Kesempatan! Ya, ini satu-satunya kesempatan agar aku tak bisa mondok. Kalau aku menceritakan persahabatanku dengan 3 serangkai kepada ketiga penguji di depanku ini, aku sangat yakin tak bakal lulus ujian lisan. Dengan begitu, aku bisa menelepon orangtua di rumah minta dijemput, dan aku bakal SMA di luar. Yes!
“Jadi, Ayas, apa motivasi terbesarmu masuk pondok?” ulang ustazah berbaju ungu yang tak aku ketahui namanya.
“Bolehkah saya cerita sejujur-jujurnya, Ustazah?” kataku memastikan.
Ustazah itu mengangguk. “Oh, harus. Anti harus cerita sejujur mungkin agar kami bisa memberi penilaian yang adil.”
Sekilas aku tersenyum. Aku yakin, inilah cara paling masuk akal agar aku terlepas dari jerat penjara suci yang menyebalkan ini.
“Baik, saya akan cerita semua. Cerita ini tidak saya buat-buat. Saya benar-benar mengalaminya. Begini kisahnya.”
***
Baru kali ini saya melihat orang sakaw di depan mata, Ustazah. Saya juga baru tahu, kalau orang sakaw itu kedua matanya merah, gerak tubuhnya sempoyongan, dan bicaranya menceracau sembarangan. Teman-teman tidak ada yang mengerti apa yang terjadi pada Roni. Hanya saya dan 2 kawan lainnya yang paham kalau satu dari tiga serangkai yang kerap dipanggil guru BK ini baru saja mengkonsumsi pil ekstasi di pojokan kelas.
“Bu Henda, I love you, Bu. I love you,” teriak Roni sembari tidur-tiduran di atas meja guru. Sepatunya belum dilepas. Rambutnya kusut masai. Bahkan kancing seragamnya tak terpasang.
Sontak saya terpingkal-pingkal melihat gelagat Roni. Apalagi dia tiba-tiba bangun lalu berjongkok di atas meja. Sorot matanya setajam elang. Tangan kanannya menuding-nuding udara menyebut nama Bu Henda berulang-ulang.
“Gawat! Gawat! Bu Henda datang. Bu Henda datang,” seru Fio yang hendak ke kamar mandi, tapi balik badan.
Roni yang mendengar nama Bu Henda disebut seketika meloncat. Barangkali dalam benaknya itu, dia tengah terjun ke sungai lalu berenang-renang ke tepian. Jadi, saat melompat, kedua tangannya merenggang dan menimpa bangku kosong. Fio membantu Roni yang terjengkang. Sialnya, anak itu justru melepaskan rangkulan Fio, tepat saat Bu Henda membuka pintu.
“Bu Henda, I love you, Bu. I love you.”
Saya terhenyak melihat Roni berjalan merangkak. Fio mencoba menahan Roni, tapi justru ditinju. Suasana mendadak mencekam. Teman-teman terdiam mendapati Roni bersimpuh di hadapan Bu Henda yang berdiri di pintu. Guru perempuan yang mengenakan rok selutut itu menatap curiga. Beliau berjongkok lalu menatap mata Roni yang memerah. Fio melambaikan tangan ke arah saya lalu melirik pintu. Sontak saya berlari gelagapan menuju depan papan lantaran mengerti maksud Fio.
“Kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau,” kata Roni yang tiba-tiba membacakan puisi Chairil Anwar sembari menunjuk-nunjuk Bu Henda.
Suasana yang semula sunyi senyap mendadak riuh akan tawa. Saya tak kuat menahan geli melihat Bu Henda kebingungan.
“Roni lagi latihan, Bu. Mau nyumbang baca puisi di pentas perpisahan,” kata saya menutupi pandangan Bu Henda, sementara Fio dengan sigap menarik Roni.
Bu Henda tak langsung percaya. Beliau masih menatap Roni yang jumpalitan ditarik Fio.
“Ke ruangan saya, ya, Yas. Saya ada perlu sama kamu.”
Saya mengangguk dan mengikuti langkah Bu Henda saat meninggalkan kelas. Tapi, sebelum menutup pintu, saya menoleh ke belakang. Ah, syukurlah Fio berhasil memapah Roni ke bangku pojok.
“Ini buat kamu, Yas. Latihan soal masuk SMA. Kamu, kan, ngincar SMA 1. Katanya, mau kuliah di UI atau UGM. Jadi, harus disiapkan dari sekarang.”
“Lho. Ini serius buat saya, Bu?” kata saya sembari menerima 3 buku paket kumpulan soal.
Bu Henda mengangguk. Sontak saya jingkrak-jingkrak lantaran tak menyangka guru favorit saya ini bakal beri hadiah. Ah, bukan. Hampir sekelas menjadikan Bu Henda guru favorit mereka. Barangkali karena cara ngajarnya yang asyik, tidak pernah marah dan tidak menegangkan yang menjadi musabab Bu Henda selalu ditunggu-tunggu. Tapi, saya sangat yakin, alasan mereka tidak akan pernah sama dengan Roni yang justru menyukai gurunya sendiri.
“Kenapa Bu Henda belikan saya buku?” kata saya yang penasaran.
Bu Henda menatap saya lekat.
“Anggaplah sebagai kenang-kenangan dari saya, Yas. Saya mau lanjut kuliah di Jogja. Dan nanti gak balik lagi ke SMP ini.”
“Ha? Bu Henda pindah tugas?”
Lagi-lagi Bu Henda mengangguk.
“Sudah! Sudah! Ini ada teh buatmu.”
Meski terasa berat lantaran guru saya ini bakal pindah, saya tak menolak ditawari jatah teh Bu Henda. Bukan hanya Bu Henda sebetulnya. Tiap kali ke ruang guru, ada saja guru yang dekat dengan saya menawari minuman atau jajan yang jadi jatah mereka tiap harinya.
“Setelah ini kamu ke ruang BP, ya. Tadi Pak Sanigar nitip salam kalau kamu diminta ke sana.”
“Waduh? Polisi sekolah manggil aku? Mampus,” batin saya.
“Nggak usah takut. Beliau bukan mau hukum kamu,” kata Bu Henda yang barangkali mendapati saya gelisah.