak punya. Tapi aku mengajar piano di beberapa tempat, terkadang aku bermain untuk muridku atau untuk diriku sendiri. Walaupun hanya itu lah saat aku memainkan musik. Aku tidak menerima permintaan untuk pertunjukan, karena suatu alasan.”

“Hebat, jadi kau mengajar piano. Murid-muridmu pasti merasa beruntung.”

Kina tersenyum. “Tidak juga. Sebenarnya aku guru yang payah. Terkadang aku menerima kritik dari wali murid. Aku bahkan pernah dipecat hanya dalam sebulan. Orang tua murid waktu itu marah karena menurutnya metodeku terlalu lambat. Mereka tidak melihat hasil yang signifikan setelah sebulan aku mengajar. Jadi mereka memutuskan untuk langsung menggantiku.”

“Kurasa itu bukan salahmu. Orang tua terkadang bisa terlalu obsesif dan ingin segera melihat hasil yang nyata tanpa mempertimbangkan prosesnya. Aku berkata seperti bukan semata untuk menghibur. Tapi karena aku tahu betul. Kebetulan, aku juga menjadi pengajar privat sebagai sampingan.”

“Wow, benarkah? Raka banyak bekerja ya.”

“Tidak juga. Aku hanya memenuhi kebutuhanku.” Dan waktu kosongku, dulunya.

“Yah, kurasa kau ada benarnya. Tapi mengajar benar-benar pengalaman yang menarik, bukan? Akhir-akhir ini aku mulai menikmati kegiatanku sebagai pengajar. Rasanya menyenangkan, terutama jika kita bisa membangun hubungan yang baik dengan murid dan melihat perkembangannya.”

Aku tersenyum. “Aku tidak bisa tidak setuju dengan itu.”

Aku jadi teringat dengan seorang anak perempuan yang kuajar. 

“Ah, sudah jam segini.” Kina melihat jam tangan mungilnya. “Maaf, Raka. Aku masih harus kembali ke kampus. Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Yah, kurasa aku akan pulang. Aku bisa mengantarmu kembali lebih dulu.”

“Terima kasih.” Kina tersenyum lagi. 

Aku masih muda, tapi rasanya aku perlu memeriksakan jantungku.

“Eh, tunggu dulu. Sebelum itu, mari bertukar nomor ponsel. Tapi perlu kau tahu, ponselku adalah ponsel biasa, jadi kau hanya bisa mengirim SMS dan melakukan panggilan telepon saja.”

“Kebetulan yang aneh. Ponselku juga ponsel biasa.”

Kina tertawa kecil. “Haha, benarkah? Kurasa kita punya banyak kemiripan.”

Kami saling bertukar nomor. Dengan ini, aku jadi memiliki nomor Kina. Tunggu, kenapa rasanya seperti sehabis menang lotre. Hmm, sial. Aku sampai menggunakan perumpamaan yang aneh. Aku kan tidak tahu rasanya menang lotre.

***

Kembali ke keseharian Raka Himada sebagai pekerja paruh waktu. Setelah setahun lebih melakukannya, aku jadi tahu beberapa pengetahuan yang tak penting. Hal yang pertama kusadari sebagai pramuniaga yang bersinggungan langsung dengan pelanggan adalah, dimulai dari saat kau mengenakan seragam, kau bukanlah manusia. Tidak, aku tidak berbicara hal mengerikan seperti perbudakan dan semacamnya. Hanya saja, orang yang berada di pihak pelanggan, cenderung menganggap pramuniaga hanya sebagai pihak kedua yang berurusan untuk melayani keperluannya. Dengan kata lain, mereka tidak menganggap interaksi dengan pramuniaga sebagai interaksi antar personal. Keberadaan kami sebagai individu tidaklah penting. Jika kami tidak dibutuhkan, maka kami kasat mata bagi mereka.

Aku sedang bertugas menata barang-barang di rak swalayan. Biasanya, waktu ideal untuk melakukannya adalah menjelang toko buka atau setelah toko tutup. Tapi sebagaimana umat manusia pelajari setelah banyak periode sejarah yang mereka lalui, tak semua hal berjalan dengan ideal. Terkadang stok barang menipis atau bahkan habis ketika swalayan masih dalam jam buka. Mau tak mau, pegawai yang bertugas harus menstok ulang barang di kala pelanggan sedang berdatangan. Masalahnya, terkadang kami harus melakukannya di lorong rak barang yang sempit. Konsekuensinya, kami jadi menghalangi pelanggan yang berkepentingan. Dan sebagai pihak yang melayani, kami harus bersiaga setiap saat untuk memberi ruang bagi pelanggan yang ingin lewat atau melihat-lihat, tak peduli sesibuk apa kami, pelanggan adalah nomor satu selalu.

Karena kelalaian pegawai yang bertugas sebelumnya -aku akan memakluminya karena dia adalah pegawai baru-, stok minuman bersoda di lemari pendingin sama sekali habis. Aku jadi perlu mengangkut dan memasukkan lumayan banyak botol-botol minuman dalam berbagai merek. Aku menaruh kotak berisi botol-botol minuman di bawah, dan membuka pintu salah satu lemari pendingin. Baru saja meletakkan dan menyusun empat botol ke dalam, seorang pelanggan, anak muda yang tak acuh, mendatangi tempatku. Aku menyingkir sejenak dan membiarkan si anak muda memilih-milih minuman yang ia inginkan. Setelah membuka dan memandangi isi lemari pendingin cukup lama, tampaknya ia tidak menemukan yang ia inginkan. Si anak muda pun pindah ke lemari di sebelahnya.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Ada etika tertentu dalam menata minuman di lemari pendingin. Selain harus rapi, sebisa mungkin kita tak boleh menumpuk dua merek yang berbeda, menata satu merek dalam satu jajar menutupi merek yang lain. Hal itu akan menyulitkan pelanggan. Terkadang, merek yang mereka inginkan diletakkan dengan ceroboh oleh pegawai, jauh di bagian dalam, pelanggan jadi perlu bersusah payah untuk meraihnya dan menyebabkan botol-botol yang terletak di depan berjatuhan. Pegawai teladan sepertiku tidak akan membuat kesalahan fatal seperti itu. Solusinya adalah, menata minuman dengan merek berbeda dengan mengelompokkannya dalam baris berbeda di satu rak. Aku baru saja menyelesaikan satu merek minuman, saat pelanggan lainnya menghampiri. Seorang wanita muda yang mengenakan jas kantor, kali ini pelanggan ini menunggu dengan sabar. Aku segera menyingkir, memberinya kesempatan. Ia segera mengambil tiga botol yoghurt ukuran sedang di rak teratas, lalu segera berlalu.

Aku melanjutkan lagi pekerjaanku. Masih ada tiga merek lain yang perlu kumasukkan. Aku berusaha gesit dan seefektif mungkin melakukannya. Seperti yang orang bilang, kerja cerdas di atas kerja keras. Saat hampir menyelesaikan pekerjaanku, pelanggan lainnya lagi datang. Aku segera menyingkir.

“Permisi, mas.” Si pelanggan meminta izin dengan sopan.

“Ya, silakan.”

“Permisi ya, mas.”

“Ya.” Aku kan sudah menyingkir.

“Permisi, boleh ya mas.”

Apa pelanggan ini minta didamprat?

Aku menengok. “Ah, ternyata Rio.” Aku hampir saja benar-benar mendampratnya.

“Wahaha, maaf maaf.” Rio tertawa puas. “Habis kau tidak menyadariku, aku jadi merasa perlu mengerjaimu.”

Kau hampir membuatku kehilangan gelar pegawai teladan gara-gara mendamprat pelanggan.

“Apa ada perlu?”

“Tidak denganmu. Aku ada perlu dengan lemari pendingin di swalayanmu. Stok susu di Retour habis, dan aku kalah suit dengan Lia, jadi aku datang ke sini untuk memenuhi tugasku.”

“Ya ya, silakan. Susu ada di lemari pendingin sebelahnya. Kau seharusnya tidak perlu menggangguku.”

“Haha, maaf maaf.” Rio mengambil lima susu dalam kemasan satu liter dan memasukkanya ke keranjang belanja. “Oh, ya. Ngomong-ngomong, saat ini, Kina sedang berada di Retour sendirian.”

“Lalu?”

“Bukannya kalian akrab? Aku kira kau akan senang kalau kuberitahu.”

“Tidak berarti aku perlu mengetahui setiap kegiatannya, bukan?”

“Yaa. Aku kan sekedar memberitahu.”

Kina pergi ke Retour di luar jadwal klub. Sepertinya dia tipe orang yang suka mengunjungi kafe sendirian di kala senggang. Kira-kira apa yang sedang dilakukannya.

“Apa yang Kina lakukan di sana?”

“Bukannya tadi kau bilang tidak mau tahu?”

“Aku tidak pernah bilang seperti itu.”

“Lebih baik untuk bersikap jujur, kau tahu.” Rio tersenyum miring seolah baru saja mendapat suatu ide. “Dia datang sendiri beberapa saat yang lalu. Sepertinya dia hanya mencari tempat tenang untuk membaca. Yah, kafe di jam seperti ini memang masih sepi. Apa aku perlu memberitahunya kalau kau ada di sini?”

“Tidak perlu.”

“Atau sebaiknya aku bilang padanya kalau kau memanggilnya ke sini?”

“Simpan idemu itu. Aku tidak punya kepentingan apapun. Dia sedang menikmati waktunya, dan aku juga sedang bekerja.”

“Baiklah-baiklah. Kau memang tak bisa jujur ya. Aku akan mendukungmu, Raka.” Rio berlalu menuju meja kasir.

Kau mendukungku dalam hal apa?

Aku sudah menyelesaikan tugas di gudang. Dan sekarang bersiaga di meja kasir. Swalayan agak lengang saat ini, aku menahan keinginan untuk bersantai-santai di lantai. Pintu swalayan terbuka, dan tiga gadis SMA masuk sambil terkikik. Mereka masih menenteng ransel. Dari penampilan mereka, sepertinya sekolah mereka adalah jenis sekolah yang akan membuat kedua orang tuaku mengelus dada melihat biaya bulanannya. Mereka berbicara tentang hal yang tak kumengerti dan dengan cara yang membuatku geli. Sebenarnya, hanya dua dari mereka yang terlihat asyik sendiri. Seorang gadis lainnya hanya menanggapi obrolan teman-temannya dengan sekedarnya. Ia tampak lebih fokus untuk berbelanja. Bagus, kau mendapat apresiasiku sebagai pelanggan yang benar. 

Gadis itu menarik perhatianku. Ia berambut hitam panjang tergerai. Wajahnya ramping dengan kulit putih yang agak pucat. Ia tampak berpembawaan tenang. Matanya memandang tajam, tapi juga terkesan hampa. Ia tersenyum lebar saat berbicara dengan teman-temannya. Tapi saat terdiam, ekspresinya berubah tegas, menyiratkan kedalaman dan pertimbangan. Bagaimana mungkin seorang gadis SMA bisa membawa kesan seperti itu. Aku sama sekali tidak bisa membaca apa yang dipikirkan maupun diinginkan gadis itu. 

Ia mengambil beberapa makanan ringan, lalu berjalan ke ujung belakang ruangan toko, kemudian tampak mengamati sekeliling. Ia lalu mendongak dan melihat ke langit-langit, setelah melakukan semua itu, ia berjalan ke lorong lain, menyusul teman-temanya yang telah berpindah. Aku mengernyitkan dahi.

“Wah, Raka. Kau terlalu lama memandangi gadis SMA itu, kau tahu.”

Mbak Dina mengagetkanku. Hari ini gilirannya bersamaan denganku. 

“Aku tidak melakukannya.” Aku mengelak.

Lihat selengkapnya