Tidak ada penerbangan menuju Jember hari ini. Begitu pula dengan hari-hari kemarin. Hanya ada 2 pilihan transportasi umum dari Surabaya menuju timur Jawa ini, yakni naik bus di Terminal Bungurasih atau menaiki kereta lewat Stasiun Gubeng. Kata Hani— kawanku selama menyantri—baiknya aku naik kereta alih-alih bus.
“Di Bungurasih itu banyak calo. Bisa-bisa kamu bayar dua kali lipat. Sementara jalur Probolinggo sampai Banyuwangi itu banyak copet yang bekerja sama dengan sopir. Kamu naik kereta saja, ya, Is. Lebih aman dan nyaman buat perempuan.”
Kuakui, meski pernah menyantri di Jawa, aku belum pernah ke Jember. Karenanya, saran Hani betul-betul kuikuti. Novel “’Ain Sin Qaf” masih kugenggam erat. Novel ini tengah ramai diperbincangkan. Bahkan telah dicetak tujuh kali dalam kurun waktu tiga bulan. Kovernya bernuansa putih. Terdapat satu kalimat yang dicetak dengan huruf besar di bagian atas: DITULIS BERDASARKAN KISAH NYATA.
Seusai membaca novel ini dalam kurun waktu sejam, aku tahu kalau penulisnya adalah Ayas. Bukan Malka sebagaimana yang tercantum di sampul depan. Ayas sahabatku selama di pesantren. Kami tak bersua selama 15 tahun. Jangankan media sosial, nomor hapenya saja aku tak punya.
Karena itu, sejak tahu kalau Ayas yang menulis, aku segera melempar pertanyaan ke grup WhatsApp angkatan barangkali ada yang tahu keberadaan Ayas. Sialnya, tak satu pun di antara kami punya kontak atau setidak-tidaknya tahu kabar akan anak itu. Yang ada justru kami mengenang kesintingan Ayas selama di pesantren dan menjadikan grup WhatsApp ramai akan pesan.
“Coba kamu hubungi editor Ayas. Ada namanya, kan, di balik kover?”
Sejenak aku termangu mendapati saran seorang teman di grup. Lekas-lekas aku membuka novel lalu beralih ke Instagram. Satu per satu aku telusuri postingan penerbit, sampai akhirnya menemukan akun editornya.
Di situlah aku memberanikan diri berkirim DM dan meminta nomor kontak sekaligus alamat rumah Ayas. Sialnya, si editor selalu menolak dengan alasan melanggar kode etik privasi.
Aku tidak marah. Aku menghormati perjanjian antara kedua belah pihak. Aku hanya marah kepada keadaan, kenapa baru menyadari sekarang kalau ternyata Ayas yang ada di balik peristiwa 15 tahun silam. Rasa gusar ini makin menjadi-jadi saat pesan terakhirku hanya dibaca editor Ayas tanpa dibalas.